KAMUS PAJAK

Memahami Konsep 'Tanggal Dikirim' dan 'Tanggal Diterima'

Awwaliatul Mukarromah
Kamis, 25 Juli 2019 | 16.46 WIB
Memahami Konsep 'Tanggal Dikirim' dan 'Tanggal Diterima'

DALAM mengajukan permohonan keberatan atau banding, wajib pajak harus memperhatikan syarat-syarat formal maupun materiil yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan perpajakan. Salah satu syarat formal tersebut adalah batas waktu pengajuan keberatan dan banding.

Batasan waktu itu telah diatur dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam ketentuan tersebut dinyatakan keberatan pajak harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak (SKP) atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali ada kondisi force majeur.

Hal yang sama juga berlaku untuk banding yang harus diajukan paling lama 3 bulan sejak surat keputusan (SK) keberatan diterima. Kemudian, dalam Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak dinyatakan banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dari ketentuan batas waktu ini, setidaknya terdapat dua istilah yang menjadi titik awal penghitungan batasa waktu tersebut, yaitu tanggal dikirim dan tanggal diterima. Lantas apa definisi dari tanggal dikirim dan tanggal diterima?

Sayangnya, tidak ada perbedaan definisi dari kedua istilah tersebut. Dalam ketentuan pajak, tanggal dikirim memiliki arti yang sama dengan tanggal diterima, yaitu tanggal stempel pos pengiriman. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 40 dan 41 UU KUP, sebagaiman dikutip berikut:

40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.”

Dalam bagian penjelasan Pasal 1 UU KUP, tidak penjelasan lebih lanjut atas definisi tanggal dikirim dan tanggal diterima, di mana hanya tertera ‘cukup jelas’.  Lebih lanjut, Pasal 1 angka 11 dan 12 UU Pengadilan Pajak juga mendefinisikan bahwa:

“11. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.

12. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimile, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung.”

Dari segi historisnya, dalam UU KUP sebelumnya, yaitu UU No. 6 Tahun 1983, UU No. 9 Tahun 1994, dan UU No. 16 Tahun 2000, tidak mengatur tentang tanggal diterima dan dikirim. Ketentuan ini kemudian baru muncul pada UU No. 28 Tahun 2007.

Secara umum, suatu dokumen yang dikirim melalui kantor pos, baik yang dikirim dari sisi Ditjen Pajak (SKP, SK keberatan, dan lainnya) maupun wajib pajak (SPT, Surat Keberatan, Surat Banding, dan lainnya) mencakup tiga tanggal, yakni tanggal dokumen/surat, tanggal pengiriman pos, dan tanggal dokumen tersebut sampai di tangan penerima.

Pertanyaannya, mengapa UU menggunkan dua terminologi, yaitu tanggal dikirim dan tanggal diterima dengan arti yang sama? Setidaknya terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan hal itu. Pertama, jika jangka waktu permohonan menggunakan tanggal surat, seperti tanggal penerbitan SKP, SK keberatan, surat keberatan, dan surat banding, maka dapat memunculkan ketidakpastian dan berpotensi merugikan salah satu pihak.

Sebab, tanggal yang tertera pada surat atau dokumen sangat mungkin berbeda dengan tanggal dikirimnya surat atau dokumen tersebut. Selain itu ada potensi tanggal yang tercantum adalah tanggal yang tidak sebenarnya atau tanggal mundur (backdate).

Kedua, apabila jangka waktu permohonan menggunakan tanggal sampainya surat atau dokumen di tangan wajib pajak atau Ditjen Pajak, juga akan menimbulkan ketidakpastian dan berpotensi merugikan salah satu pihak.

Tanggal sampainya dokumen di tangan wajib pajak atau Ditjen Pajak sangat mungkin berbeda dengan tanggal diterima sebenarnya. Ada potensi dokumen tersebut terlambat sampai dari tanggal seharusnya, atau bahkan sengaja diterlambatkan. Potensi-potensi tersebut di atas tentunya  merugikan wajib pajak ataupun Ditjen Pajak.

Ketiga, jika jangka waktu permohonan menggunakan tanggal stempel pos pengiriman, kapan dokumen dikirim melalui pos lebih terjamin kepastiannya karena proses pengiriman melibatkan pihak ketiga, yaitu penyedia jasa pos dan ada bukti pengiriman resmi. Bukti pengiriman surat atau dokumen yang diterbitkan oleh pihak ketiga dapat dilacak melalui sistem penyedia jasa pos tersebut.

Dengan begitu, perbedaan tanggal pembuatan surat atau dokumen dengan tanggal stempel pos pengiriman tidak akan menjadi masalah ketika yang menjadi patokannya adalah tanggal pos pengiriman. Demikian juga dalam hal terjadi perbedaan tanggal stempel pos pengiriman dengan tanggal sampainya surat atau dokumen di tangan wajib pajak maupun Ditjen Pajak.

Kendati demikian, definisi tanggal dikirim dan diterima yang ada saat ini pada hakikatnya belum mencakup tanggal atas surat atau dokumen yang dikirim secara elektronik melalui sistem pelayanan pajak online dari Ditjen Pajak, seperti penyampaian SPT melalui e-filing. Atas penyampaian SPT secara elektronik tersebut, kepada wajib pajak diberikan bukti penerimaan yang di dalamnya terdapat tanggal penerimaan SPT yang biasanya terkirim secara otomatis melalui sistem.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.