LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Tax Match, Kolaborasi Baru Mewujudkan Pajak UMKM yang Optimal

Redaksi DDTCNews
Senin, 20 Oktober 2025 | 16.45 WIB
Tax Match, Kolaborasi Baru Mewujudkan Pajak UMKM yang Optimal
Sofia Cynthia,
Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara

DALAM upaya menjaga keseimbangan antara mendorong pertumbuhan ekonomi dan memastikan keberlanjutan penerimaan negara, Indonesia membutuhkan solusi baru yang tak hanya mengandalkan peningkatan tarif atau perluasan basis pajak semata.

Salah satu inovasi yang dapat dipertimbangkan pemerintah ialah Tax Matching Collaboration (Tax Match)—suatu kolaborasi yang memungkinkan UMKM untuk ‘mencicil’ kewajiban pajaknya dalam bentuk kontribusi ekonomi nyata terlebih dahulu.

Tujuan utama dari Tax Match ialah negara membantu usaha UMKM tumbuh melalui pendampingan dan pembinaan bisnis, lalu menarik pajak berdasarkan kinerja yang terverifikasi. Dalam skema ini, tidak ada penundaan kewajiban pajak secara permanen, tetapi penyesuaian waktu dan bentuk kontribusi yang menguntungkan kedua belah pihak.

Selama ini, penerimaan negara kerap kali bersandar pada peningkatan tarif dan perluasan basis pajak formal. Kedua pendekatan ini penting, tetapi dalam praktiknya sering kali berbenturan dengan realitas pelaku usaha di lapangan—terutama di sektor UMKM, startup, dan ekonomi digital.

Tak sedikit dari mereka yang merasa terbebani oleh pajak sebelum usahanya benar-benar tumbuh. Di sisi lain, negara tentu menghadapi risiko melemahnya penerimaan jika hanya bertumpu pada sektor formal yang sudah jenuh.

Program Tax Match

Tax Match lahir dari kesadaran bahwa banyak pelaku usaha yang sebenarnya ingin berkontribusi kepada negara melalui pajak, tetapi terhambat oleh 2 hal: beban administratif dan ketidaksiapan usaha mereka dari sisi kapasitas bisnis.

Nah, program Tax Match mendorong integrasi antara DJP, Kementerian Keuangan, Kemenkop UKM, Kominfo, dan mitra ekosistem bisnis (seperti inkubator, koperasi digital, serta platform pembayaran) dalam membentuk kerangka kolaboratif untuk mendukung UMKM.

Kemudian, UMKM-UMKM yang tergabung dalam Tax Match akan melewati proses seleksi berbasis potensi dan prospek bisnis, kemudian difasilitasi dalam bentuk pelatihan, digitalisasi, serta penguatan manajemen.

Selama fase inkubasi pertumbuhan usaha selama 1–2 tahun, UMKM tidak langsung membayar PPh final sebagaimana umumnya, tetapi mendapatkan status “Wajib Pajak Bertumbuh”.

Dengan status tersebut, UMKM wajib menyampaikan laporan perkembangan usaha tiap kuartal, sedangkan seluruh transaksinya dipantau secara digital melalui sistem integrasi dengan mitra POS, QRIS, dan e-commerce.

Jika target pertumbuhan usaha terpenuhi, negara akan menarik pajak secara proporsional berdasarkan performa aktual. Dalam hal ini, performa menjadi dasar keadilan fiskal—bukan sekadar omzet statis.

Skema ini juga memperluas peran pihak ketiga (mitra inkubasi) yang tidak hanya berfungsi sebagai pendamping usaha, tetapi juga sebagai “penjamin fiskal”. Artinya, keberhasilan pertumbuhan usaha mitra menjadi tanggung jawab bersama.

Negara tentu dapat memberikan insentif kepada mitra yang terbukti berhasil mengerek kontribusi pajak UMKM-nya. Dengan begitu, pajak tidak lagi menjadi hubungan satu arah antara negara dan UMKM, tetapi hubungan gotong-royong antara negara, UMKM, dan mitra bisnis.

Pentingkah Tax Match?

Menurut penulis, ada 3 hal yang membuat program Tax Match penting untuk dapat dipertimbangkan pemerintah. Pertama, program tersebut menciptakan basis perpajakan baru yang selama ini belum terjangkau.

Kedua, Tax Match mendorong UMKM masuk ke dalam sistem formal secara sukarela karena mereka mendapatkan manfaat langsung berupa pembinaan, akses modal, hingga sertifikasi.

Ketiga, program tersebut memperkenalkan konsep kontrak pajak berbasis performa yang mendorong transparansi dan kepercayaan antara negara dan warga.

Dari sisi potensi fiskal, dengan asumsi 1 juta usaha tergabung dalam program ini dan masing-masing memberikan kontribusi Rp5 juta per tahun setelah lulus fase inkubasi maka negara bisa memperoleh tambahan penerimaan senilai Rp5 triliun secara berkelanjutan.

Angka tersebut belum termasuk dampak lanjutan dari terbentuknya ekosistem usaha formal yang lebih produktif dan berorientasi ekspor maupun skala nasional.

Namun demikian, tak menutup kemungkinan pelaksanaan program Tax Match akan menghadapi tantangan seperti resistensi dari pihak yang enggan transparan atau kendala dalam menyusun kontrak fiskal berbasis proyeksi usaha.

Namun, tantangan tersebut dapat diatasi melalui pemanfaatan teknologi, seperti audit berbasis data real-time, integrasi digital sistem pajak, dan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) untuk validasi pertumbuhan usaha.

Sebagai langkah awal, program Tax Match dapat dijalankan sebagai pilot project di kota-kota dengan indeks kewirausahaan tinggi seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, dan Medan.

Bagi penulis, Tax Match bukan sekadar tentang reformasi pajak, tetapi juga reformasi relasi sosial-fiskal. Ia menjadikan pajak bukan sekadar kewajiban, melainkan bagian dari proses tumbuh bersama.

Dengan cara tersebut, kita tidak hanya mengoptimalkan penerimaan negara, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi rakyat secara nyata. Negara menjadi mitra, bukan semata penarik kontribusi.

Tax Match bisa menunjukkan pajak sebagai alat pembangunan yang menguntungkan semua pihak: negara memperoleh penerimaan yang sehat, UMKM mendapat dukungan untuk berkembang, dan masyarakat menikmati pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.