Rizmy Otlani Novastria,
INDONESIA kini di ambang resesi. Pandemi Covid-19 telah membuat produk domestik bruto (PDB) terkontraksi 2 kuartal berturut-turut. Stimulus Rp695,20 triliun telah dianggarkan, tetapi hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha menunjukkan saldo bersih tertimbang justru turun -35,75%.
Di tengah kepanikan itu, pemandangan kontras justru terjadi di pasar cryptocurrency. Data coinmarketcap.com menunjukkan total kapitalisasi pasar aset kripto per 24 September 2020 mencapai U$325,8 miliar. Rata-rata semua jenis kripto mengalami kenaikan lebih dari 100%.
Harga Bitcoin misalnya, mencapai US$11.500 atau hampir Rp170 juta. Ethereum menyentuh Rp7,13 juta di pekan pertama September 2020. Ada pula Aurora yang harganya ikut meningkat drastis lebih dari 300%. Peningkatan ini adalah level tertinggi sejak 2 tahun terakhir.
Ingar bingar cryptocurrency menunjukkan aset ini kini dipandang sebagai safe haven. Hal ini dibuktikan penetrasi pengguna kripto di Indonesia yang mencapai 30 juta atau 11% dari 270 juta penduduk. Angka ini tidak jauh berbeda dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia dengan porsi 15%.
Studi Microsoft menunjukkan indeks persebaran cryptocurrency di Indonesia 4 kali lebih tinggi daripada di AS. Bisa dibayangkan, dengan populasi sangat besar, 100 orang menarik 4.350 investor. Dengan imbal hasil 35% dan investasi minimum Rp50.000-Rp100.000, kripto jadi sangat menarik.
Sayangnya, peluang ini kurang menjadi perhatian terutama terkait dengan aspek kepastian hukum perpajakannya. Sebenarnya cryptocurency telah dilegalkan melalui Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5/2019. Ketentuan ini menganggap kripto sebagai aset.
Karena itu, perlakuan pajak aset kripto dipersamakan dengan aset nondigital dalam self asessment. Skema ini berupa pemajakan atas keuntungan pengalihan harta yang dikenakan Pasal 17 UU Pajak Penghasilan. Skema umum ini menemui banyak kendala pencatatan, pelaporan, dan audit.
Masalah pencatatan yang sering dialami misalnya, adalah pencatatan basis pengenaan pajak dan metode persediaan. Pencatatan ini sangat penting karena akan membedakan nilai perolehan dan capital gain saat aset dialihkan.
Perbedaan waktu dan harga juga mempersulit penilaian wajar atas aset kripto. Terlebih apabila dikaitkan dengan pencatatan persediaan, pengguna aset kripto akan disibukkan dengan de minimis atau hal-hal yang tidak signifikan (Jurado, 2019).
Contoh, ketika pemilik memilih menggunakan metode FIFO, pengguna harus disiplin mencatat setiap transaksi. Saat terjadi pengalihan aset kripto, pemilik harus mampu mengidentifikasi harga aset yang lebih dulu dibeli. Tentu metode ini sangat menyulitkan terutama bagi wajib pajak orang pribadi.
Kerumitan ini juga terjadi di Thailand. Pemilik cryptocurrency di Thailand tidak memahami cara mengonversi nilai kripto. Tidak ada platform yang ditunjuk langsung oleh pemerintah sebagai konverter. Kendala ini menyebabkan ketidakpatuhan dan peluang penghindaran pajak makin tinggi.Â
Tantangan selanjutnya pelaporan. Internal Revenue Service menyatakan pelaporan pajak kripto hanya 800-900 pengguna atau 0,04% dari total wajib pajak. Kendalanya administrasi dan kompleksitas aturan (Polizzano, 2018). Pembayar pajak AS kesulitan menghitung dan melaporkan pajak capital gain.
Criptocurrency juga memiliki risiko tinggi penghindaran pajak. Aset kripto bisa digunakan sebagai skema tax haven baru (Liota, 2019). Hal ini karena jaminan kerahasiaan data pemilik/pelanggan sangat tinggi dalam sistem kripto. Anonimitas ini mempersulit otoritas pajak melakukan pengawasan.
Skema Khusus
MELIHAT peluang perkembangan aset kripto ke depan dan tantangan yang dihadapi, pemerintah hendaknya bergerak cepat. Skema pajak khusus untuk cryptocurrency perlu segera dirumuskan untuk menghindari potential loss.
Apalagi, penerimaan negara saat ini tertekan -13,1%. Kondisi ini diperburuk defisit APBN Agustus sebesar Rp500,5 triliun atau 3,03% terhadap PDB. Padahal, defisit APBN Agustus 2019Â hanya Rp197,9 triliun. Kontribusi pajak dari sektor yang diuntungkan selama pandemi menjadi krusial.
Pengenaan tarif PPh final atas keuntungan pengalihan harta dapat menjadi solusi. Kerumitan pencatatan dan penghitungan PPh dapat dieliminasi melalui tarif tunggal. Sebagai tambahan, skema witholding system akan jauh lebih efektif diterapkan dibandingkan dengan skema self asessment.
Di bidang pajak pertambahan nilai (PPN), aset kripto ini menjadi dilematis. Uni Eropa memang mengecualikan value added Tax (VAT) atas cryptocurrency dikarenakan sifatnya yang lebih mirip alat tukar. Namun, di Indonesia karakteristik kripto ini adalah sebuah aset.
UU PPN juga tidak mengakomodasi aset kripto sebagai negative list. Untuk mempermudah administrasi, pemerintah dapat memberlakukan dasar pengenaan pajak nilai lain. Selain itu, penetapan pedagang fisik aset kripto menjadi pemungut juga dapat menjadi opsi.
Thailand menerapkan VAT 7% untuk aset kripto meski mengalami kesulitan dalam konversi. Israel mengenakan VAT 17% karena menganggap kripto sebagai properti. Kendala konversi dapat diselesaikan bila pemerintah menunjuk platform terpercaya untuk dijadikan sebagai acuan. Â
Untuk mengantisipasi risiko pergeseran laba antarnegara, upaya kerja sama antarnegara harus terus ditingkatkan. Hal ini akan menjamin kemudahan pertukaran data dan delineasi transaksi. Reformasi pajak yang sedang digarap sebaiknya tidak gagap mengantisipasi skema baru aset digital ini.
Harus diakui upaya pemerintah dalam mendongkrak sisi supply-demand bukanlah satu-satunya panasea. Sisi penerimaan juga layak mendapat perhatian. Ketika defisit melebar dan mengancam perekonomian, peran sektor pemenang akan sangat dinantikan.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.