LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Melihat Strategi Marketing Program Pajak Jokowi dan Prabowo

Redaksi DDTCNews | Rabu, 09 Januari 2019 | 14:49 WIB
Melihat Strategi Marketing Program Pajak Jokowi dan Prabowo
Rizky Pratama, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Unversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

PEMILU 2019 sebentar lagi akan tiba, dan masa kampanye bagi masing-masing partai politik telah dimulai. Keempat belas partai politik akan bersaing dalam elektoral politik dan berusaha mengambil hati masyarakat dengan tujuan memperoleh kursi legislatif sebanyak-banyaknya.

Seiring dengan pelaksanaan pemilu itu, kontestasi pilpres juga menjadi perbincangan hangat dan menarik akhir-akhir ini. Sejumlah partai pun mulai mengadakan koalisi dan telah menetapkan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) sebagai pimpinan negara berikutnya.

Capres dan cawapres yang ditetapkan mengerucut pada dua pasangan calon (paslon), yakni Joko Widodo-Ma’ruf Amin nomor urut 01 sebagai kubu petahana, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno nomor urut 02 sebagai kubu kompetitor.

Masa kampanye digunakan para capres sebagai ajang adu visi-misi, argumentasi, dan strategi sebagai perwujudan marketing politik. Tak heran kontestasi pilpres menarik disimak karena kubu petahana dan kubu kompetitor memiliki program dan cara tersendiri untuk meraih dukungan masyarakat.

Polemik dan konfrontasi bisa saja muncul pada program yang dicanangkan oleh kedua paslon, salah satunya adalah program pajak yang berperan besar terhadap penerimaan negara. Sebab pajak memang memiliki kontribusi yang tinggi terhadap penerimaan negara.

Berdasarkan proyeksi penerimaan negara dalam APBN 2019 sebesar Rp2.142,5 triliun, penerimaan sektor pajak dinilai memiliki target yang lebih besar sebagai sumber penerimaan negara dengan nilai Rp1.781 triliun.

Tantangan yang menanti kedua paslon adalah kemungkinan resiko pelebaran shortfall dan tax ratio yang melemah di tahun-tahun terakhir. Ini menjadi alasan bahwa pajak merupakan salah satu fokus pembenahan bagi kedua paslon.

Fritz Neumark mengungkapkan dua prinsip revenue productivity dalam prinsip pemungutan pajak. Pertama, the principle of adequacy merupakan prinsip bahwa sistem perpajakan seharusnya menjamin penerimaan negara untuk membiayai semua pengeluaran.

Kedua, the principle of adaptabilitymerupakan prinsip bahwa sistem perpajakan bersifat cukup fleksibel untuk menghasilkan penerimaan tambahan negara apabila terjadi kebutuhan negara yang tidak terduga. Kedua prinsip tersebut memiliki arti bahwa penerimaan sektor pajak adalah indikator yang tidak boleh dikesampingkan dalam penerimaan negara dan tidak selalu berfokus pada penerimaan migas saja.

Sebagai sumber penerimaan yang berasal dari rakyat, pajak dapat dialokasikan untuk membangun kesejahteraan sosial, infrastruktur sosial, dan cadangan devisa negara. Pajak merupakan private savingatau tabungan rakyat karena tidak semua penghasilannya dikonsumsi (Soemitro, 1988). Pengeluaran pajak dirancang untuk memperbaiki distribusi pendapatan kelompok masyarakat tertentu (Mangkoesoebroto, 1994).

Dalam politik, pajak memiliki posisi strategis karena menjadi media yang menghubungkan negara dan rakyat. Maka dari itu, wajar bila pencanangan program pajak di dalam visi-misi kedua paslon akan menambah dukungan dan memberikan value tersendiri di mata masyarakat luas.

Kubu petahana telah mencanangkan program pajak yang dapat memuluskan perjalanan politiknya, begitupun juga dengan kubu kompetitor. Program yang ditawarkan antara lain Pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.

Reformasi perpajakan merupakan cara untuk memperbaiki dan meningkatkan perekonomian (Devano dan Rahayu, 2006). Kubu petahana menilai reformasi perpajakan adalah langkah jitu untuk meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Kebijakan tax holiday melalui PMK 35/2018 merupakan salah satu contoh program reformasi perpajakan yang membuahkan hasil cukup baik.

Kedua, memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Insentif pembebasan pajak (tax holiday) dan pemangkasan tarif pajak merupakan strategi marketing politik petahana. Pemberian insentif pajak dimungkinkan dapat meningkatkan perkembangan sektor UMKM.

Selain itu, pemangkasan tarif PPh final dari 1% menjadi 0,5% dapat membantu meringankan beban pajak para pelaku UMKM. Pemangkasan tarif PPh final diharapkan dapat menggugah kesadaran pelaku UMKM untuk membayar pajak sehingga dapat berkontribusi pada perekonomian nasional.

Kemudian, kubu kompetitor juga tidak kalah dalam memasarkan program pajaknya. Program yang dicanangkan antara lain Pertama, menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 21. Tampaknya, kubu kompetitor ingin menekankan asas fairliness apabila terpilih dalam pemilu presiden (pilpres) mendatang.

Dengan adanya penurunan tarif PPh pasal 21 diharapkan dapat mengubah stigma negatif bahwa orang yang berpendapatan besar akan menanggung beban pajak yang lebih besar, sebaliknya orang yang berpendapatan kecil akan menanggung beban pajak yang lebih kecil pula.

Asas fairliness dapat tercipta fairliness di antara masyarakat yang berpendapatan rendah atau tinggi, dengan digunakannya asas diharapkan menggugah keinginan masyarakat berbagai golongan untuk membayar pajak.

Kedua, menghapus pajak bumi dan bangunan (PBB) untuk rumah pertama. Penghapusan PBB dalam kepemilikan rumah pertama dan utama diyakini dapat mengurangi beban hidup masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah. Penghapusan PBB menjadi langkah solutif untuk mengatasi permasalahan papan masyarakat dan menjadi insentif pengembangan rumah murah untuk rakyat.

Ketiga, menaikkan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Kubu kompetitor memiliki rencana menaikkan PTKP sampai dua kali nominal upah minimum pekerja di wilayah DKI Jakarta. UMP DKI Jakarta pada tahun 2018 sebesar Rp3.648.035, untuk tahun 2019 diperkirakan mencapai Rp3.940.972. Kenaikan nilai PTKP ini dapat memberikan uang tambahan kepada buruh atau pekerja sehingga meningkatkan daya beli.

Berbagai program dan wacana fiskal telah disuguhkan oleh kubu petahana maupun kubu kompetitor. Petahana cenderung ingin melanjutkan apa yang ada di masa kepemimpinannya, sedangkan kompetitor cenderung menekankan agresivitas fiskal.

Tentu terdapat sisi positif dan negatif dalam strategi marketing kedua paslon, tergantung bagaimana masyarakat menyikapinya. Masyarakat sebagai partisipan demokrasi berpengaruh besar dalam penentuan nasib negara di masa yang akan datang. Dengan demikian, masyarakat juga seharusnya tidak keliru dalam menentukan pilihannya. Jadi, strategi marketing mana yang lebih baik? Petahana atau kompetitor?*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 04 Maret 2024 | 11:30 WIB LAPORAN KINERJA DJP 2023

DJP Belanjakan Rp34,34 Miliar untuk Bangun Coretax System pada 2023

Sabtu, 02 Maret 2024 | 13:30 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Perubahan Struktur Penerimaan Perpajakan RI pada Awal Reformasi Pajak

BERITA PILIHAN