LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Pengenaan PPN Atas Jasa Konsultasi Daring: Merujuk Praktik di Eropa

Redaksi DDTCNews
Kamis, 23 Oktober 2025 | 10.00 WIB
Pengenaan PPN Atas Jasa Konsultasi Daring: Merujuk Praktik di Eropa
Nafis Dwi Kartiko,
Kota Jember, Jawa Timur

SEJAK 2015, Uni Eropa mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemberian jasa secara online atau daring. Misalnya, layanan konsultasi daring, seminar virtual, hingga pelatihan jarak jauh yang digelar secara daring oleh penyedia jasa asing kepada konsumen domestik.

Regulasi tersebut lahir dari kesepakatan bersama untuk mengatasi potensi kehilangan penerimaan akibat lonjakan aktivitas ekonomi digital. Aturan tersebut ditegaskan dalam EU VAT Directive yang mengacu pada destination principle, yang pada prinsipnya pajak akan dipungut oleh di negara tempat konsumsi terjadi, bukan di negara penyedia.

Indonesia sebenarnya sudah memiliki dasar hukum untuk memajaki layanan digital asing. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 48/2020 yang telah diperbarui dengan PMK 81/2024, pemerintah menunjuk pelaku usaha perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sebagai pemungut PPN atas barang kena pajak tidak berwujud maupun jasa digital dari luar negeri.

Prinsip Use and Enjoyment: Menutup Celah Jasa Lintas Batas

Selain destination principle, Uni Eropa juga menerapkan aturan use and enjoyment principle untuk memastikan PPN dipungut sesuai tempat jasa benar-benar dikonsumsi.

Dengan prinsip tersebut, layanan seperti konsultasi daring interaktif, kursus privat, atau pelatihan virtual yang digunakan oleh konsumen di suatu negara, tetap dianggap terutang PPN di negara tersebut, meskipun penyedia berada di luar negeri.

Skema ini menutup celah yang sering terjadi pada layanan lintas batas yang tidak selalu bisa dikategorikan sebagai 'jasa digital otomatis'. Misalnya, sesi terapi psikologi online atau kelas musik privat melalui aplikasi video dapat terhindar dari pungutan jika hanya mengacu pada definisi jasa digital yang terbatas. Dengan use and enjoyment, konsumsi aktual menjadi dasar utama pemajakan.

Untuk memastikan kepatuhan, Uni Eropa memperkenalkan One Stop Shop (OSS) pada 2015. Melalui mekanisme ini, penyedia jasa asing cukup mendaftarkan diri di salah satu negara anggota Uni Eropa, lalu menyetorkan PPN melalui portal tunggal. Pajak yang terkumpul kemudian dialokasikan ke negara tujuan konsumsi.

OSS terbukti berhasil meningkatkan kepatuhan karena menyederhanakan administrasi bagi penyedia jasa asing. Tanpa harus memiliki perwakilan di setiap negara, perusahaan cukup mengurus kewajiban pajaknya melalui satu pintu. Di sisi lain, negara anggota tetap menerima PPN sesuai porsi konsumsi domestik.

Tren Global dan Dampak bagi Indonesia

Laporan KPMG 2025 yang berjudul Taxation of The Digitalized Economy menunjukkan makin banyak negara di dunia yang memperluas cakupan PPN digital termasuk telekonsultasi dan distance learning. Negara-negara tersebut, misalnya Albania, Bosnia & Herzegovina, Chili, hingga Filipina

Filipina bahkan mewajibkan registrasi penyedia jasa asing melalui portal khusus VAT on Digital Services (VDS) per 2025, mencakup teleconsultation platforms.

Di sisi lain, Inggris melalui Digital Services Tax (DST) juga memajaki pendapatan dari media sosial, mesin pencari, dan marketplace sejak 2020 sebagai langkah sementara sambil menunggu solusi global OECD.

Pasar kursus daring, telekonsultasi, dan layanan coaching lintas batas di Indonesia terus berkembang pascapandemi. Tanpa pengaturan berbasis use and enjoyment, negara kehilangan potensi penerimaan, sementara penyedia lokal tetap wajib memungut PPN. Kondisi ini menimbulkan ketidaksetaraan kompetitif.

Bagi masyarakat, harga layanan asing tampak lebih murah karena tidak dibebani PPN. Namun dalam jangka panjang, celah ini dapat menggerus basis pajak nasional dan memperlemah ekosistem usaha domestik.

Lessons Learned untuk Indonesia

Melihat praktik Uni Eropa dan sejumlah negara lain, Indonesia perlu mempertimbangkan langkah strategis untuk menutup celah perpajakan di era digital. Prinsip use and enjoyment penting untuk segera diadopsi ke dalam UU PPN agar setiap konsumsi jasa digital lintas batas, termasuk konsultasi live interaktif, dikenai PPN di tempat pengguna berada.

Selain itu, pengembangan skema One Stop Shop (OSS) versi domestik berbasis DJP Online akan menyederhanakan administrasi bagi penyedia asing, sekaligus memastikan negara tujuan tetap menerima pajak. Definisi jasa digital dalam aturan juga sebaiknya diperluas, tidak terbatas pada layanan otomatis, tetapi mencakup layanan berbasis interaksi manusia yang kini makin marak digunakan.

Di tingkat regional, kerja sama harmonisasi PPN digital di kawasan Asean dapat membantu mencegah arbitrase pajak antarnegara. Pada saat yang sama, pemetaan transaksi digital harus diperkuat dengan melibatkan penyedia layanan pembayaran dan marketplace global, agar konsumsi lintas batas dapat diawasi dengan lebih transparan dan akurat.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.