SEJAK krisis keuangan global 2008, penghindaran pajak perusahaan sudah menjadi pertimbangan publik.
Aktivis pajak maupun LSM ‘menggaungkan’ peningkatan regulasi serta reformasi pajak agar tercipta transparansi yang dianggap dapat mengurangi perilaku tersebut. Kendati demikian, tidak ada konsensus yang menyimpulkan seberapa jauh penghindaran pajak perusahaan dapat diartikan sebagai perilaku yang ‘tidak dapat diterima’.
Jurnal yang ditulis oleh tim peneliti dari Universitas Exeter dan Universitas Birmingham ini secara garis besar meneliti hubungan antara penghindaran pajak perusahaan dengan tranparansi pajak. Namun, terdapat kendala dalam menjelaskan kedua variabel tersebut, diantaranya berkaitan dengan konseptualisasi dan pendefinisian atas penghindaran pajak, serta kompleksitas dan batasan-batasan atas transparansi pajak.
Secara spesifik, jurnal yang berjudul ‘Corporate tax avoidance: is tax transparency the solution?’ ini mengamati dua respons berbasis peningkatan transparansi terhadap permasalahan pajak atas perusahaan multinasional.
Pertama, melihat penyediaan data-data terhadap otoritas pajak dengan mengacu pada laporan per negara (country-by-country reporting). Kedua, memakai persyaratan yang diterapkan di Inggris, yaitu adanya publikasi data mengenai strategi pajak oleh perusahaan besar kepada publik (tax strategy disclosures).
Laporan per negara yang diinisiasi oleh OECD melalui OECD’s BEPS Action 13 Final Report mensyaratkan pembukaan data mengenai berbagai indikator atas aktivitas perusahaan dan administrasi pajak pada masing-masing negara tersebut.
Penyediaan data tersebut didasari oleh fitur-fitur yang ada dalam sistem pajak internasional. Beberapa diantaranya adalah prinsip entitas terpisah (separate entity principle) dan kebutuhan untuk mengalokasikan keuntungan perusahaan multinasional ke yurisdiksi tempat perusahaan tersebut berada.
Di sisi lain, strategi pajak yang dijalankan di Inggris sejak 2016 mengharuskan perusahaan-perusahaan besar untuk mempublikasikan strategi pajak yang selaras dengan strategi bisnis perusahaan. Strategi tersebut harus mencerminkan manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik, perencanaan pajak yang sesuai aturan, dan terkait hubungan dengan otoritas pajak.
Jurnal ini mengupas isu transparansi dari sisi-sisi yang menarik. Menurut mereka, transparansi pajak dengan keterbukaan data memiliki dua isu yang terpisah, yaitu  konten dan penggunaan data tersebut. Dari sisi konten, keterbukaan penyediaan data belum tentu dapat serta merta memberikan suatu informasi yang dibutuhkan otoritas pajak dalam menegakkan kepatuhan pajak.
Sementara itu, dari sisi penggunaan data, bahaya dari kesalahan interpretasi akan berdampak pada hubungan wajib pajak dengan otoritas pajak. Prioritas dan kemampuan berbeda di antara otoritas-otoritas pajak di berbagai negara akan dapat mempengaruhi kemampuan untuk memproses data pajak yang tersedia.
Ketidakmampuan memproses data dengan baik justru akan berpotensi meningkatkan sengketa dan tekanan terhadap pemeriksaan yang berujung meningkatnya biaya kepatuhan terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.Â
Jurnal ini menekankan bahwa transparansi memiliki spektrum yang luas dengan kompleksitas dan batasan-batasan yang ada. Transparansi dirasa tidak memberikan manfaat apapun atau bahkan dapat memberikan dampak negatif apabila difokuskan hanya sekedar penyediaan data ke publik, tanpa mempertimbangkan konten maupun proses pengolahan dari data tersebut.
Meskipun demikian, di bagian akhir penulis tetap menekankan pentingnya keterbukaan data yang dirasa lebih banyak manfaatnya dalam mengetahui aktivitas-aktivitas perusahaan yang dapat dijadikan suatu dasar untuk perbaikan tatanan sistem pajak internasional.*