KEBIJAKAN PAJAK

Begini Pertimbangan Menyusun Produk Hukum Insentif di Masa Covid-19

Denny Vissaro
Senin, 25 Mei 2020 | 08.00 WIB
Begini Pertimbangan Menyusun Produk Hukum Insentif di Masa Covid-19

Ilustrasi. (DDTC)

Di seluruh dunia, penyusunan aturan hukum saat ini dibutuhkan lebih cepat dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan pandemi virus Corona atau Covid-19. Hal ini juga berlaku untuk konteks aturan perpajakan.

Berbagai negara saat ini banyak merilis aturan baru guna meringankan beban masyarakat di tengah pandemi. Namun, tak menutup kemungkinan aturan tersebut justru menimbulkan ketidakpastian dan hal-hal administratif baru yang membingungkan wajib pajak.

Tak menutup kemungkinan juga, aturan perpajakan baru yang dirilis secara cepat tersebut tumpang tindih dengan aturan yang ada sehingga wajib pajak menjadi ragu untuk memanfaatkan insentif tersebut.

Kondisi ini lantas diantisipasi oleh Departemen Hukum IMF dengan memberikan panduan dalam menyusun aturan perpajakan dalam rangka menolong negara anggota IMF merespons krisis yang disebabkan oleh pandemi.

Belum lama ini, antisipasi itu dituliskan secara padat dan sistematis dalam publikasi Special Series on Tax Law Design Issues to Respond to Covid-19 yang berjudul ‘Tax Law Design Considerations When Law Implementing Responses to the Covid-19 Crisis’.

Departemen Hukum IMF melandaskan anjuran yang diberikan mengacu pada seberapa lama dan dalamnya dampak yang ditimbulkan Covid-19. Dengan begitu, fleksibilitas aturan serta adanya kejelasan durasi berlangsungnya aturan efektif berlaku menjadi aspek yang sangat perlu diperhatikan.

IMF menyarankan untuk tidak serta merta merombak sistem perpajakannya melalui revisi undang-undang. Penggunaan instrumen hukum yang bersifat turunan lebih disarankan agar setiap perubahan yang dibutuhkan pada masa mendatang dapat lebih mudah dilakukan.

Kemudian, perkembangan relaksasi administrasi juga harus menjadi salah satu prioritas untuk diberikan. Selama ini kebanyakan negara sudah melakukan hal tersebut di antaranya melalui penundaan pelaporan SPT.

Namun, aspek prosedur perpajakan lainnya, termasuk perihal pemeriksaan dan penegakkan hukum juga perlu diperhatikan. Hal ini penting karena tidak semua wajib pajak dapat cepat beradaptasi dengan kondisi saat ini.

Lebih lanjut, relaksasi pajak yang bersifat fundamental dan permanen perlu diminimalkan guna menjaga integritas dan kredibilitas sistem pajak yang ada. Jika terlanjur diubah, dikhawatirkan akan sulit dikembalikan ketika ekonomi sudah pulih.

IMF juga menyarankan pemberlakuan peraturan secara otomatis tanpa perlu ada pengajuan administrasi. Dengan kata lain, disarankan agar penggunaan insentif itu dilakukan dengan terpenuhinya kondisi tertentu yang dialami wajib pajak.

Di bagian akhir, diperlukan adanya komunikasi efektif dan panduan lebih detail mengenai penjelasan insentif yang ada. Sebab, penyebaran informasi dan literasi aturan perpajakan lebih sulit dilakukan di tengah pandemi ketimbang saat kondisi normal.

Akibatnya, sangat mungkin wajib pajak lebih lambat dan sulit memahami aturan. Oleh karena itu, setiap pasal peraturan yang membutuhkan interpretasi lanjutan perlu disediakan penjelasan resmi dari pemerintah yang mudah diakses wajib pajak.

Saran-saran praktis publikasi IMF tersebut sangat kontekstual untuk menjadi pertimbangan berbagai negara dalam merumuskan kebijakan maupun tata cara administrasi pajak kini dan masa mendatang. Intinya, fleksibilitas aturan serta penjelasan aturan yang efektif diharapkan tersedia agar insentif bisa digunakan wajib pajak tanpa ada keraguan. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.