Ilustrasi.
RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa pajak atas koreksi positif dasar pengenaan pajak (DPP) PPN.
Otoritas pajak menyatakan bahwa terdapat penyerahan barang yang masih terutang PPN masukannya. Atas dasar tersebut, otoritas pajak melakukan koreksi positif DPP yang menyebabkan PPN menjadi kurang dibayar.
Sebaliknya, wajib pajak menyatakan bahwa pihaknya telah mencatat seluruh penjualan atau penyerahan barang dengan kondisi yang sebenarnya. Adapun terkait perbedaan hasil penghitungan dalam menghitung PPN terutang disebabkan adanya perbedaan waktu pengakuan pembelian barang. Hal tersebut dapat dibuktikan oleh wajib pajak dengan bukti pendukung yang ada.
Pada tingkat banding, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Kemudian, pada tingkat PK, Mahkamah Agung menolak Permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau Perpajakan DDTC.Â
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat bahwa koreksi yang dilakukan oleh otoritas pajak tidak dapat dibenarkan.
Terhadap permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan oleh wajib pajak. Selanjutnya, dengan diterbitkannya Putusan Pengadilan Pajak No. Put-60393/PP/M.XVA/16/2015 tanggal 23 Maret 2015, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 14 Juli 2015.
Pokok sengketa dalam perkara ini adalah adanya koreksi positif DPP PPN senilai Rp297.344.088 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
PEMOHON PK selaku otoritas pajak menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Untuk diketahui, sengketa ini berasal dari terbitnya SKPKB PPN yang kurang dibayar atas pembelian bahan baku oleh Termohon PK.
Pemohon PK menyatakan bahwa pihaknya melakukan koreksi berdasarkan hasil ekualisasi harga pokok penjualan (HPP) dengan pajak masukannya. Hal tersebut mengakibatkan adanya selisih yang membuat penghitungan PPN menjadi kurang dibayar.
Selain itu, Pemohon PK berpendapat bahwa pada saat proses pemeriksaan dan keberatan, Termohon PK hanya memberikan bukti terima barang dan faktur pajak masukan. Untuk dokumen lainnya yang terkait pemeriksaan, oleh Termohon PK tidak diberikan kepada Pemohon PK.
Berdasarkan pertimbangan di atas, Pemohon PK berkesimpulan bahwa putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak benar. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan Pemohon PK seharusnya dapat dipertahankan.
Sebaliknya, Termohon PK tidak setuju dengan pernyataan Pemohon PK. Termohon PK menyatakan bahwa pihaknya telah memungut PPN atas seluruh penyerahan yang dilakukannya. Di samping itu, Pemohon PK juga tidak dapat menunjukkan data konkret terkait adanya penyerahan BKP yang menyebabkan PPN terutang dari Termohon PK menjadi kurang dibayar.
Selisih hasil ekualisasi HPP dengan pajak masukan yang dimaksud berasal dari pembelian yang dilakukan di tahun 2009 dan telah dibebankan dalam HPP. Namun demikian, atas pajak masukannya memang dikreditkan di tahun 2010 karena faktur pajaknya baru diterbitkan di tahun tersebut.
Lebih lanjut, Termohon PK berpendapat bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak berdasarkan bukti yang kuat dan hanya didasarkan pada penghitungan Pemohon PK sendiri. Pemohon PK tidak memperhitungkan perbedaan waktu penyerahan BKP serta tidak memperhitungkan barang dalam proses produksi.
Oleh sebab itu, Termohon PK menilai ada penyalahgunaan wewenang yang dilakukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, perbedaan penghitungan peredaran usaha dalam menghitung PPN terutang disebabkan adanya perbedaan waktu pengakuan pembelian atau penjualan dengan pengakuan penyerahan BKP.
Selanjutnya, ketika proses pemeriksaan dan keberatan, Termohon PK juga telah menyerahkan dokumen berupa bukti terima barang dan faktur pajak masukan. Selain itu, dokumen lainnya terkait pembelian untuk Tahun Pajak 2009 dan 2010 juga telah diberikan kepada Pemohon PK.
Dengan demikian, Termohon PK berkesimpulan bahwa koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan sehingga harus dibatalkan.
MAHKAMAH Agung berpendapat bahwa alasan-alasan permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Setidaknya, terdapat 3 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.
Pertama, alasan permohonan PK atas koreksi DPP PPN sebesar Rp297.344.088 untuk masa pajak November 2010 tidak dapat dibenarkan. Sebab, setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan.
Kedua, menurut Majelis Hakim Mahkamah Agung, berdasarkan uji kebenaran materi yang dilakukan, Termohon PK telah menyerahkan bukti pendukung yang memadai dan benar. Oleh karena itu, koreksi Pemohon PK tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan uraian di atas, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK yang diajukan oleh Pemohon PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK ditetapkan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (sap)