ANALISIS PAJAK

Meninjau (Kembali) Mandatory Disclosure Rule bagi Indonesia

Minggu, 14 Februari 2021 | 07:00 WIB
Meninjau (Kembali) Mandatory Disclosure Rule bagi Indonesia

B. Bawono Kristiaji,
Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC

BEBERAPA tahun lalu, rencana penerapan mandatory disclosure rule (MDR) di Indonesia sempat hangat dibicarakan. Sayangnya, ide tersebut belum terealisasi. Dengan dinamika sektor pajak terkini, sejauh mana kehadiran MDR di Indonesia dapat dijustifikasi? Bagaimana pula desain dan hal yang perlu dipersiapkan?

Konsep MDR
SALAH satu perubahan terpenting sektor pajak selama satu dekade terakhir ialah aspek transparansi. Prinsip transparansi pada dasarnya memaksa keterbukaan seluruh pemangku kepentingan pada sektor pajak, termasuk otoritas, wajib pajak, serta tax intermediaries (konsultan pajak, kuasa hukum, lembaga keuangan, dan sebagainya).

Tujuannya sederhana, yaitu meningkatkan kepatuhan pajak dan menjamin pengelolaan pajak yang berintegritas. Pada akhirnya, kedua hal tersebut akan menciptakan rasa saling percaya di antara stakeholders pada sektor pajak (Darussalam, 2017).

Sebagai salah bentuk transparansi, MDR merupakan ketentuan yang memungkinkan otoritas pajak untuk mendapatkan informasi atas transaksi, perencanaan, atau struktur perencanaan pajak yang agresif dari wajib pajak dan/atau tax intermediaries.

Pasalnya, pencegahan perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax planning/ATP) sangatlah tergantung dari ketersediaan informasi secara komprehensif dan tepat waktu (OECD, 2011).

Sumber informasi utama seperti Surat Pemberitahuan (SPT), lampiran, dan dokumen pendukungnya, ataupun sumber informasi lainnya – yang berasal dari kegiatan intelijen, skema pemotongan-pemungutan, serta pertukaran informasi antarotoritas dan antarinstansi pemerintah – pada dasarnya necessary tapi belum cukup.

Pasalnya, skema ATP umumnya kompleks dan rumit sehingga membutuhkan informasi yang lebih lengkap, targeted, dan kerap berada di luar ‘radar’ otoritas pajak.

Oleh karena perannya yang penting, melalui Aksi 12 Proyek BEPS, OECD menyusun rekomendasi ketentuan kewajiban pengungkapan skema ATP bagi negara-negara yang ingin memperkenalkan dan mengamandemen ketentuan MDR.

Ketentuan MDR pada dasarnya memiliki tiga tujuan (Darussalam dan Kristiaji dalam Darussalam dan Septriadi, 2017). Pertama, memperoleh informasi awal adanya skema ATP dalam rangka upaya penilaian risiko pajak. Kedua, mengidentifikasi skema dan implikasi ATP yang dipergunakan. Ketiga, berfungsi sebagai pencegah (deterrent) serta dapat mengurangi aktivitas promosi dan penggunaan skema ATP (OECD, 2015).

Informasi yang diperoleh dari penerapan MDR seyogyanya dapat dipergunakan untuk menutup celah ketentuan domestik yang kerap dimanfaatkan untuk perencanaan pajak. Penerapannya juga mendorong efektivitas pengawasan kepatuhan.

Hal tersebut dikarenakan informasi dari MDR dirasa lebih relevan dibanding data/informasi yang semata dikumpulkan untuk mencari temuan (fishing expedition).

Desain atas MDR umumnya mencakup lima area, yaitu (i) pihak yang wajib melaporkan, (ii) kriteria skema yang harus dilaporkan, (iii) waktu pelaporan, (iv) sanksi bagi ketidakpatuhan pelaporan, serta (v) jenis dan pemanfaatan informasi tersebut.

Di banyak negara, ketentuan MDR cenderung fokus atas aktivitas ekonomi yang bersifat lintas yurisdiksi dan berimplikasi bagi tax savings di area pajak penghasilan (PPh).

Relevansi
PERTANYAANNYA, mengapa kita perlu meninjau kembali prospek MDR bagi Indonesia? Setidaknya terdapat empat argumen atas hal ini.

