DI kota-kota besar seperti Jakarta, ada semacam kebiasaan mencampurkan kosakata bahasa asing dengan bahasa ibu, dan menggunakannya dalam aktivitas sehari-hari. Kebiasaan ini lalu berimplikasi pada ambiguitas menerjemahkan kata dari bahasa asing. Salah satunya kata ‘reimbursement’.
Ketidakpastian definisi ‘reimbursement’ ini pun akhirnya menimbulkan perdebatan, misalnya dalam ranah perpajakan. Perdebatan tersebut terbawa hingga pelaku bisnis sebagai wajib pajak (WP) badan dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersengketa di meja pengadilan.
Hulu perdebatan itu adalah ketika WP menaruh istilah ‘reimbursement cost’ dalam pembukuannya. Rupanya, DJP memberikan arti istilah ini sebagai ‘penggantian’. Definisi kata penggantian tertera dalam UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) atas suatu jasa.
Di sisi lain, WP tidak mengenakan PPN atas ‘reimbursement cost’ karena hanya diakui sebagai penggantian biaya yang tidak termasuk dalam ranah penyerahan jasa yang terutang PPN. Polemik arti ‘reimbursement’ ini beranjak dari Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 1608/B/PK/PJK/2016.
Kasus perbedaan interpretasi dari dua sudut pandang ini hanya satu dari ratusan ribu permohonan keberatan yang masuk ke DJP. Berdasarkan Laporan Tahunan DJP Tahun 2018, statistik jumlah berkas sengketa pajak yang diselesaikan DJP pada 2018 sebanyak 152.494 permohonan.
Jumlah tersebut naik 52,37% dari tahun sebelumnya, kontras dengan rencana DJP meminimalisasi sengketa pajak. Jumlah itu juga tidak berarti keberatan tersebut sudah dituntaskan, karena WP bisa menanggapinya dengan banding ke pengadilan pajak, hingga peninjauan kembali ke MA.
Proses pencarian keadilan yang sangat panjang tersebut merefleksikan besarnya jumlah biaya yang perlu ditanggung oleh WP. Pertama, WP harus menyiapkan kocek yang besar atas bunga dan denda administrasi apabila putusan menyatakan menolak permohonan WP.
Jika ditilik dari putusan MA tadi, bunga dan denda administrasi mungkin bisa membuat cemas karena nilai uang akun ‘reimbursement cost’ yang menjadi pokok sengketa itu adalah koreksi positif DPP PPN senilai mencapai Rp659,9 juta.
Kedua, menurut Rosdiana (2012), nilai tersebut bisa bertambah dengan biaya jasa perpajakan, beban psikologis, dan beban waktu yang dialokasikan dalam mempersiapkan sidang. Ternyata, harga untuk mendapatkan kepastiaan hukum tidak murah.
Akuntasi dan Pajak
‘REIMBURSEMENT cost’ tentu tidak muncul begitu saja. Kata ini muncul dalam pembukuan sebagai wujud kepatuhan International Accounting Standard 37.53 (Revisi 2005) ‘Provisions, Contingent Liabilities and Contingent Assets’ pada Pedoman Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 57 (Revisi 2014).
Kata reimbursement dalam PSAK 57 diartikan sebagai penggantian, jumlah yang diakui pihak kedua sebagai pengeluaran untuk menyelesaikan provisi pihak ketiga pemberi jasa atau barang dengan pihak pertama sebagai penerima. Provisi itu diartikan kewajiban yang waktu dan jumlahnya belum pasti.
Bertentangan dengan kata penggantian pada kaidah perpajakan, ‘penggantian’ dalam UU PPN merupakan DPP dari objek pajak PPN yakni berupa penyerahan jasa kena pajak (JKP), ekspor JKP, atau ekspor barang kena pajak (BKP) tidak berwujud.
Kata ‘penggantian’ juga muncul dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang berkaitan dengan kata ganti imbalan. Kata substitusi ini dapat dilihat antara lain pada Pasal 4 Ayat (1) huruf a dan Pasal 4 Ayat (3) huruf d UU PPh.
Kata ‘penggantian’ sebagai terjemahan ‘reimbursement’ dalam PSAK 57 (Revisi 2014) dan ketentuan perpajakan ternyata memiliki perbedaan makna signifikan. Dari sisi pajak, penggantian adalah imbalan suatu jasa yang diberikan oleh suatu entitas karena adanya dua belah pihak yang bertransaksi.
Sementara itu, ketentuan akuntansi menekankan adanya aliran kas antara kedua belah pihak yang bertransaksi, pihak pertama sebagai penerima dan pihak ketiga sebagai pemberi dengan pihak kedua perantara. Dari definisi ini, pengakuan pendapatan dan biaya ada pada pihak pertama dan ketiga.
Perbedaan dua sudut pandang ini pernah terjawab oleh DJP melalui terbitnya surat Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Nomor S-1047/PJ.322/2004. Surat ini menanggapi pertanyaan dari WP (advance ruling) terkait dengan kejelasan perpajakan atas ‘reimbursement’.
Namun, surat ini memiliki kekuatan hukum lemah karena surat itu hanya terbatas menjawab masalah si penanya. Memang tidak jarang surat ini digunakan dalam ranah pengadilan pajak sampai MA. Hal ini disebabkan tidak ada acuan hukum atas definisi ‘reimbursement’ yang disepakati DJP dan WP.
Sebelum ada acuan hukum itu, penting bagi pihak yang mendapat ‘reimbursement’ tidak menjadikan PPN terutang atas jasa/barang yang diberikan pihak ketiga sebagai pajak keluaran, karena pada saat pihak ketiga itu menalangi dahulu ia sudah membayar dengan dikurangi PPN terutang.
Hak pajak keluaran tetap pada yang mengganti pembayaran atau yang menerima jasa/barang. Bukti pendukung yang dipersiapkan adalah tagihan pembelian dilakukan atas nama yang mengganti pembayaran atau yang menerima jasa/barang, bukan yang mendapat uang ‘reimbursement’. Cara ini bisa menjadi bekal untuk membuktikan akun ‘reimbursement cost’ masuk dalam definisi PSAK.
Masalah definisi memang tidak bisa dianggap enteng. Ada beban kepastiaan hukum di dalamnya. Regulasi baru terkait dengan definisi ini mungkin sulit digapai karena harus menyamakan pikiran antara pemerintah, pelaku bisnis, serta esensi ‘reimbursement’ pada pembukuan yang diakui PSAK.
Namun, harapan itu bukan berarti tidak bisa dicapai. Harapan masih ada. Hal ini bisa dimulai dari penyelesaian ambiguitas definisi ‘reimbursement’. Masalah kepastian pajak sangat penting sebagai upaya meningkatkan daya saing dan menarik investasi yang berujung pada perluasan lapangan kerja.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.