LAPORAN FOKUS

‘Pemutihan Tunggakan Pajak Kendaraan Beri Contoh Buruk’

Sapto Andika Candra
Kamis, 08 Mei 2025 | 15.15 WIB
‘Pemutihan Tunggakan Pajak Kendaraan Beri Contoh Buruk’

PENJAJA kacang rebus di Terminal Blok M tumben-tumbenan pulang dengan sisa dagangan. Sudah ditunggu sampai malam pun, masih ada 10 buntelan kecil kertas koran berisi rebusan kacang tanah yang tak laku dijual. 

Biasanya, seluruh dagangan ludes sejak jam 5 sore. Saat akhir pekan saja, meski tidak ada pekerja kantoran sekalipun, mestinya jualan di sekitaran 'lokasi mejeng' anak muda Jakarta Selatan itu tetap menjanjikan. 

Tapi hari itu, malam-malam akhir pekan di pengujung September 1993, si penjual kacang rebus terpaksa membawa pulang sisa dagangannya. Hitung-hitungannya sih masih untung, tapi tidak sebanyak hari biasa. 

Seharian itu, populasi manusia yang berkunjung ke Terminal Blok M memang tidak begitu ramai. Penyebabnya, jumlah armada bus PPD jurusan Blok M-Senen banyak yang tidak beroperasi. Kira-kira cuma 80% unit armada yang bisa jalan. 

Angkutan umum lain? Jangan bayangkan zaman itu mobilitas manusia di ibu kota sudah semudah sekarang. Bus kota masih menjadi andalan warga untuk pindah tempat dari Radio Dalam ke Pasar Baru, atau Bendungan Hilir ke Roxy. 

Makanya, saat bus PPD banyak yang tak beroperasi, pergerakan orang ikut terhambat. Ditambah lagi akhir pekan.

Sejak diberlakukannya Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UULAJ) pada 17 September 1993, banyak kendaraan angkutan umum tak bisa mengaspal. Alasannya, tunggakan pajak kendaraan yang belum lunas. Pemerintah memang memperketat ketentuan operasional angkutan umum, termasuk kewajiban terkait pajak kendaraan yang mesti dipenuhi. 

"Sekitar 20 persen kendaraan angkutan umum tidak beroperasi karena berkaitan dengan surat-surat kendaraan yang selama ini bebas dioperasikan," tulis Harian Kompas edisi 23 September 1993 di sebuah artikelnya di halaman 7. 

Menanggapi situasi tersebut, Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan saat itu, Soejono, berencana mengajukan penyelenggaraan pemutihan pajak kendaraan. Tujuannya tentu saja agar tunggakan-tunggakan pajak kendaraan atas angkutan umum di Jakarta bisa dibebaskan. 

Namun, ternyata ide itu langsung ditentang oleh Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirja. Sosok yang menjabat sebelum Sutiyoso itu menilai kebijakan pemutihan pajak kendaraan bisa memberikan kesan yang kurang baik terhadap sektor-sektor lain yang berkaitan dengan masyarakat. 

Apalagi, tuturnya di Balikota saat menjawab pertanyaan wartawan, pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD). Pemutihan pajak, menurutnya, bakal menggerus potensi PAD yang sebenarnya. 

"Saya tidak setuju. Hal ini akan menimbulkan preseden buruk. Di wilayah DKI Jakarta sebenarnya sudah terlalu banyak untuk bidang- bidang lain di luar STNK dan kir yang diputihkan, misalnya IMB (izin mendirikan bangunan) beberapa waktu lalu," kata Surjadi. 

Sebenarnya, Pemprov DKI Jakarta sudah mengenalkan konsep pemutihan PKB dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) sejak medio 1980-an. 

Pada 1987 misalnya, kebijakan pemutihan PKB dan BBNKB sudah diberikan kepada pemilik kendaraan yang menunggak. Tujuannya, merangkul wajib pajak agar mulai rutin kembali menyetorkan pajaknya di kemudian hari. 

Namun, pemikiran Surjadi yang menentang adanya pemutihan pajak ada benarnya. Paul Omerod, seorang profesor dari University College, London (UCL) juga sempat menuangkan pemikirannya perihal konsep 'pemutihan' dalam sebuah wawancara dengan Majalah Tempo pada awal 2000-an. 

Saat itu, Paul menanggapi permintaan sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Tanah Air agar International Monetary Fund (IMF) memutihkan utang luar negeri RI. LSM-LSM itu beralasan, utang dari IMF muasalnya ditarik oleh rezim pemerintahan yang korup. 

Paul tidak sepakat dengan ide itu. Menurutnya, prinsip pemutihan kewajiban fiskal, apapun bentuknya, adalah kebijakan yang buruk. Pemutihan dianggap bisa mendorong manusia untuk terus ingin berutang. Alih-alih kepatuhan membaik, malah memburuk. 

Argumen yang disampaikan oleh Paul di atas agaknya masih relevan dengan konsep pemutihan pajak kendaraan yang sudah selama berpuluh-puluh tahun bergulir di banyak daerah di Indonesia. 

Mardiasmo (2002) menyampaikan optimalisasi PAD perlu dilandasi oleh manajemen penerimaan daerah yang mumpuni. Jauh sebelum menyusun strategi optimalisasi pemungutan pajak daerah, penting untuk dipastikan adanya manajemen penerimaan daerah yang baik. 

Pemerintah daerah perlu meneliti adakah penerimaan yang tidak disetor ke kas penerimaan daerah dan disalahgunakan oleh petugas di lapangan. Selain itu, perlu juga diteliti masyarakat yang tidak membayar pajaknya, serta menegaskan pemberian sanksi atas pengelekan pajak. 

Artinya, selain ekstensifikasi penerimaan, pemerintah daerah tidak boleh lengah dengan potensi yang sudah ada sehingga tidak kehilangan haknya (Mardiasmo, 2004). 

Selain itu, pelaksanaan pemutihan pajak perlu sejalan dengan prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. Keadilan yang dimaksud, mencakup sisi horizontal maupun vertikal. 

Keadilan horizontal mencerminkan samanya beban pajak bagi kelompok masyarakat yang kondisi ekonominya sama. Sementara keadilan vertikal mencerminkan beban pajak yang mengikuti kemampuan kelompok masyarakat dalam membayarnya. Sederhananya, yang kaya tentu harus membayar pajak yang lebih tinggi dari yang miskin. 

Nah, pemutihan pajak kendaraan bermotor harus digulirkan tanpa mencederai aspek keadilan di atas. Jika yang tidak patuh saja diberi keringanan, lantas bagaimana dengan yang selama ini sudah patuh? Jika mobil-mobil mewah juga ikut diputihkan, apakah sepadan bagi sedan model tua yang kebetulan pajaknya tertunggak karena ada cicilan rumah yang harus dibayar duluan? (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.