Pertama, strategi optimalisasi penerimaan pajak di tengah pandemi covid-19. Pandemi telah membuat penerimaan pajak Indonesia pada 2020 terkontraksi sebesar -19,7%. Tax ratio Indonesia – dalam arti luas – juga turut menurun dari 10,73% (2019) menjadi 8,94% (2020).

Daya tahan anggaran pemerintah yang terbatas serta adanya target normalisasi defisit anggaran maksimal 3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023 tentu membutuhkan terobosan optimalisasi penerimaan pajak.

Namun demikian, sifatnya jangan sampai mendistorsi proses pemulihan ekonomi. Untuk menjembatani kedua tujuan tersebut, salah satu strategi yang bisa diambil ialah mengurangi tax gap.

Dalam konteks ini, perencanaan pajak yang agresif juga turut berkontribusi bagi tax gap. Sebagai informasi, dalam laporan terbarunya, Tax Justice Network (2020) mengungkapkan Indonesia kehilangan penerimaan pajak sekitar US$4,8 miliar atau Rp69 triliun setiap tahunnya dari aktivitas penghindaran pajak lintas yurisdiksi.

Kedua, sebagai perwujudan strategi relaksasi-partisipasi (Darussalam, 2019). Selama dua tahun terakhir, pemerintah banyak memberikan berbagai relaksasi fiskal kepada wajib pajak.

Relaksasi tersebut tidak hanya merujuk pada berbagai insentif pajak dalam rangka program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), tapi juga berbagai relaksasi lain semisal pengecualian dividen luar negeri, tax holiday, supertax deduction, dan sebagainya.

Untuk mencari titik keseimbangan antara kebijakan fiskal yang ekspansif dan konsolidatif, ada baiknya pemerintah mengadopsi strategi relaksasi-partisipasi. Artinya, relaksasi pajak harus dilakukan secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik (pertukaran) berupa partisipasi masyarakat dalam sistem pajak (ekonomi).

Bentuknya bisa berupa relaksasi yang dipertukarkan dengan partisipasi masyarakat dalam menggerakkan ekonomi, data/informasi, perilaku kepatuhan, dan kepastian kontribusi pajak. Dalam konteks ini, ketentuan MDR merupakan wujud keterbukaan informasi serta mencegah penyalahgunaan insentif pajak bagi ATP.

Ketiga, daya dukung. Berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu, saat ini terdapat beberapa faktor yang justru akan membuat penerapan MDR kian kuat dan efektif. Adanya RUU Pelaporan Keuangan serta Perpres No. 13 Tahun 2018 tentang beneficial owner tentu akan memberikan basis data penunjang bagi pengujian kepatuhan wajib pajak yang melakukan ATP.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah wacana pembinaan dan pengawasan konsultan pajak oleh Kementerian Keuangan serta revisi PMK 111/2014. Kedua hal tersebut diperkirakan dapat menjamin penerapan ketentuan MDR khususnya dalam memantau praktik promosi dan desain perencanaan pajak agresif.

Terakhir, perkembangan internasional terkini. Pada 2015, setidaknya hanya enam negara yang telah menerapkan MDR dalam ketentuan domestiknya. Aksi 12 tentang MDR juga bukanlah standar minimum yang harus diimplementasikan oleh negara anggota OECD dan G20. Dengan kata lain, ketentuan MDR masih dipandang sebelah mata dan belum sepenuhnya menjadi international best practice.

Kini, MDR justru kian dipertimbangkan. Sebagai contoh, pada 2018, OECD merespons permintaan G7 untuk membuat model MDR bagi intermediaries untuk menanggulangi praktik ‘meloloskan diri’ dari pelaporan Common Reporting Standard/CRS pada skema AEoI.

Sejak tahun lalu, negara-negara Uni Eropa juga telah efektif mengimplementasikan EU Directive 2018/822 (DAC6) mengenai MDR. Singkatnya, ketentuan MDR makin dipertimbangkan sebagai opsi kebijakan dalam rangka mencegah ATP.

Rumusan dan Tantangan
PADA bagian sebelumnya, kita telah mengetahui lima komponen yang penting dalam desain ketentuan MDR. Namun demikian, dari perspektif penulis, terdapat dua isu utama yang perlu untuk ditelaah terlebih dahulu. Lihat juga ‘Aspek Ini Jadi Kendala Penerapan Mandatory Disclosure Rule’.

Isu pertama, jika ketentuan MDR memang bertujuan untuk mencegah ATP, pertanyaanya adalah bagaimana kita mendefinisikan perencanaan pajak yang agresif (ATP) dalam sistem perundang-undangan perpajakan di Indonesia?

