LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Menilik Rencana Kebijakan Pajak Capres 2019

Redaksi DDTCNews | Jumat, 11 Januari 2019 | 17:00 WIB
Menilik Rencana Kebijakan Pajak Capres 2019
Naely Ulfa, Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta

TAHUN 2019 ini merupakan pesta politik bagi rakyat Indonesia, di mana dilaksanakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden periode 2019-2024. Sudah diketahui kandidat pasangan calon presiden dan wakiI presiden adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Menjelang pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tentunya masyarakat bertanya-tanya bagaimana program yang nantinya akan di jalankan di Inonesia selama 5 tahun ke depan. Salah satu hal yang santer diperbincangkan adalah mengenai kebijakan pemungutan pajak di Indonesia.

Masing-masing pasangan capres dan cawapres memaparkan program kebijakan pajak yang dinilai sesuai untuk diterapkan di Indonesia. Di kubu nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf mencanangkan dua program terkait dengan kebijakan pajak.

Program itu adalah melanjutkan reformasi perpajakan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing, dan program memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Dari yang disampaikan, Jokowi-Ma’ruf cenderung bersifat melanjutkan dari periode sebelumnya di mana tidak ada perubahan yang terlalu signifikan mengenai hal tersebut. Hanya perlu reformasi perpajakan yang sifatnya berkelanjutan demi keadilan dan kemandirian negara Indonesia.

Reformasi dalam hal ini tentang peningkatan karakter integritas semua pihak yang berkecimpung dalam dunia perpajakan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi yang masih menjadi aib bagi Indonesia. Untuk itu, aturan yang tegas serta integritas yang tinggi pegawai pajak perlu ditingkatkan.

Selain itu, kebijakan pajak bagi pelaku ekonomi digital tak kunjung selesai. Hal ini menjadi koreksi bahwa pembuatan undang-undang harus dan tidak akan mengganggu iklim usaha. Apalagi, banyak bisnis start up di Indonesia, tentu jika Jokowi terpilih ia harus merampungkan kebijakan tersebut.

Selain itu, bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia dalam penerapan pajaknya juga harus berkeadilan serta tidak membebani pelaku usaha. Dengan begitu masyarakat akan bersedia membuka usaha yang bertaraf UMKM tanpa kesulitan membayar pajak.

Sedangkan di kubu nomor urut 02 yaitu Prabowo-Sandi memberikan rencana kerja kebijakan pajak antara lain menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 orang pribadi, dan menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.

Kemudian menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga, dan meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang murah dan terjangkau melalui kebijakan perpajakan yang menunjang.

Dari rencana kebijakan pajak Prabowo-Sandi terlihat ada banyak perubahan yang menguntungkan masyarakat. PTKP yang semula Rp54 juta dinaikkan, tentu akan mengurangi pajak yang dibayarkan. Tujuan dari meningkatkan PTKP ini untuk meningkatkan konsumsi dan investasi di masyarakat.

Namun, hal ini dapat menjadi bumerang sendiri untuk Indonesia, di mana jika konsumsi lebih banyak dilakukan di luar negeri ataupun mengimpor, maka akan timbul persaingan industri dalam negeri yang berdampak pada menurunnya daya beli serta minat masyarakat terhadap produk dalam negeri.

Hal ini juga bisa berdampak positif ketika masyarakat mampu mengasah jiwa kreatif dan inovatif dalam membuat sebuah produk. Namun, jika para pelaku usaha di Indonesia tidak mampu, maka akan berdampak pada kemandegan ekonomi nasional sekaligus menambah tingkat pengangguran.

Selain itu, kebijakan menaikan PTKP dan penghapusan PBB juga merupakan langkah berani. Jika berhasil diterapkan, maka akan mensejahterakan masyarakat. Namun sebaliknya, jika gagal maka akan merugikan. Hal ini karena pajak merupakan sumber 75% penghasilan negara.

Pengurangan tarif PPh Pasal 21 dan penghapusan PBB akan mengurangi pendapatan negara yang menyebabkan meningkatnya utang luar negeri Indonesia. Utang luar negeri dalam jangka panjang akan menjatuhkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga mendorong inflasi.

Untuk kebijakan pajak mengenai penghapusan secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan, hal ini dapat berdampak baik dan buruk. Dampak positifnya adalah mengasah jiwa kreatif serta inovatif para pelaku usaha di Indonesia.

Namun, dampak negatifnya yaitu karena daya saing para pelaku usaha Indonesia terhadap para pelaku usaha di luar negeri cenderung minim yang disebabkan terbatasnya kemampuan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia.

Apalagi pada 2020 Indonesia akan memasuki Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dan menghadapi perdagangan bebas, yang harus mampu bersaing. Tentu peran masyarakat sangat penting agar kebijakan ini selaras dengan tujuan awal, meningkatkan daya saing Indonesia di mata negara lain.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 04 Maret 2024 | 11:30 WIB LAPORAN KINERJA DJP 2023

DJP Belanjakan Rp34,34 Miliar untuk Bangun Coretax System pada 2023

Sabtu, 02 Maret 2024 | 13:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perubahan Struktur Penerimaan Perpajakan RI pada Awal Reformasi Pajak

BERITA PILIHAN