LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Melirik Potensi Penerapan Blockchain dalam Sistem Pajak di Indonesia

Redaksi DDTCNews
Rabu, 17 September 2025 | 10.45 WIB
Melirik Potensi Penerapan Blockchain dalam Sistem Pajak di Indonesia
Irwan Hermawan, 
Kota Bekasi, Jawa Barat

RASIO perpajakan (tax ratio) di Indonesia selama lebih dari 1 dekade terakhir nyaris tak beranjak dari angka 10%–11% terhadap PDB. Angka ini relatif kecil ketimbang standar minimal World Bank sebesar 15% agar suatu negara bisa membiayai pembangunan secara berkelanjutan.

Negara tetangga kita seperti Thailand dan Vietnam sudah melampaui ambang itu. Isu stagnasi ini pun disoroti oleh OECD sebagai permasalahan serius karena negara anggota OECD sendiri memiliki tax ratio yang jauh lebih tinggi, yaitu sekitar 34,1% pascapandemi Covid-19. Kondisi ini tentu menggambarkan betapa besar jurang antara potensi penerimaan dan realisasi (tax gap) di Indonesia saat ini.

Faktor penyebab besarnya tax gap tersebut beragam dan berlapis. Mulai dari tingkat kepatuhan wajib pajak yang masih rendah akibat sistem administrasi yang dianggap rumit hingga kesadaran membayar pajak yang belum menjadi budaya.

Di sisi lain, praktik penghindaran pajak lintas negara dengan skema transfer pricing masih marak. Ditambah lagi, dominasi ekonomi informal—yang menurut kajian Kementerian Keuangan tahun 2023—membuat negara kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp208 triliun setiap tahun.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut. Upaya edukasi, pengawasan, sampai dengan penindakan hukum terus digalakkan pemerintah melalui Ditjen Pajak (DJP).

Namun, pendekatan yang terlalu menekankan sanksi sering kali mendorong wajib pajak untuk mencari celah baru untuk menghindari peraturan yang semestinya (tax avoidance). Sementara itu, kepercayaan terhadap otoritas pajak tidak banyak berubah.

Teknologi Sebagai Jalan Baru

Di titik inilah, transformasi perpajakan berbasis teknologi menjadi sangat relevan. Mengandalkan penegakan hukum semata tidaklah cukup. Yang dibutuhkan ialah sistem yang sederhana, transparan, dan bisa dipercaya. Dengan demikian, kepatuhan menjadi pilihan yang rasional, bukan paksaan.

DJP saat ini telah memulai dengan memperkenalkan coretax sebagai sistem inti administrasi perpajakan terbaru. Hal ini patut diapresiasi sebagai salah satu usaha membentuk budaya kepatuhan baru. Meski begitu, ada teknologi baru yang sangat potensial untuk dilirik pemerintah sebagai alat strategis berikutnya dalam mengumpulkan penerimaan negara, yaitu blockchain.

Blockchain banyak dikenal orang sebagai sistem di balik mata uang kripto seperti Bitcoin atau Ethereum. Secara sederhana, blockchain adalah teknologi pencatatan transaksi digital terdistribusi. Catatan transaksi tidak lagi tersimpan di server pusat, tetapi tersebar di banyak titik (nodes) dalam jaringan. Setiap perubahan transaksi diverifikasi bersama-sama, membentuk rantai blok yang hampir mustahil dimanipulasi.

Analogi sederhananya, bayangkan suatu grup pertemanan memiliki uang kas yang dalam setiap pengeluarannya bukan hanya bendahara grup yang mencatat, melainkan semua anggota dalam grup tersebut ikut mencatat secara otomatis. Jadi, hampir mustahil terjadi pelanggaran pencatatan transaksi.

Keunggulan blockchain cukup jelas: transparansi, imutabilitas, keamanan, serta otomatisasi melalui mekanisme smart contract. Dalam konteks perpajakan, sifat-sifat tersebut dapat mengubah paradigma dari compliance by enforcement menjadi compliance by design.

