LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Mendesain Pajak Kekayaan dengan Skema 'Use It or Lose It'

Redaksi DDTCNews
Jumat, 07 Oktober 2022 | 10.09 WIB
ddtc-loaderMendesain Pajak Kekayaan dengan Skema 'Use It or Lose It'

Mhd. Ricky Karunia Lubis,

Kabupaten Bogor, Jawa Barat

ESENSI perdebatan tentang pajak kekayaan tersaji dalam argumen dua tokoh. Pertama, Thomas Piketty, ekonom yang terobsesi memajaki orang kaya. Kedua, Bill Gates, orang kaya yang menjadi salah satu sasaran utama pajak kekayaan.

Menurut Piketty, ketimpangan kekayaan terjadi ketika imbal hasil atas modal lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Piketty menganjurkan skema pajak kekayaan yang menyasar penghasilan modal (Piketty, 2015).

Di lain pihak, menurut Bill Gates, pajak kekayaan tidak sepantasnya dikenakan terhadap orang kaya yang aktif berinvestasi di perusahaan ataupun gemar dalam filantropi. Pajak kekayaan bisa dikenakan terhadap orang kaya yang bergaya hidup mewah. (Forbes, 2014).

Meskipun ada beberapa aspek yang bertentangan, logika dari perspektif kedua tokoh itu sama-sama dapat diterima. Sayangnya, pajak kekayaan yang menyasar penghasilan modal ala Piketty hanya relevan diterapkan di negara maju dengan pasar keuangan yang mapan, tetapi pertumbuhannya sudah ‘jenuh’.

Sebaliknya, negara berkembang seperti Indonesia masih sangat membutuhkan aliran dana untuk membiayai investasi nasional. Kondisi ini tentu saja mengingat ketersediaan dana dalam negeri yang belum mencukupi.

Kondisi tersebut tidak hanya memaksa Indonesia bergantung pada kekayaan penduduk dalam negeri, tetapi juga pada investor asing. Penerapan pajak kekayaan ala negara maju hanya akan memicu pelarian modal (capital flight) dan mendinginkan minat investor asing (Londoño-Vélez and Avila-Mahecha, 2018).

Rancangan Pajak Kekayaan

SEJARAH menunjukkan pajak kekayaan di banyak negara gagal mempertahankan legitimasinya. Pada 1990, ada 12 negara maju yang menerapkan pajak kekayaan. Namun, hingga 2020, hanya ada tiga negara yang masih menerapkan pajak kekayaan. Ketiganya adalah Norwegia, Spanyol, dan Swiss.

Berbeda dengan pajak penghasilan modal seperti dividen dan capital gain, pajak kekayaan dikenakan secara tahunan atas nilai aset bersih yang melebihi ambang batas.

Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan negara maju sekalipun tidak bisa bergantung pada pajak kekayaan untuk membiayai belanja publik (Perret, 2021). Pada 2018, pajak kekayaan hanya menyumbang 0,2% dari produk domestik bruto (PDB) dan 0,5% dari total penerimaan pajak di Spanyol, 0,4% dan 1,1% di Norwegia, serta 1,1% dan 3,9% di Swiss.

Oleh karena itu, pajak kekayaan idealnya didesain bukan untuk membiayai belanja publik, melainkan untuk mendorong rekomposisi portofolio individu kaya menuju aset-aset produktif. Alih-alih mengadopsi model Piketty, model pajak kekayaan yang layak diterapkan di Indonesia adalah skema 'use it or lose it' yang dianjurkan oleh Guvenen et al. (2019) dan Scheuer dan Slemrod (2021).

Dengan use-it-or-lose-it, skema pajak menginsentif individu kaya untuk memindahkan kekayaannya ke aset-aset produktif (use it) dan menghukum aset-aset yang tidak produktif (lose it), terutama yang ditujukan untuk spekulasi dan akumulasi kekayaan semata.

Untuk menilai kelayakan skema tersebut, mari kita perhatikan ilustrasi sederhana berikut. Ada dua orang kaya, A dan B, yang memulai usaha dengan tingkat kekayaan yang sama. Kekayaan ini misalnya US$1.000 per orang. Namun, ada imbal hasil yang berbeda. Misal, A menghasilkan 0% p.a. dan B menghasilkan 20% p.a.

Dalam skema pajak penghasilan modal, A yang tidak produktif akan bebas dari pengenaan pajak karena tidak ada imbal hasil yang diperoleh. Sementara B yang produktif justru dikenakan beban pajak karena menghasilkan imbal hasil positif.

Sebaliknya, dalam skema pajak kekayaan, kedua orang kaya tersebut akan membayar pajak yang sama terlepas dari imbal hasil dan produktivitas yang dihasilkan. Dengan demikian, hal tersebut lebih menguntungkan bagi B karena memiliki aset produktif.

Mengukur Produktivitas

ASET produktif perlu diberikan pengecualian (exemption) atau relaksasi (relief) dari pengenaan pajak kekayaan. Skema ini penting agar individu kaya makin terpacu merealokasi kekayaannya ke aset produktif.

Pajak kekayaan dapat diarahkan untuk menyasar aset-aset tidak produktif milik individu kaya, seperti perhiasan, karya seni, dan barang-barang antik (Durán-Cabré et al., 2019). Namun, untuk meredam dampak ketimpangannya, pemerintah perlu berhati-hati dalam mendefinisikan aset produktif.

Ukuran produktif paling objektif adalah imbal hasil (yield) dari suatu aset. Namun, ketergantungan hanya pada ukuran tersebut akan memperlebar ketimpangan kekayaan, sehingga berpotensi melahirkan sistem ekonomi yang terlalu kapitalistik.

Sebaliknya, imbal hasil aset yang kecil, bahkan nol, seperti tabungan juga tidak bisa dimaknai sebagai aset tidak produktif. Tabungan justru dapat mendorong produktivitas sepanjang fungsi intermediasi berjalan dengan baik (Bencivenga and Smith, 1991).

Selain itu, menjadikan imbal hasil sebagai ukuran tunggal dari produktivitas aset juga akan menyuburkan kegiatan spekulatif. Ironisnya, kegiatan spekulatif itu sering kali memberikan imbal hasil fantastis.

Untuk itu, pajak kekayaan perlu dilengkapi dengan tarif pajak yang lebih tinggi atas aktivitas spekulasi keuangan (Baker, 2000). Sebagai contoh, pajak atas transaksi perdagangan aset keuangan, seperti opsi saham dan aset kripto, dapat dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi.

Dengan demikian, kekayaan diharapkan dapat mengalir ke aktivitas ekonomi yang produktif serta menciptakan nilai tambah yang mampu meningkatkan efisiensi dan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Pajak kekayaan akan menghasilkan kesejahteraan melalui kombinasi antara alokasi modal yang efisien dan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi. Skema pajak kekayaan akan menciptakan iklim persaingan yang adil dan berpihak pada siapapun yang mampu menghasilkan produktivitas paling tinggi.

Pendapatan dari pajak kekayaan juga memungkinkan pemerintah untuk memangkas pajak tenaga kerja, sehingga upah riil meningkat dan distribusi konsumsi menjadi lebih merata (Guvenen et al., 2019). Alhasil, pajak kekayaan dapat meningkatkan efisiensi, mendorong produktivitas, menumbuhkan ekonomi, dan mempersempit ketimpangan konsumsi secara bersamaan.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.