DALAM konteks optimalisasi penerimaan pajak, seringkali pemerintah hanya berorientasi semata-mata pada cara meningkatkan pemungutan pajak. Padahal, pandangan ini berpotensi mencederai hak-hak wajib pajak sekaligus meningkatkan potensi sengketa pajak.
Sengketa pajak walau merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan dalam sistem pajak, akan memberikan dampak negatif kepada kepatuhan melalui dua hal. Pertama, maraknya sengketa memberikan ketidakpastian dan tergerusnya kepercayaan terhadap sistem pajak.
Kedua, sengketa menimbulkan biaya kepatuhan yang tinggi sebagai akumulasi dari waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan, sehingga perubahan lanskap pajak justru dapat kontraproduktif dengan upaya untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang.
Perlu Pembaruan
UNTUK mencapai penerimaan pajak yang optimal sekaligus memberikan kepastian, dibutuhkan pembaruan kerangka sistem pajak Indonesia. Era baru ini adalah titik temu sekaligus keseimbangan dari upaya mengatasi lemahnya kinerja penerimaan, tantangan, serta perubahan lanskap.
Reformasi pajak 2017-2020 merupakan momentum yang bisa dipergunakan sebagai jembatan menuju pembaruan tersebut. Untuk itu, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, perubahan paradigma menuju kepatuhan kooperatif (Veldhuizen, 2015).
Paradigma baru tersebut mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak dengan otoritas pajak (Dabner dan Burton, 2009).
Kepatuhan kooperatif dapat diartikan sebagai paradigma berdasarkan asas saling percaya dan terbuka antara otoritas pajak dan wajib pajak terkait dengan informasi yang dimiliki, sehingga memberi efek timbal balik yang saling menguntungkan baik dari efisiensi biaya, waktu, dan keterbukaan informasi.
Kepatuhan kooperatif adalah hubungan yang mendukung kolaborasi bukan konfrontasi, berdasar rasa saling percaya bukan kewajiban yang dipaksakan (OECD, 2008). Paradigma ini muncul dari kesadaran sistem pajak tidak hanya didesain untuk penerimaan, tetapi harus minim distorsi dan berkepastian.
Dengan begitu, desain sistem pajak tetap menjamin produktivitas ekonomi, redistribusi pendapatan, dan daya saing. Kepatuhan kooperatif lahir dari keinginan merestorasi kontrak fiskal, mengurangi biaya kepatuhan, meningkatkan efisiensi proses bisnis administrasi pajak, dan sebagainya.
Kedua, kebijakan yang stabil dan partisipatif. Dalam upaya mewujudkan kerangka kepatuhan yang kooperatif, mekanisme perumusan dan cara yang digunakan dalam mengimplementasikan kebijakan sangatlah menentukan.
Perumusan yang partisipatif tidak hanya menentukan substansi kebijakan, tetapi juga memengaruhi persepsi dan kepercayaan terhadap otoritas pajak. Dengan demikian, cara yang dipilih otoritas pajak berpengaruh besar pada keberhasilan pembentukan kepatuhan kooperatif dan berjangka panjang.
Dalam jangka panjang, desain sistem pajak yang kondusif terhadap perekonomian tidak hanya memenuhi prinsip netralitas dan kepastian, tetapi selaras dengan upaya optimalisasi penerimaan. Karena itu, tren reformasi pajak dewasa ini semakin bergeser pada upaya meningkatkan kualitas hubungan dengan wajib pajak dan upaya adaptasi dengan dinamika (Kasalovska, 2014).
Ketiga, era transparasi. Transparansi pada dasarnya membuka kesempatan baik bagi otoritas pajak maupun wajib pajak untuk saling membangun kredibilitas dan kepercayaan satu sama lain (Heald, 2006).
Transparansi secara umum akan membentuk persepsi tentang praktik good governance, legitimasi sistem pajak, dan prediktabilitas. Sedangkan transparansi oleh wajib pajak akan memudahkan otoritas pajak memetakan perilaku kepatuhan sebagai basis dari compliance risk management.
Keempat, simplifikasi pajak. Sistem pajak yang kompleks adalah keniscayaan dari perkembangan model bisnis hingga upaya menciptakan keadilan (Bradford, 2015). Simplifikasi dibutuhkan untuk menurunkan biaya kepatuhan dan administrasi, mencegah korupsi, mendorong daya saing dan investasi, serta meningkatkan kepatuhan (World Bank, 2009).
Simplifikasi pajak bertujuan menciptakan prinsip ideal dalam sistem pajak, antara lain prediktibilitas, transparan, adil, efektif secara administratif, mudah untuk dipahami, dan mengurangi potensi atau ruang manipulasi untuk perencanaan pajak yang agresif (Binh TranNam, 2016).
Kelima, dukungan teknologi informasi. Kehadiran teknologi informasi akan menjamin proses bisnis otoritas pajak, penyebaran informasi dan fasilitasi kepatuhan wajib pajak, pengelolaan kepatuhan berbasis risiko, dan penyediaan informasi di internet (Jimenez, Miac, dan Kamenov, 2013).
Relaksasi-Partisipasi
LIMA hal itu harus diimplementasikan dengan strategi relaksasi-partisipasi dalam konteks pembaruan sistem pajak yang mencerminkan paradigma kepatuhan kooperatif, kebijakan pajak yang stabil dan partisipatif, transparansi simplifikasi sistem pajak, dan dukungan teknologi informasi yang mumpuni.
Selain itu, strategi tersebut memerlukan kelembagaan otoritas pajak yang kuat, inklusi pajak berkesinambungan, serta kolaborasi dengan seluruh pemangku kepentingan, seperti akademisi, pengadilan pajak, konsultan pajak, instansi pemerintah lainnya, pemerintah daerah, dan sebagainya.
Kunci keberhasilannya juga sangat tergantung pada komitmen dan kepemilikan politik. Pada akhirya, tercapainya target penerimaan di masa mendatang bukan sesuatu hal yang mustahil. Kuncinya hanya satu, mendudukkan sektor pajak sebagai sentral agenda pembangunan Indonesia.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.