IDI AMIN:

'Uganda Harus Jadi Tuan atas Nasibnya Sendiri'

Redaksi DDTCNews
Senin, 20 April 2020 | 14.45 WIB
'Uganda Harus Jadi Tuan atas Nasibnya Sendiri'

Presiden Uganda 1971-1979 Jenderal Idi Amin Dada Oumee.

BOLEHKAH pemerintah mengusir penduduknya sendiri, meski penduduk itu sudah membayar pajak? Kalau pertanyaan ini diajukan kepada Presiden Uganda 1971-1979 Jenderal Idi Amin Dada Oumee (1925-2003), dengan tubuh tinggi gempal, kuat, dan liat, ia akan berkata sederhana.

“Kami bertekad menjadikan Uganda tuan atas nasibnya sendiri, melihat orang Uganda menikmati kekayaan negaranya. Kebijakan kami adalah mentransfer kendali ekonomi Uganda ke tangan orang Uganda, untuk kali pertama dalam sejarah kami,” katanya, pada akhir kemarau 1972.

Pada tahun itu Amin secara semena-mena mengusir orang-orang keturunan India dan Pakistan, terutama asal Gujarat, yang tinggal dan bekerja di Uganda. Ia juga menyita properti dan bisnis mereka tanpa ganti rugi, dan memberikan waktu 90 hari bagi mereka untuk meninggalkan Uganda.

Akhirnya, sekitar 80 ribu orang keturunan India, dengan status tanpa warga negara (stateless), di bawah ancaman senjata, serentak meninggalkan negara tersebut. Sebagian dari mereka kemudian ditampung oleh Inggris, Kanada, Amerika Serikat, dan sejumlah negara lain.

Namun, Amin abai dengan data ini: Bahwa penduduk yang diusirnya itu adalah penyumbang 90% pendapatan pajak Uganda. Mereka sekaligus mengendalikan 90% perekonomian Uganda. Hasilnya mudah ditebak. Ekonomi Uganda awut-awutan. Penerimaan pajak jeblok, ekonomi macet.

Memang, ‘elephant in the room’ di Uganda pada 70-an adalah dominasi ras Asia Selatan, terutama India, dalam perekonomian. Begitu besarnya dominasi tersebut, karena mereka menguasai hingga 90% bisnis di Uganda dan menyumbang 90% dari total pendapatan pajak Uganda.

Ungkapan elephant in the room atau gajah di ruangan ini mungkin agak sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kamus online Cambridge mendefinisikan ungkapan tersebut sebagai situasi di mana ada masalah yang diketahui banyak orang, tetapi tidak ada yang mau membicarakannya.

Tidak mungkin tidak menyadari keberadaan masalah tersebut, karena ibarat gajah, ia demikian besar dan mencolok. Namun, orang-orang di dalam ruangan itu akan tetap mengabaikannya, berpura-pura tidak tahu, karena masalah tersebut biasanya merupakan hal tabu.

Di Amerika Serikat, gajah di ruangan itu contohnya dominasi pelobi Yahudi dalam politik, atau konflik kepentingan anggota Kongres karena mereka memiliki saham perusahaan multinasional. Atas ‘gajah’ tersebut, sikap yang diambil biasanya TST alias tahu sama tahu, tanpa perlu diungkapkan.

Orang India yang jumlahnya hanya 20% dari populasi Uganda itu mula-mula diangkut Kerajaan Inggris pada akhir abad ke-19 sebagai buruh tani dan pekerja kasar. Mereka kemudian masuk ke berbagai sektor. Banyak dari mereka menetap di Uganda hingga akhirnya berkewarganegaraan Uganda.

Namun, dalam sikap sehari-hari, sebagian orang India menganggap peradaban mereka lebih maju dari Uganda. Karena itu, indofobia—sentimen anti-India yang mengacu pada kebencian terhadap orang dan budaya India— perlahan tumbuh bersamaan dengan bangkitnya generasi asli Uganda.

Pada masa kekuasaan Presiden Milton Obote (1966-1971), dibentuk Komite Afrikanisasi Perdagangan dan Industri. Komite ini mengusulkan program yang indofobik. Sistem izin kerja dan dagang khusus untuk orang India diperkenalkan, begitu pula legalisasi praktik segregasi dan diskriminasi orang India.

Puncaknya terjadi para era kepresidenan Idi Amin, setelah berhasil mengudeta Obote. Orang-orang keturunan India diusir paksa dari Uganda. Ke mana mereka pergi? Amin tak peduli. “Pokoknya, kendali ekonomi Uganda harus jatuh ke tangan orang Uganda,” tandasnya.

Namun, pengusiran itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Pada 1986, 15 tahun setelah pengusiran tersebut, Pemerintah Uganda yang sudah terbebas dari Idi Amin setelah Kampala, ibu kota Uganda, direbut Tanzania pada 11 April 1979, kembali mengundang keturunan India datang dan membangun bisnis di sana.

Dalam pembahasan konstitusi terakhir, India bahkan diusulkan untuk dijadikan suku tersendiri di Uganda. Saat ini, orang keturunan India menguasai 65% perekonomian Uganda, dengan 50% setoran pajak berasal dari mereka. Bahkan, orang terkaya di Uganda saat ini adalah juga keturunan India.

Lalu apa kata Idi Amin, mengenai masanya sebagai diktator di Uganda yang disebut bertanggung jawab atas pembunuhan 100.000-500.000 nyawa? “Itu hanya nostalgia,” katanya seraya tersenyum, tak berapa sebelum ia meninggal di Riyadh, Arab Saudi, di tempat pengasingannya. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.