Hingga kini, kita tidak memiliki definisi yang nantinya bisa dipergunakan sebagai koridor dalam menentukan kriteria skema transaksi (arrangement) yang harus dilaporkan melalui ketentuan MDR.

Satu-satunya produk hukum pajak yang mencantumkan istilah ATP hanyalah Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. Beleid tersebut juga hanya memberikan contoh wajib pajak yang melakukan ATP yakni memiliki CFC, memiliki DER lebih dari 4:1, serta memiliki indikasi risiko transfer pricing, tanpa mendefinisikannya lebih lanjut.

Mendefinisikan ATP memang bukan hal mudah. Interpretasi hukum, historis, serta linguistik sering kali berkaitan erat (Piantavigna, 2017). Tidak mengherankan jika mayoritas ketentuan MDR lebih mengatur dan mendefinisikan kriteria pertanda (hallmarks) skema yang wajib untuk dilaporkan.

Contoh saja DAC6. Alih-alih merumuskan definisi ATP, regulasi tersebut justru memberikan penjelasan detail mengenai kriteria yang harus dilaporkan. Kriteria tersebut mencakup 15 skema yang dikategorikan dalam lima kriteria utama.

Sempit atau luasnya jenis kriteria yang wajib untuk dilaporkan juga akan menentukan beban administrasi bagi otoritas pajak maupun pihak pelapor. Sebagai contoh, kriteria yang terlalu luas dan tidak spesifik akan menentukan banyaknya wajib pajak yang harus mengungkapkan perencanaan pajaknya.

Di sisi lain, dengan kriteria yang terlalu luas, otoritas pajak bisa saja ‘kewalahan’ dalam mengolah informasi yang terlalu banyak tersebut. Akibatnya, upaya pencegahan ATP bisa berjalan secara tidak efisien dan tidak efektif.

Isu krusial lainnya ialah pihak yang wajib melaporkan kepada otoritas pajak. Sejak awal, rekomendasi OECD tentang ketentuan MDR menyoroti secara berimbang sisi demand (wajib pajak) dan supply (tax intermediaries) dari ATP. Oleh karena itu, pihak yang wajib melaporkan bisa diserahkan bagi wajib pajak maupun tax intermediaries.

Pada praktiknya, banyak negara – seperti di Uni Eropa – memprioritaskan kewajiban ini bagi tax intermediaries. Dalam hal tax intermediaries berada di wilayah administrasi pajak yang berbeda, barulah kewajiban pengungkapan tersebut dialihkan bagi wajib pajak.

Di Indonesia, landasan hukum bagi tax intermediaries dalam melaporkan skema perencanaan pajaknya sudah tersedia pada Pasal 35 dan Pasal 35A UU KUP. Namun, kewajiban tersebut hanya dimungkinkan untuk pemeriksaan, penagihan, atau penyidikan tindak pidana perpajakan.

Tantangan lainnya terletak pada dugaan perencanaan pajak lintas yurisdiksi yang dilakukan oleh wajib pajak di Indonesia – mayoritas perusahaan multinasional – justru didesain oleh tax intermediaries yang berlokasi di negara tempat kantor pusat/regional berada.

Selain kedua isu tersebut, masih ada beberapa aspek lain yang perlu ditelaah dalam desain ketentuan MDR. Sebagai contoh, format dokumen, cara pelaporan, sanksi denda, dan sebagainya.

Terlepas dari berbagai tantangannya, sudah saatnya ketentuan MDR dapat dipertimbangkan sebagai salah satu andalan dalam mencegah kebocoran pajak di Indonesia.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 23 Februari 2024 | 09:00 WIB ANALISIS PAJAK

Simplifikasi Ketentuan Transfer Pricing Ala Pilar 1 Amount B

Rabu, 21 Februari 2024 | 11:00 WIB ANALISIS PAJAK

Menelusuri Kompleksitas dan Tantangan Penerapan Pilar 1 Amount A

Selasa, 20 Februari 2024 | 11:50 WIB ANALISIS PAJAK

Implementasi ‘Two-Pillar Solution’ Kian Dekat, Siapkah Kita?

Kamis, 25 Januari 2024 | 09:15 WIB ANALISIS PAJAK

Mendesain Pemeriksaan Pajak Berbasis Teknologi dan Risiko Kepatuhan

BERITA PILIHAN