LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2020

Mencegah Potential Loss Penerimaan

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 17 Oktober 2020 | 14:01 WIB
Mencegah Potential Loss Penerimaan

Andreas Tedy Mulyono, Kemayoran, Jakarta Pusat

STRATEGI mengamankan target penerimaan pajak merupakan bagian dari Rencana Strategis Ditjen Pajak (DJP) 2020-2024. Hal itu ditempuh dengan memperluas basis pajak melalui kepatuhan sukarela wajib pajak, dan pengawasan serta penegakan hukum yang berkeadilan.

Namun, sampai Agustus 2020, realisasi penerimaan pajak masih sangat sedikit. Hanya Rp676,9 triliun atau 56,5% dari target APBN 2020 sebesar Rp1.198,8 triliun, dengan pertumbuhan yang terkontraksi 15,6%. Penurunan tersebut diklaim sebagai dampak pandemi Covid-19.

Selama ini, aspek ketepatan strategi sering menjadi kambing hitam tidak efektifnya penagihan pajak. Aspek lainnya sistem administrasi, sumber daya, dan pengawasan. Hal ini penting diungkapkan karena piutang pajak dengan sendirinya mengandung penerimaan pajak yang hilang (potential loss).

Contoh, PT X di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) S. Pada 2015-2018 omzet tahunannya masih di atas Rp100 miliar, tetapi merugi terus kecuali pada 2017. Namun, pada 2019 PT X mencatat omzetnya turun hingga kurang dari separuhnya. Seharusnya, fiskus di KPP S segera memeriksa PT X.

Sebab, profesional pengurus PT X secara de facto telah berkiprah di perusahaan baru. PT X tetap dibiarkan walaupun secara de jure nama para profesional tersebut masih tertera pada akte PT X. Dengan kata lain, ada potential loss penerimaan di KPP S yang dibiarkan.

Contoh kedua, PT Y di KPP U. Omzet PT Y juga menurun. Surat Pemberitahuan 3 tahun terakhirnya selalu terlambat. Arus kasnya berat, tetapi masih punya restitusi. Pada 2019, pengadilan memutus PT Y pailit. Seperti PT X, profesionalnya mulai aktif di perusahaan afiliasi.

Aspek perilaku wajib pajak sangat relevan untuk menguraikan situasi ini. Para profesional kedua PT itu sudah tergolong tidak patuh. Setidaknya berkeinginan tidak patuh, atau patuh jika terdeteksi. Mereka mengelak dengan buying time, dan memanfaatkan fiskus yang hanya rutin prosedural.

DJP seharusnya tidak menganggap kondisi ini normal. DJP harus bisa menghapuskan, istilahnya, complacency atau kepuasan diri di kalangan fiskusnya. Sebab, perilaku wajib pajak yang demikian seharusnya berhadapan dengan pemeriksaan yang terencana, bahkan upaya paksa hukum.

Karena itu, dalam situasi ini DJP perlu menoleh ke pemilik perusahaan (ultimate shareholders), para pemegang saham perorangan yang merupakan pemilik perusahaan sebenarnya. Sebab, keduanya memiliki kepentingan yang beririsan, dan bisa disinergikan.

Pada 2 contoh tadi, PT X dan PT Y akan berhenti operasi. Namun, DJP dan pemilik perusahaan tidak segera menyadari masalahnya. Keduanya tidak menyangka profesional kedua PT itu melakukan kecurangan (fraud). Baik DJP maupun pemilik perusahaan hanya menunggu kejujuran dan niat baik.

Pemilik perusahaan tentu memerlukan update informasi untuk mengetahui keberlanjutan usahanya. Namun, para profesionalnya tidak melaporkan. Seyogyanya, pemilik perusahaan menerima informasi dari sumber lain, termasuk informasi dari DJP. Ini bisa menjadi early warning system tambahan.

Moral Hazard
DALAM situasi yang menekan seperti pada masa pandemi ini, KPP cenderung menahan pemeriksaan. Ada Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-13/PJ/2020 yang melarang Surat Perintah Pemeriksaan (SP2) baru selama pandemi. Bahkan, surat konfirmasi dokumen pun cenderung ditahan.

Padahal, para penanggung jawab pajak sebenarnya menggunakan taktik buying-time saja. Sambil mengais penghasilan dari sisa-sisa aset yang terjual. Mereka juga mendapatkan gaji dan berbagai remunerasi yang lebih pasti dari perusahaan baru. Inilah indikasi moral hazard para profesional.

Ditambah lagi prosedur formal penagihan pajak. Dalam kondisi seperti ini, rangkaian Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, dan Lelang, dengan sendirinya menjadi absurd. Jangankan menagih bunga dan denda, menagih utang pokok pajaknya saja sulit.

Bahkan PT dalam status pailit pun diperlakukan demikian. Mungkin karena complacency tadi, restitusi bisa dicairkan dan dimanfaatkan kurator tanpa mendahulukan pembayaran pajak sebagai kewajiban preferen seperti diatur Pasal 21 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Secara umum, otoritas pajak tentu membutuhkan upaya tambahan agar pemungutan pajak lebih efisien dan optimal (Posner, 2014). Sejalan dengan postulat Mirrless (1971), otoritas pajak jelas memiliki keterbatasan dalam mengindentifikasi kemampuan atau usaha wajib pajak.

Karena itu, perlu dukungan lembaga lain. Misalnya dari perbankan tentang mutasi rekening, atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan profil PT se-Indonesia. Pengadilan Niaga juga bisa menyediakan data wajib pajak yang dalam proses pailit secara lengkap.

DJP seyogyanya menjalin komunikasi yang lebih intens dengan berbagai pihak itu, terutama dengan ultimate shareholders. Persamaan kepentingan di antara keduanya niscaya menghasilkan manfaat. Dan dengan demikian, DJP dapat secara efektif mencegah potensi penerimaan yang hilang.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN