Muh Ichwanuddin,
DIGITALISASI ekonomi bisa jadi merupakan salah satu revolusi paling krusial yang mengawali abad ini. Efeknya terasa pada ekonomi suatu yurisdiksi tanpa melewati batasan geografis secara fisik. Oleh karena itu, pandangan dan cara kerja pemerintah harus beradaptasi dengan borderless measures.
Dalam konteks perpajakan, OECD dan G-20 beserta Inclusive Framework telah bekerja keras mengembangkan dua pilar utama yang ditawarkan sebagai solusi untuk mengatasi tantangan digitalisasi ekonomi, yaitu Pilar 1 dan Pilar 2.
Pilar 1 menjadi skenario yang sangat menarik untuk dielaborasi. Salah satu fitur yang diusung memuat skema baru dalam konteks perpajakan internasional, yaitu Amount A. Skema ini bahkan memaksa OECD sedikit berkompromi dengan prinsip transfer pricing penolak formulary approach.
Sebagai sebuah pendekatan yang baru, Indonesia wajib memahami mekanisme Amount A. Hal ini dikarenakan ekosistem pasar digital di Indonesia sangat besar sehingga ada potensi penerimaan pajak yang signifikan.
Dalam konsep terbarunya, OECD menyatakan tidak semua perusahaan digital dapat dimasukkan dalam penghitungan Amount A dikarenakan adanya threshold peredaran usaha global di atas €20 miliar atau sekitar Rp342 trilliun dalam setahun dan tingkat laba di atas 10%.
Scoping ini nantinya akan dilakukan secara terpusat dan hasilnya akan dirilis untuk dijadikan acuan para stakeholder terkait. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui pengaturan Amount A tidak lagi hanya menyasar perusahaan digital, tetapi semua jenis usaha yang memenuhi threshold tersebut.
Hal tesebut sejalan dengan prinsip dengan adanya digitalisasi ekonomi, tidak mungkin untuk dilakukan pemisahan antara perusahaan digital dengan perusahaan nondigital. Pada dasarnya, seluruh dunia usaha memang telah mengadopsi atau mengalami digitalisasi itu sendiri.
Setelah diketahui daftar cakupan Amount A (in-scope MNE), perlu menentukan yurisdiksi yang memiliki hak pemajakan atas perusahaan multinasional (MNE) tersebut.
Hal tersebut ditentukan dari adanya penghasilan yang diperoleh dari suatu yurisdiksi dengan nilai setidaknya €1 juta euro atau sekitar Rp17 miliar dalam setahun. Namun, untuk negara yang memiliki produk domestik bruto (PDB) di bawah €40 miliar, threshold nexusnya ditetapkan lebih rendah, yaitu senilai €250.000.
Selanjutnya, elemen yang tentu paling menarik bagi suatu yurisdiksi adalah mengetahui besaran nominal yang akan dialokasikan untuk menjadi dasar pengenaan pajak di negaranya. Hal ini dimulai dengan penghitungan residual profit.
Dalam skenario terbaru, residual profit ini dinyatakan sebagai nilai lebih (excess) dari 10% total omzet group. Dari nilai tersebut, sebanyak 20% - 30% akan dialokasikan kepada seluruh yurisdiksi pasar yang memiliki nexus. Hasil penghitungan inilah yang dinamakan sebagai quantum.
Quantum selanjutnya diperhitungkan dengan kompensasi rugi fiskal yang eligible bagi grup. Lalu, hasil bersihnya dibagi secara proporsional per yurisdiksi yang memiliki nexus berdasarkan pada tingkat revenue.
Hasil proporsi itulah yang disebut sebagai alokasi Amount A. Pajak penghasilan akan dihitung berdasarkan pada ketentuan domestik setiap yurisdiksi.
Mengingat in-scope MNE tidak sepenuhnya berupa perusahaan digital, terdapat kemungkinan perusahaan yang terjaring sudah lebih dulu memiliki bentuk usaha tetap (BUT) dan telah dipajaki beberapa yurisdiksi dengan ketentuan domestik. Hal ini memungkinkan terjadinya double counting jika diinteraksikan dengan versi Amount A yang penghitungannya diinisiasi dari level grup.
Jika penghasilan kena pajak versi BUT suatu yurisdiksi lebih kecil daripada alokasi Amount A, selisihnya akan dituntaskan dalam bentuk top-up tax yang dibayarkan ke yurisdiksi tersebut. Namun jika nilai penghitungan BUT lebih tinggi dari nilai Amount A, kelebihannya dapat diselesaikan melalui instrumen dispute resolution yang disediakan dalam elemen Tax Certainty.
Disamping itu, Pilar 1 juga akan mengatur ketentuan safe-harbor untuk meremunerasi aktivitas distribusi dan pemasaran yang dilakukan di masing-masing yurisdiksi.
APAKAH dapat untung atau buntung? Sayangnya, pertanyaan tersebut tidak sepenuhnya tepat dijawab secara state-by-state review semata. Hal ini mengingat dalam konteks konsensus, Pilar 1 dan Pilar 2 dikembangkan untuk mengatasi tantangan dalam kerangka perpajakan global.
Namun, prinsip ini tidak kemudian menghilangkan hak dari setiap yurisdiksi untuk mempelajari dampak penerapannya terhadap potensi penerimaan pajak masing-masing. Untuk mengamati potensi ini, ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab.
Pertanyaannya adalah dengan penerapan mekanisme Amount A, berapa persentase efektif yang menjadi basis hak pemajakan suatu yurisdiksi pasar? Untuk lebih memahami mekanismenya, berikut disajikan contoh penghitungan secara sederhana:
Dari contoh tersebut terlihat jika suatu grup memiliki profit 15%, nilai quantum adalah 1,5% dengan asumsi persentase yang digunakan sebesar 30%. Jadi, jika terdapat 20 jurisdiksi yang memiliki nexus, alokasi Amount A hanya sebesar 0,07% dengan asumsi tingkat revenue per yurisdiksi sama.
Presentase akhir tersebut tentu terlihat kecil. Namun, akumulasinya secara nominal bisa berkontribusi signifikan bagi lanskap perpajakan Indonesia, terutama dari perusahaan-perusahaan yang selama ini memang belum dapat dipajaki dengan framework saat ini.
Disamping itu, adanya kepastian hukum dan mekanisme yang seragam secara global diharapkan mampu untuk terus menjaga tren perkembangan ekonomi digital. Pada akhirnya, Indonesia tetap dapat menikmati tambahan penerimaan pajak signifikan mengingat begitu besarnya potensi pasar dan konsumsen digital di Indonesia.Â
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.