PEMAJAKAN upah pekerja merupakan salah satu pilar penting dari terwujudnya suatu negara pajak (tax state). Suatu yurisdiksi dapat dikategorikan sebagai tax state jika berwenang untuk mengenakan pajak dan pajak tersebut digunakan untuk mendanai roda pemerintahan.
Berkat industrialisasi yang terjadi secara besar-besaran pada abad ke-20, upah yang diterima oleh para pekerja kian meningkat sehingga negara memiliki ruang untuk mengenakan pajak atas penghasilan tersebut.
Dalam bab Tax, Work and Family pada buku yang berjudul Tax and Government in the Twenty-First Century karangan Miranda Stewart, disebutkan negara-negara sebelum abad ke-20 lebih memilih untuk mengenakan poll tax, bukan pajak penghasilan.
Poll tax adalah pajak per kepala dengan jumlah tetap yang dikenakan terhadap masing-masing individu. Poll tax cenderung regresif dan membebani mereka yang berpenghasilan rendah. Adam Smith menilai poll tax sebagai sesuatu tidak adil, sewenang-wenang, dan tidak berkepastian.
Lambat laun, makin banyak negara yang menghapuskan poll tax dan mulai bereksperimen dengan pengenaan pajak dengan tarif progresif yang berbasis pada penghasilan.
Para pendukung sistem pemajakan progresif memandang pajak harus dikenakan sejalan dengan ability to pay para pembayarnya. Hal ini juga sejalan dengan asas perpajakan yang dikemukakan oleh Adam Smith.
Namun, pemajakan atas upah pekerja baru bisa diberlakukan secara masif setelah negara-negara mulai mengadopsi withholding tax pada pertengahan Perang Dunia II. Lewat withholding tax, pemberi kerja wajib menghitung dan memungut pajak atas upah yang diberikan kepada pegawai.
Di Kanada, withholding tax atas upah pekerja mulai diperkenalkan pada 1942 dengan nama national defence tax. Berkat hadirnya skema ini, SPT yang diterima oleh otoritas pajak Kanada naik dari 31.130 SPT menjadi 2,25 juta SPT. Penerimaan pajak juga tumbuh 1.700% pada 1945.
Di Inggris, sistem pay as you earn (PAYE) mulai diperkenalkan pada 1944 guna menekan praktik pengelakan pajak akibat tingginya tarif pajak yang berlaku pada masa Perang Dunia II.
Dengan PAYE, pemberi kerja harus menghitung dan memotong pajak yang harus dibayar dari upah yang diterima pekerja. Setelah itu, pemberi kerja menyetorkan pajak yang telah dipotong itu ke kas negara setiap bulan.
Meski dianggap sebagai penyokong penerimaan hingga abad ini, sistem pemajakan upah dihadapkan dengan beragam tantangan. Pertama, pemajakan yang bersifat progresif atas upah mendorong wajib pajak untuk mengonversi penghasilan berupa upah menjadi capital gain. Hal ini terjadi utamanya di negara-negara yang menerapkan tarif pajak berbeda atas capital gain.
Ketentuan pajak di beberapa negara sering kali membolehkan pemberian remunerasi kepada direksi dalam bentuk saham. Remunerasi tersebut dikenai pajak dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif pajak yang berlaku atas upah berupa uang tunai.
Perbedaan perlakuan pajak antara penghasilan berupa upah dan capital gain memperlemah sistem pajak progresif serta menciptakan ketidakadilan horizontal antara pekerja yang dikenai tarif progresif dan mereka yang mendapatkan keringanan berkat skema perpajakan khusus atas capital gain.
Kedua, struktur tarif pajak yang bersifat progresif juga mendorong praktik income splitting. Hal ini terjadi utamanya jika sistem pajak yang berlaku menempatkan individu, bukan keluarga, sebagai basis pemajakannya.
Untuk mencegah praktik income splitting, terdapat beberapa negara yang memperlakukan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi dalam sistem pengenaan pajaknya. Aturan untuk membatasi income splitting antara orang tua dan anak juga mulai banyak diperkenalkan.
Ketiga, skema withholding tax atas penghasilan berupa upah juga kian terancam oleh perkembangan gig economy pada abad ke-21. Dengan hadirnya gig economy, pekerja memiliki fleksibilitas untuk beralih status dari pekerja formal menjadi pekerja mandiri (self-employed).
Masalahnya, ketentuan pajak masih belum mampu merespons perkembangan ini. Tanpa adanya respons dari sisi regulasi, makin besar ruang bagi wajib pajak untuk melakukan tax arbitrage.
Terlepas dari beragam tantangan yang ada, pajak atas upah pekerja hingga hari ini tetap memainkan peran krusial terhadap penerimaan pajak dari setiap yurisdiksi. Di Uni Eropa, PPh atas penghasilan berupa upah memberikan kontribusi 35% - 58% terhadap total penerimaan pajak.
Di Indonesia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam Revenue Statistics in Asia and the Pacific 2024 mencatat personal income tax berkontribusi sebesar 13% terhadap total penerimaan pajak pada 2022.
Sebagaimana di negara-negara lain, wajib pajak orang pribadi di Indonesia dibebani PPh dengan tarif progresif atas upah yang diterimanya. Tarif PPh orang pribadi yang berlaku adalah sebesar 5% untuk penghasilan kena pajak senilai Rp0-Rp60 juta hingga maksimal 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.
Indonesia juga mengenakan withholding tax berupa PPh Pasal 21 dengan tarif efektif bulanan yang bervariasi, mulai dari 0% hingga maksimal 34%.
PPh Pasal 21 juga dapat dikenakan menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh. PPh Pasal 21 berlaku atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dan jasa yang diterima oleh pegawai tetap, pegawai tidak tetap, hingga bukan pegawai.
Sementara itu, penghasilan-penghasilan berbentuk capital gain seperti dividen, bunga, hingga laba dari penjualan saham dikenai PPh final dengan tarif tersendiri. Dengan demikian, capital gain di Indonesia terbebas dari sistem pemajakan progresif. (rig)