Ilustrasi. (foto: digitalpicturezone.com)
ABUJA, DDTCNews – Pemerintah Nigeria menerapkan pajak baru sebesar 5% atas pembelian barang secara online. Negara ini juga ingin pajak tersebut dipungut oleh pihak bank untuk pemerintah.
Namun, penerapan pajak tersebut mendapat tanggapan negatif dari pebisnis. Pajak baru itu dinilai sebagai praktik pajak berganda sehingga semakin menggerus keuntungan. Selain itu, pajak tersebut diproyeksi akan menurunkan minat untuk berbelanja online.
“Ini adalah bentuk pajak berganda karena kami masih harus membayar pajak lain, yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 5%. Ini juga akan menurunkan minat pembelian secara online, padahal saat ini bisnis online tengah berkembang dengan baik,” kata Segun Abiona, Pendiri Nicole dan Giovanni, Minggu (1/9/2019).
Lebih lanjut, Abiona mengkhawatirkan masa depan bisnisnya jika pemerintah menerapkan pajak 5% untuk penjualan online. Dia juga mengklaim saat ini banyak bisnis berskala kecil yang harus gulung tikar. Mayoritas diantaranya adalah pebisnis online.
Adapun penerapan pajak untuk transaksi pembelian online Nigeria ini sekaligus menambah daftar panjang negara di Benua Afrika yang mengenakan pajak atas platform digital dan transfer uang secara digital.
Setahun yang lalu, pemerintah Uganda memberlakukan pajak dengan tarif tinggi atas penggunaan media sosial. Penerapan pajak tersebut memaksa jutaan orang untuk meninggalkan beberapa platform media sosial seperti Twitter dan WhatsApp.
Pihak berwenang Uganda mengatakan pemberlakukan pajak tersebut untuk mengekang pembicaraan yang tak berguna. Namun, terdapat beberapa kritik yang menuding tindakan tersebut sebagai upaya untuk menghentikan perbedaan pendapat.
Selanjutnya, di Kenya, pemerintah meningkatkan pajak atas transfer uang digital. Bahkan, pada bulan ini, Kenya Revenue Authority mengatakan akan mulai membebani pajak pada banyak aplikasi yang tengah dikembangkan dan diunduh di negara itu.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Lembaga Urusan Ekonomi Kenya Kwame Owino mengatakan masyarat akan menemukan cara untuk menghindari pajak atas penggunaan platform digital. Hal ini lantaran masyarakat bisa saja menganggap pemerintah telah mengenakan pajak yang terlalu tinggi.
“Pajak ini akan memacu masyarakat untuk kembali menggunakan metode informal. Dengan demikian model transaksi akan kembali turun ke level yang lebih rendah. Misalnya, mereka mungkin memutuskan untuk kembali menyimpan uang dibawah kasur seperti biasanya,” Kata Owino
Selaras dengan Owino, banyak ekonom dan pengguna platform digital khawatir pertumbuhan bisnis akan mendapat pukulan besar akibat semakin banyaknya negara mengenakan yang pajak atas penggunaan teknologi.
Padahal, seperti dilansir voanews, menurut beberapa analis bisnis, setidaknya 100 juta orang di benua tesebut menggunakan layanan digital. Selain itu, perusahaan teknologi di Afrika sudah menghadapi tantangan terkait dengan infrastruktur dan Internet di beberapa wlayah yang lambat dan mahal. (MG-nor/kaw)