PENGGELAPAN pajak masih menjadi persoalan serius bagi semua otoritas pajak di dunia. Secara global, Zucman (2019) memperkirakan bahwa rata-rata kekayaan global sekitar 10% tidak tercatat dan tersimpan di negara-negara tax havens. Dalam lingkup Uni Eropa, penggelapan pajak diperkirakan telah memakan biaya sebesar €86 miliar per tahun.
Salah satu upaya untuk menekan penggelapan pajak yaitu dengan pertukaran informasi. Dari aspek perpajakan, kebijakan pertukaran informasi dinilai cukup efektif karena memungkinkan otoritas pajak suatu negara untuk mengetahui jumlah simpanan dan pendapatan dari warga negaranya yang menjadi subjek pajak.
Dalam satu dekade terakhir, perkembangan pertukaran informasi menjadi sangat signifikan. Terlebih, dengan adanya perkembangan teknologi yang mendorong efisiensi dan modernisasi administrasi pajak. Pengembangan teknologi pajak sangat dibutuhkan untuk melindungi data wajib pajak dalam kerangka kebijakan pertukaran informasi.
Berkenaan dengan hal ini, International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) menerbitkan buku yang berjudul Data Protection and Taxpayers’ Rights: Challenges Created by Automatic Exchange of Information. Buku yang dirilis pada tahun 2018 ini hadir untuk membahas berbagai hal penting serta risiko dari pertukaran informasi, terutama dalam keterkaitannya dengan perlindungan data dan informasi dari wajib pajak.
Risiko Pertukaran Informasi: ‘Momok’ Bagi Wajib Pajak
Pertukaran informasi, selain memberikan manfaat yang efektif untuk otoritas pajak di masing-masing negara, di sisi lain memiliki risiko tersendiri yang ditakutkan oleh para wajib pajak. Buku ini kemudian menjabarkan empat risiko utama yang mungkin saja dihadapi oleh para wajib pajak dalam era keterbukaan informasi.
Pertama, pengungkapan informasi dapat menciptakan ‘uneasy feeling’ atau kegelisahan tersendiri bagi wajib pajak. Cockfield (2016) menganggap informasi atas wajib pajak sebagai salah satu bentuk informasi pribadi yang paling sensitif.
Meskipun ada jaminan kerahasiaan, namun wajib pajak tetap memiliki kekhawatiran tersendiri. Dalam konteks pertukaran informasi secara otomatis misalnya, data yang bersifat massal atau yang dikenal sebagai bulk data memiliki risiko yang tinggi untuk terbongkar dan hilang. Selain itu, terdapat juga kemungkinan bahwa informasi tersebut dapat dicuri oleh hacker melalui sistem computer sehingga ditakutkan jatuh kepada tangan yang salah.
Kedua, adanya risiko informasi yang dipertukarkan tidak tepat atau palsu atau yang dikenal dengan istilah the aloe vera case. Hal ini dapat menjadi risiko bagi wajib pajak apabila informasi mengenai kepemilikan asetnya yang dipasok oleh otoritas pajak negara lain tidak sepenuhnya benar. Selain itu, risiko juga dapat terjadi apabila informasi tersebut juga tidak digunakan dengan benar oleh otoritas penerima sehingga dapat merugikan wajib pajak itu sendiri.
Ketiga, adanya risiko bahwa informasi yang diperoleh dari pertukaran informasi tersebut digunakan untuk tujuan lain. Salah satu contohnya ialah apabila informasi yang bersifat massal tersebut dipertukarkan dengan rezim yang otoriter dan korup. Pada akhirnya, tidak dapat dipastikan ke depannya bahwa informasi yang didapatkan tersebut hanya akan digunakan untuk keperluan pajak. Informasi tersebut juga rentan digunakan untuk tujuan lain, salah satunya terkait dengan alasan politik.
Keempat ialah risiko meningkatnya sengketa pajak. Hal ini terutama disebabkan adanya ketentuan spesifik mengenai laporan antarnegara atau yang dikenal sebagai Country by Country Report (CBCR). Data CBCR sendiri tidak secara relevan untuk mengukur nilai kewajaran transaksi melalui arm’s length principle. Informasi pada laporan tersebut lebih sesuai untuk menerapkan menggunakan metode Global Formulary Apportionment (GFA).
