“TANAM di tanah yang tepat, panennya akan berlipat.”
Dinamika ekonomi global telah membawa Indonesia ke suatu titik krusial, di mana arah pembangunan turut dipandang lewat perspektif lingkungan.
Kondisi ini memaksa kita untuk menentukan arah kebijakan dalam memproteksi kepentingan nasional tanpa melangkahi kesepakatan antarnegara. Karenanya, tak jarang kita temui dialektika terkait dengan kebijakan 'hijau' di Indonesia.
Salah satu tantangan dalam menyusun kebijakan hijau adalah mengurai korelasinya dengan kas negara. Misalnya, bagaimana memberikan insentif hijau tanpa menggerogoti penerimaan negara?
Kementerian Keuangan sendiri sempat berkomentar soal ini. Pemerintah meyakini anggaran untuk penyaluran insentif fiskal bagi industri hijau sudah sangat besar. Karenanya, pemerintah tak mau berlebihan dalam memperluas fasilitas fiskal (DDTCNews, 2025).
Di sisi lain, pengusaha meminta agar insentif diarahkan sesuai dengan karakteristik masing-masing sektor sehingga terasa lebih adil dan efektif (Kumparan, 2020). Situasi ini membuka isu klasik, yakni kurangnya efektivitas tax spending.
Berbagai studi global, salah satunya oleh World Bank, menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil insentif pajak saat ini diarahkan pada kegiatan hijau, sementara sebagian besar justru masih memperkuat aktivitas yang mencemari (Kronfol & Sandoval, 2025). Kondisi ini menegaskan perlunya reformasi, bukan sekadar menambah insentif hijau, tetapi juga mengevaluasi fasilitas yang kontraproduktif terhadap tujuan penerimaan berkelanjutan.
Terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan blueprint bagi pemerintah.
Pertama, mengevaluasi insentif-insentif yang telah diberikan. Insentif pajak lingkungan bukanlah hal baru di Indonesia. Salah satu yang sudah diberikan, PPN ditanggung pemerintah (DTP) terhadap kendaraan bermotor listrik. Masa berlaku insentif pun terus saja diperpanjang.
Kebijakan ini dinilai kurang efektif karena harga mobil listrik yang relatif mahal membuat insentif lebih banyak dinikmati kalangan menengah ke atas. Belum lagi, pasokan listrik di Indonesia masih didominasi sumber energi fosil. Artinya, insentif PPN DTP belum menjawab sepenuhnya tantangan soal keberlanjutan dan penerimaan negara.
Melihat situasi tersebut, pemerintah mulai mengkaji kembali insentif-insentif serupa sehingga spending APBN dapat lebih tepat sasaran.
Kedua, rancang skema yang tepat sasaran. Insentif pajak tidak selamanya perlu digelontorkan secara merata. Dalam konteks ini, lebih baik insentif diberikan bagi sektor-sektor yang benar-benar strategis dalam transisi hijau.
Oleh sebab itu, target insentif perlu difokuskan pada sektor-sektor integral, misalnya energi, transportasi, atau industri pengolahan limbah. Dengan begitu, pemerintah tidak hanya menekan aktivitas pencemar, tetapi juga mendorong multiplier effect berupa terciptanya lapangan kerja baru, peningkatan efisiensi energi, dan penguatan rantai pasok domestik.
Meskipun demikian, penargetan saja tidak cukup. Desain insentif yang efektif tidak bisa hanya mengandalkan pengurangan pajak konvensional, seperti tax holidays atau depresiasi yang dipercepat.
Skema 'hybrid' yang memadukan insentif pajak dengan dukungan teknis dan green financing sekiranya dapat berdampak lebih luas. Sebagai contoh, tax holiday untuk investasi panel surya dapat dipadukan dengan akses matching grants bagi perusahaan kecil yang ingin masuk ke sektor energi bersih.
Selain itu, skema insentif seharusnya tak melulu difokuskan secara langsung kepada pelaku industri. Ada baiknya insentif justru dikolaborasikan dengan lembaga-lembaga penyalur modal, khususnya perbankan, untuk memberikan efek lebih luas.
Dalam konteks ini, green bonds dapat menjadi instrumen pelengkap insentif pajak yang lebih strategis. Tak hanya mengurangi beban fiskal, pemerintah bisa memanfaatkan green bonds sebagai kanal pembiayaan hijau yang langsung mengalir ke proyek-proyek prioritas, seperti energi terbarukan, transportasi bersih, dan pengelolaan limbah (Cendekiawan & Firmansyah, 2024).
Dengan memperkuat pasar green bonds, dana yang terhimpun tidak hanya menopang transisi hijau, tetapi juga menciptakan penerimaan berkelanjutan melalui aktivitas pasar modal serta pajak penghasilan (PPh) atas kupon obligasi.
Melalui skema ini, insentif pajak tidak hanya mempercepat adopsi teknologi ramah lingkungan, tetapi juga mengurangi risiko bahwa dukungan fiskal hanya dinikmati oleh korporasi besar. Pendekatan hybrid memungkinkan terciptanya ekosistem yang lebih inklusif, di mana perusahaan kecil dan menengah pun memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dalam transisi hijau, tanpa membebani defisit negara secara berlebihan.
Ketiga, edukasi dan kolaborasi lintas sektor. Dalam menopang kebijakan ini, pemerintah perlu memperkuat sosialisasi dan capacity building bagi pelaku usaha, terutama UMKM, agar mampu memanfaatkan insentif hijau.
Kolaborasi lintas kementerian/lembaga pemerintah, perbankan, dan swasta penting untuk memastikan hasil yang optimal, dengan bantuan indikator seperti green budget tagging guna memastikan transparansi dan akuntabilitas.
Penting untuk dipahami bahwa pemberian insentif pajak bukan berarti mengorbankan penerimaan negara. Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) menekankan bahwa strategi fiskal inklusif yang tepat justru akan memperkuat basis pajak jangka panjang, dan bukan sekadar pengeluaran yang sia-sia.
Insentif green financing diharapkan dapat membawa multiplier effect berupa penciptaan lapangan kerja baru sehingga menambah penerimaan PPh orang pribadi (terutama bagi industri padat karya). Selain itu, efek ikutannya juga berupa perbaikan daya saing investasi serta menopang efisiensi alokasi beban negara khususnya terkait mitigasi dampak lingkungan yang tercemar (seperti kesehatan).
Green financing harus dipandang bukan hanya sebagai instrumen pajak, melainkan arah baru pembangunan nasional. Dengan desain yang tepat sasaran, evaluasi transparan, dan dukungan instrumen keuangan seperti green bonds, setiap rupiah yang 'ditanam' akan 'dituai' berkali lipat pada masa depan.
Strategi ini memastikan penerimaan negara tetap terjaga seraya menciptakan perekonomian yang berdaya tahan dan berkelanjutan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.