FILM berjudul The Imitation Game menceritakan seorang ahli matematika yang mampu menciptakan mesin pemecah kode dengan 159 triliun kombinasi kode yang berubah setiap hari. Terobosan teknologi tersebut berhasil menyelamatkan jutaan nyawa rakyat Britania Raya dari serangan Jerman.
Hebatnya lagi, mesin yang akhirnya dikenal dengan nama mesin Turing tersebut merupakan cikal-bakal teknologi komputer yang kita pakai hari ini. The Imitation Game menjadi bukti nyata bahwa teknologi membawa pengaruh besar bagi kehidupan. Hingga hari ini setiap aspek dan bidang dalam kehidupan tak lepas dari teknologi, termasuk bidang ekonomi dalam pemerintahan.
World Bank Group bersama dengan PricewaterhouseCoopers (PwC) menerbitkan laporan berjudul Paying Taxes 2018. Laporan tersebut berisikan data dan analisis selama 30 tahun terakhir terhadap 190 perekonomian negara di dunia.
Dalam segmen World Bank Commentary, pengenalan atau pengembangan sistem elektronik dalam perpajakan menjadi inovasi sistem pemungutan pajak terbaik. Sebanyak 17 negara telah membuktikan bahwa teknologi melalui sistem elektronik dalam perpajakan memudahkan baik otoritas pajak maupun wajib pajak sehingga memberikan dampak positif pada penerimaan pajak di negara-negara tersebut.
Laporan tersebut juga mengatakan bahwa ekspansi teknologi digital sudah harus mulai diterapkan di dunia perpajakan, karena di abad ke-21 hingga seterusnya akan semakin banyak orang yang hidup berdampingan dengan teknologi.
Hal tersebut juga berlaku bagi Indonesia. Masalah perpajakan di Indonesia saat ini bertumpu pada lemahnya kepatuhan wajib pajak dan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, rumitnya administrasi perpajakan, perubahan peraturan perundang-undangan yang terlalu dinamis, serta lemahnya pemanfaatan teknologi dalam dunia yang serba digital.
Lalu bagaimana kira-kira calon pemimpin negara ini mengatasi masalah perpajakan tersebut? Indonesia saat ini harus kritis dalam menilai para calon pemimpin negara. Salah satunya dengan menaruh perhatian terhadap bagaimana mereka memperlakukan tulang punggung penerimaan negara ini, pajak.
Kubu pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin memiliki 2 program terkait pajak, yaitumelanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan dan memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Sedangkan pada pasangan capres dan cawapres nomor urut 02 PrabowoSubianto-Sandiaga Uno, kebijakan yang dijanjikan terkait pajak ada 4, di antaranya menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh pasal 21 orang pribadi, menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.
Selanjutnya, menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga, serta meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang murah dan terjangkau melalui kebijakan perpajakan yang menunjang.
Secara sekilas dapat dilihat bahwa keduanya sama-sama belum menggiring pengembangan teknologi sebagai garda utama inovasi perpajakan di Indonesia. Pasangan nomor urut 01 lebih berfokus pada melanjutkan pekerjaan yang belum tuntas yaitu reformasi perpajakan.
Namun, terlihat adanya perhatian pasangan ini terhadap pengembangan teknologi, yaitu dalam reformasi perpajakan yang menyebutkan perubahan sistem pada teknologi informasi dan basis data serta dalam program kerja lain berupa revitalisasi industri dan infrastruktur pendukung menyongsong revolusi industri 4.0.
Sedangkan program insentif bagi UMKM masih mengambang ke arah manakah ia akan berjalan. Padahal, UMKM terkenal dengan kelemahannya dalam pemanfaatan teknologi. Seharusnya pasangan nomor urut 01 dapat lebih menggadang teknologi dalam program kerjanya yang selangkah lebih menjurus kepada pengembangan teknologi tersebut.
Pasangan nomor urut 02 memfokuskan programnya pada banyaknya insentif seperti penurunan tarif PPh 21 orang pribadi, menaikkan PTKP, menghapus PBB, dengan harapan tingkat konsumsi masyarakat semakin tinggi dan mampu meningkatkan daya saing ekonomi negara.
Kabar baiknya, program tersebut selaras dengan hasil laporan Paying Taxes 2018 mengenai beberapa faktor yang dapat meningkatkan penerimaan di beberapa negara. Di antaranya dengan mengurangi tarif PPh seperti Jepang yang mengurangi tarif PPh Badan dari 25,5% menjadi 23,9%.
Kemudian tindakan mengurangi pajak pegawai dan PTKP seperti di Ukraina, serta mengurangi tarif pajak lain seperti Indonesia yang mengurangi tarif pajak terhadap modal dari 5% menjadi 2,5%.
Program-program tersebut cukup berisiko karena dengan penurunan tarif dan peningkatan PTKP itu artinya akan semakin banyak pundi-pundi penerimaan pajak yang hilang. Karena itu, hal tersebut harus dapat diimbangi dengan perluasan basis pajak serta peningkatan jumlah wajib pajak.
Pajak sebagai tulang punggung Indonesia menopang lebih dari 80% penerimaan negara ini. Kedua pasangan memiliki program unggulannya masing-masing, namun dirasa masih kurang perhatian terhadap kemajuan teknologi saat ini.
Berdasarkan masalah-masalah perpajakan Indonesia, pengenalan dan pengembangan teknologi digital yang diikuti perubahan di semua pilar dapat menjadi sebuah terobosan masa kini untuk penerimaan pajak yang lebih baik di Indonesia.
Dunia sudah serba digital, rakyat Indonesia pun kini serba digital. Masyarakat lebih suka hal yang instan. Apabila ingin mengajak masyarakat digital bekerja sama, maka lakukanlah dengan cara digital pula. Air mengikuti bagaimana bentuk wadahnya. Maka pemerintah sebagai pemegang kendali arus, harus mengikuti wadahnya saat ini, yaitu Indonesia yang milenial.
Siapa di antara kedua capres yang lebih berani dan mampu menggadang pengembangan teknologi? Bukan mustahil suara milenial akan berkumpul di tangan pasangan tersebut. Layaknya Britania Raya yang menang melawan Jerman dengan teknologinya, Indonesia juga mampu menang melawan masalah perpajakan dengan teknologinya.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.