PROSES bisnis registrasi merupakan langkah awal dalam proses administrasi wajib pajak. Tujuannya ialah membentuk database wajib pajak dengan mengidentifikasi dan mencatat data seluruh wajib pajak ke dalam sistem perpajakan.
Nyatanya, proses bisnis registrasi tidak melulu menyangkut pendaftaran wajib pajak. Lebih dari itu, proses bisnis registrasi juga menyangkut perubahan status wajib pajak. Seiring dengan terbitnya PMK 81/2024, pemerintah mengenalkan 1 terminologi baru terkait dengan status wajib pajak, yaitu wajib pajak non-aktif. Lantas, apa itu wajib pajak non-aktif?
Merujuk Pasal 1 angka 68 PMK 81/2024, wajib pajak non-aktif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Pada dasarnya, kewajiban pendaftaran diri untuk diberikan NPWP melekat pada setiap pihak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif. Adapun persyaratan subjektif mengacu pada ketentuan penetapan subjek pajak.
Bagi orang pribadi, kewajiban atau syarat subjektif dianggap berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Sementara itu, kewajiban atau persyaratan subjektif bagi wajib pajak badan dianggap berakhir pada saat dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
Persyaratan objektif adalah adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan UU Pajak Penghasilan (PPh).
Berdasarkan pengertian tersebut, wajib pajak non-aktif berarti wajib pajak yang sebenarnya sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi NPWPnya belum dihapus. Dengan demikian, NPWP dari wajib pajak tersebut masih ada pada sistem DJP dan bisa diaktifkan kembali apabila diperlukan.
Apabila diperhatikan, pengertian wajib pajak non-aktif serupa dengan wajib pajak non-efektif. Sesuai dengan Perdirjen Pajak No. PER-04/PJ/2020, wajib pajak non-efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, tetapi belum dilakukan penghapusan NPWP.
Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dapat menetapkan wajib pajak orang pribadi (WPOP) sebagai wajib pajak non-aktif. WPOP dapat ditetapkan sebagai wajib pajak non-aktif apabila memenuhi salah satu dari 6 kriteria berikut:
Selain WPOP, Kepala KPP juga bisa menetapkan wajib pajak badan sebagai wajib pajak non-aktif. Adapun wajib pajak badan ditetapkan sebagai wajib pajak non-aktif apabila memenuhi salah satu dari 2 kriteria:
Kepala KPP juga dapat menetapkan wajib pajak instansi pemerintah sebagai wajib pajak non-aktif. Wajib pajak instansi pemerintah bisa ditetapkan sebagai wajib pajak non-aktif jika memenuhi salah satu dari kriteria berikut:
Kepala KPP dapat menetapkan wajib pajak non-aktif secara jabatan atau berdasarkan permohonan wajib pajak. Pasca berlakunya PMK 81/2024, wajib pajak dapat mengajukan permohonan penetapan sebagai wajib pajak non-aktif secara omnichannel, salah satunya melalui coretax.
Permohonan penetapan sebagai wajib pajak non-aktif tersebut harus dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa wajib pajak memenuhi kriteria wajib pajak non-aktif. Berdasarkan permohonan tersebut, kepala KPP akan melakukan penelitian dan menerbitkan keputusan.
Keputusan tersebut diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Adapun kepala KPP dapat mengaktifkan kembali wajib pajak non-aktif apabila wajib pajak yang bersangkutan tidak lagi memenuhi kriteria sebagai wajib pajak non-aktif.
Kepala KPP dapat mengaktifkan kembali status wajib pajak non-aktif secara jabatan atau berdasarkan permohonan wajib pajak. Berdasarkan PMK 81/2024, ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk teknis pelaksanaan penetapan wajib pajak non-aktif akan ditetapkan oleh dirjen pajak. (rig)