Padahal, Aksi 13 Proyek BEPS secara tegas menyatakan bahwa CBCR tidak boleh digunakan untuk menentukan harga transfer atas transaksi. Lebih lanjut, banyaknya informasi yang tidak relevan dalam CBCR juga dikhawatirkan menjadi sumber dari sengketa pajak lainnya.
Urgensi Perlindungan Data
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, perlindungan data menjadi hal yang sangat penting untuk pertukaran informasi. Proteksi tersebut dilakukan agar tidak terjadinya penyalahgunaan di kemudian hari dan dalam rangka menghormati wajib pajak. Buku ini juga menjabarkan beberapa aspek yang sudah dilakukan oleh Uni Eropa dalam rangka penjaminan tersebut.
Uni Eropa, sebagai salah satu kawasan yang mayoritas anggotanya adalah negara maju, menekankan bahwa perlindungan data pribadi merupakan hak fundamental yang harus dilindungi oleh supranasional. Hal ini dapat terlihat pada Treaty on the Functioning of the European Union(TFEU), Charter of Fundamental Rights of the EU (CFR), dan the Council of Europe Convention No. 108.
Masih berkenaan dengan aspek hukum, buku ini juga menyebutkan bahwa penyusunan hukum atas perlindungan data pribadi di Uni Eropa disebutkan pula sebagai bagian dari hak kehidupan pribadi. Hal ini berarti data wajib pajak dari negara-negara Uni Eropa juga dilindungi dalam hukum Hak Asasi Manusia (HAM) yang berlaku secara universal.
Dua kebijakan yang menjadi landasannya adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Adapun di level sekunder hukum Uni Eropa, the Data Protection Directive of 1995 (DPD) danGeneral Data Protection Regulation Of 2016 (GDPR) memberikan perlindungan yang efektif dari hak fundamental untuk perlindungan data di Uni Eropa.
Oleh karena itu, di Uni Eropa dapat terlihat bahwa wajib pajak tidak hanya dilindungi oleh satu set ketentuan saja, tetapi oleh kerangka hukum yang berlapis-lapis. Namun demikian, tujuannya sendiri sama yakni untuk melindungi data wajib pajak dari efek negatif pengolahan data.
Dalam konteks Uni Eropa, pemrosesan data pribadi hanya diperbolehkan apabila sejumlah persyaratan telah terpenuhi melalui identifikasi wajib pajak yang dicurigai. Selain itu, perlindungan data yang dimaksudkan bukan hanya tentang penjagaan informasi agar tetap rahasia, tetapi juga mencakup prinsip kehati-hatian untuk menghindari pengungkapan informasi yang tidak sah. Lebih dari itu, negara-negara di Uni Eropa didorong untuk memastikan kerahasiaan informasi untuk tujuan perpajakan sebagai satu hal yang perlu dipertimbangkan apabila ingin mempertukarkan informasi dengan negara lain.
Sebagai informasi, Viktoria Wöhrer menulis buku ini berdasarkan tesis doktoral yang ia tulis ketika menjadi peneliti dan pengajar di Laboratorium Christian Doppler untuk ‘Transparansi dalam Hukum Pajak Internasional’ yang didirikan di Institut Hukum Pajak Internasional dan Hukum WU Austria. Seperti yang kita ketahui, WU Austria merupakan institusi pendidikan yang sangat dikenal bagi kalangan praktisi dan akademisi perpajakan.
Lebih lanjut, buku ini dikupas secara komprehensif dari mulai sejarah dan perkembangan pertukaran informasi, struktur dan berbagai instrumen untuk pertukaran informasi, serta membahas jaminan perlindungan data yang ada di Uni Eropa.  Oleh karena itu, buku ini menjadi sangat relevan bagi para pembuat kebijakan, peneliti, dan mahasiswa yang tertarik memahami risiko, ruang lingkup, dan hak wajib pajak di era Automatic Exchange of Information (AEoI).
Tertarik untuk membaca buku ini? Silakan kunjungi DDTC Library.*