Rizki Zakariya,
PANDEMI Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 telah memberikan dampak negatif bagi kondisi perekonomian nasional. Hal itu ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya kemiskinan di Indonesia.
Atas berbagai dampak negatif tersebut, pemerintah kemudian mengeluarkan paket kebijakan relaksasi untuk menangani Covid-19. Salah satu kebijakan itu difokuskan pada program pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai total Rp402,45 triliun.
Apabila dicermati, kinerja penerimaan pajak terus mengalami penurunan dalam 5 tahun terakhir, terlepas dari adanya pandemi Covid-19. Hal ini ditandai dengan capaian tax ratio Indonesia yang terus menurun dari 11,6% pada 2015 menjadi 10,7% pada 2019.
Salah satu penyebabnya adalah kepatuhan pajak yang rendah. Hal ini bisa dipicu rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Karena itu, perlu dilakukan peningkatan kesadaran hukum masyarakat untuk taat pajak melalui penegakan hukum.
Memang, dalam masa pandemi Covid-19 ini, isu penegakan hukum pajak seakan dinomorduakan. Isu utama adalah relaksasi. Akan tetapi, harus disadari bahwa isu relaksasi itu hanyalah sementara. Untuk menggarap isu penegakan hukum itu, paling tidak ada beberapa alasan.
Pertama, besarnya potensi pajak yang belum dioptimalkan. Pada 2019, realisasi penerimaan pajak hanya 80,29% dari target Rp 1.577,6 triliun. Itu berarti, masih terdapat potensi pajak yang belum dibayarkan, beriringan dengan meningkatnya jumlah wajib pajak.
Hal ini juga terlihat dalam pembayaran pajak oleh wajib pajak pribadi non-karyawan, yang pada 2018 hanya 45,91% dari 332.999 wajib pajak. Pada saat yang sama, jumlah keseluruhan wajib pajak terus bertambah, dari 30 juta pada 2015 menjadi 42 juta pada 2019.
Kedua, lamanya proses penanganan perkara pidana pajak. Selama 2019, rata-rata proses penyidikan pidana pajak adalah 18 bulan. Hal itu lebih lama dibanding dengan penanganan perkara dalam penyidikan Kepolisian, yang dibatasi hanya 120 hari dalam perkara sangat sulit.
Salah satu sebabnya adalah keterbatasan jumlah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Pajak (DJP) yang hanya 616 orang pada 2018. Padahal perkara yang ditangani terus meningkat. Hal ini berdampak pada kurangnya pembuktian dalam putusan hakim.
Pada 2018, dari 127 berkas P-21 hasil penyidikan, hanya 35 perkara yang berhasil divonis hakim (Laporan Tahunan Kementerian Keuangan, 2018). Oleh sebab itu, perlu dilakukan optimalisasi penegakan hukum pajak kepada wajib pajak.
Penagihan dan Pemeriksaan
BERDASARKAN uraian tersebut, upaya optimalisasi penerimaan negara melalui penegakan hukum pajak dapat ditempuh dengan beberapa hal. Pertama, penagihan dan pemeriksaan terhadap wajib pajak terdaftar, tetapi belum melaporkan dan membayarkan pajak.
Kedua, penguatan kapasitas dan kualitas PPNS Dirjen Pajak dalam menangani perkara pajak. Dengan demikian, perkara pajak tidak hanya ditangani secara cepat, tetapi juga memiliki kekuatan hukum dan pembuktian di muka pengadilan.
Bersumber pada uraian tersebut, dapat disimpulkan urgensi optimalisasi penerimaan negara melalui penegakan hukum karena beberapa sebab, yakni pandemi Covid-19, rendahnya kepatuhan pajak, besarnya potensi yang belum dioptimalkan, dan lamanya waktu penanganan perkara pajak.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain mengoptimalkan penagihan dan pemeriksaan wajib pajak yang belum melapor dan membayarkan pajak dan penguatan kapasitas PPNS DJP dalam menangani perkara pajak. Dengan demikian, pajak dapat berdampak dalam pemulihan ekonomi nasional.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.