KEPATUHAN kooperatif merupakan paradigma kepatuhan yang menjunjung tinggi jalinan kerja sama otoritas pajak dan wajib pajak. Oleh karena itu, langkah awal yang dapat menjadi fondasi penentu kesuksesan penerapannya terletak pada bagaimana interaksi antara otoritas pajak dan wajib pajak dijalankan.
Edisi kelas kepatuhan pajak sebelumnya telah menjabarkan lima prinsip yang harus dipenuhi dalam interaksi antara otoritas pajak dan wajib pajak agar kepatuhan kooperatif dapat terlaksana dengan baik. Anda dapat menyimaknya dalam artikel ‘Faktor Penentu Keberhasilan Kepatuhan Kooperatif’.
Guna memberikan gambaran penerapan kapatuhan koperatif yang lebih terperinci, edisi kali ini akan mengulas hasil studi komparasi terhadap lebih dari 20 negara yang telah mengimplementasikan kepatuhan kooperatif.
Studi ini dilakukan oleh Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji, dan Denny Vissaro yang telah dimuat dalam buku ‘Era Baru Hubungan Otoritas Pajak dengan Wajib Pajak’. Anda dapat mengunduh buku tersebut secara gratis di sini.
Berdasarkan hasil studi tersebut setidaknya terdapat 12 pelajaran yang dapat diambil. Pertama, pada umumnya perubahan paradigma menuju kepatuhan kooperatif berangkat dari adanya keinginan untuk memperbaiki hubungan antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Sebagai contoh, Rusia menerapkan program horizontal monitoring karena ingin memperbaiki pelayanan dan prosedur banding serta menggunakan teknologi secara lebih intens dalam sistem pajak (International Tax Review, 2013)
Di sisi lain, Australia mengimplementasikan program Annual Compliance Arrangement (ACA) sebagai jawaban dari keluhan wajib pajak tentang tingginya ketidakpastian, biaya kepatuhan, dan rendahnya pendekatan komersil dari Australian Tax Office (ATO) (Bronzewska, 2006).
Kedua, implementasi kepatuhan kooperatif mensyaratkan adanya komunikasi dan dialog yang intens antara wajib pajak dan otoritas pajak. Contohnya, ruang lingkup program ACA di Australia meliputi dialog antara wajib pajak dan ATO terkait risiko pajak yang dimiliki oleh wajib pajak.
Ketiga, kepatuhan kooperatif pada umumnya diterapkan sebelum tahap pelaporan pajak. Sebagai contoh, Amerika Serikat menerapkan Compliance Assurance Program (CAP). Ini merupakan metode untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan isu pajak melalui interaksi yang kooperatif dan transparan antara otoritas pajak dengan wajib pajak kriteria tertentu sebelum mengisi SPT.
Keempat, program kepatuhan kooperatif pada umumnya hanya diberikan untuk wajib pajak tertentu dengan kriteria yang cukup objektif, misalkan skala usaha ataupun kompleksitas sistem pajak yang mereka hadapi.
Contohnya di Irlandia, kepatuhan kooperatif hanya berlaku untuk wajib pajak badan besar yang berada di bawah pengelolaan Revenue’s Large Cases Division. Sementara itu, Belanda menawarkan program kepatuhan kooperatif kepada wajib pajak badan besar maupun usaha kecil menengah tetapi dengan format dan pendekatan yang berbeda (OECD, 2013).
Kelima, desain, prosedur, serta sasaran dari program kepatuhan kooperatif haruslah mempertimbangkan jumlah dan kapabilitas pegawai otoritas pajak. Pentingnya pengelolaan program ini juga mendorong dibentuknya unit organisasi baru, seperti pengelolaan kepatuhan kooperatif oleh Customer Relationship Manager (bagian dari Large Business Directorate) di Inggris (gov.uk, 2016)
Keenam, implementasi program kepatuhan kooperatif biasanya dilakukan dalam bentuk langkah yang bertahap. Hal ini seperti dijumpai pada program horizontal monitoring di Belanda yang terdiri atas lima tahapan yaitu client profile, horizontal monitoring meeting, compliance scan, tax control and monitoring, serta improvement of tax control and monitoring.
Ketujuh, pada umumnya program kepatuhan kooperatif dimulai dengan melakukan pilot project. Hal ini lantaran, adanya pilot project yang hanya menyasar sebagian kecil wajib pajak pilihan dapat memberikan input terkait tepat atau tidaknya desain kebijakan yang dilakukan pemerintah (OECD, 2013).
Kedelapan, paradigma kepatuhan kooperatif pada hakikatnya bisa dituangkan dalam satu program khusus maupun dalam beberapa program sekaligus. Contohnya, seperti Rusia dan Belanda yang menerapkan horizontal monitoring sebagai program khusus (Bronzewska, 2006).
Kesembilan, penetapan pola keterlibatan wajib pajak dalam implementasi paradigma kepatuhan kooperatif. Banyak negara, diantaranya seperti Australia, Denmark, Belanda, dan Irlandia menetapkan wajib pajak dengan kriteria tertentu bisa secara sukarela terlibat dalam program kepatuhan kooperatif.
Sementara itu, Singapura, Norwegia, Selandia Baru, dan Swedia mengatur wajib pajak yang terlibat hanyalah mereka yang dipilih oleh otoritas pajak. Di sisi lain, Australia memilih untuk tidak melibatkan wajib pajak dengan risiko tinggi ke dalam program ACA.
Kesepuluh, kepatuhan kooperatif mensyaratkan adanya pengungkapan informasi dan keterbukaan dari wajib pajak. Sebagai contoh, pengungkapan informasi menjadi sesuatu yang bersifat wajib bagi wajib pajak Austria. Pasalnya, wajib pajak Austria yang tidak memberikan informasi yang relevan terkait dengan dokumen strategis tentang organisasi, sistem akuntansi, hingga dokumentasi transfer pricing di Austria, akan dikeluarkan dari program (OECD, 2013).
Kesebelas, adanya kepatuhan kooperatif telah memberikan manfaat nyata bagi wajib pajak maupun otoritas. Sebagai contoh, ACA di Australia telah berhasil mengurangi biaya kepatuhan dan potensi sengketa wajib pajak
Kedua belas, salah satu kesulitan untuk mewujudkan hubungan kepatuhan bersifat kooperatif adalah keengganan sebagian besar wajib pajak, yang pada umumnya adalah wajib pajak kecil dan menengah, untuk memiliki interaksi yang intens dengan otoritas pajak.
Pasalnya, bagi mereka berhubungan dengan otoritas pajak adalah sesuatu yang perlu diminimalkan. Hal ini menunjukkan alasan program kepatuhan kooperatif tidak harus diimplementasikan kepada setiap kelompok wajib pajak.*