Potensi Penerapan Blockchain dalam Sistem Perpajakan

Ada 3 model penerapan dalam proses bisnis perpajakan yang menurut penulis paling cocok menjadi pintu masuk adopsi blockchain. Pertama, transaksi PPN. Masalah klasik berupa faktur fiktif masih terus berulang terjadi meskipun tindakannya dipersamakan dengan tindak kejahatan pemalsuan uang.

Dengan blockchain, setiap transaksi PPN tercatat secara imutabel dan diverifikasi real-time. Faktur palsu akan otomatis ditolak sistem, sehingga potensi restitusi ilegal bisa ditekan drastis.

Kedua, identitas digital terdesentralisasi. Pemadanan NIK dan NPWP yang sedang berjalan akan lebih kuat jika dikembangkan berbasis blockchain.

Wajib Pajak tetap memegang kendali data, sementara otoritas pajak hanya mengakses informasi yang sudah diverifikasi lewat smart contract. Cara ini bukan hanya menekan duplikasi data, tetapi juga memperkuat keamanan identitas pajak.

Ketiga, smart contract di ekosistem digital. Transaksi di e-commerce dan gig economy berjumlah jutaan setiap harinya, sulit diawasi secara manual. Dengan smart contract, pajak bisa otomatis dipotong pada saat transaksi. Wajib pajak tidak lagi repot mengisi laporan manual, sedangkan negara menerima haknya tepat waktu.

Efek dari ketiga model penerapan blockchain di atas dapat mengurangi kebocoran penerimaan negara secara drastis, menyederhanakan proses administrasi, memperluas basis data perpajakan, dan yang paling penting masyarakat melihat sistem yang lebih transparan.

Belajar dari Negara Lain

Terdapat beberapa negara yang sudah terlebih dahulu bereksperimen dengan blockchain dalam sistem perpajakannya ialah China, Brasil, dan India. Di China, atau tepatnya Shenzen, otoritas pajak bersama Tencent meluncurkan faktur elektronik berbasis blockchain yang terhubung ke WeChat Pay sejak 2018.

Alurnya sederhana: invoice flow berjalan beriringan dengan capital flow sehingga menutup ruang untuk penerbitan faktur palsu. Dalam tahun pertama, jutaan faktur berhasil diterbitkan. Mengingat Indonesia telah memiliki ekosistem QRIS dan dompet digital yang luas, model ini layak dijadikan rujukan.

Selanjutnya, Brasil memilih langkah bertahap. Alih-alih langsung menyasar wajib pajak, mereka memperkuat infrastruktur data antar-lembaga. Sistem bCPF/bCNPJ (NPWP Orang Pribadi/NPWP Badan berbasis blockchain) memastikan integritas data identitas pajak.

Sementara itu, BConnect dipakai untuk pertukaran data bea cukai di kawasan Mercosur—suatu blok perdagangan regional di Amerika Selatan. Pendekatan ini sesuai bagi Indonesia yang birokrasi dan lembaganya masih kompleks.

Lalu, di India. Negeri Bollywood ini menghadapi tantangan skala besar dalam administrasi Goods and Services Tax (GST) atau PPN. Untuk mengatasinya, mereka menguji buyer-seller invoice matching berbasis blockchain. Meskipun baru tahap uji coba, hasil awal menunjukkan teknologi ini bisa bekerja dalam skala raksasa.

Meski menjanjikan, terobosan teknologi semacam ini memiliki tantangan besar dalam penerapannya, terutama dalam hal regulasi, infrastruktur digital, literasi teknologi, biaya implementasi, serta isu keamanan dan privasi data.

Namun demikian, jalan menuju penerapan blockchain dalam sistem perpajakan perlu mulai dirintis secara bertahap. Mengandalkan sanksi semata tak akan cukup menaikkan tax ratio. Penulis meyakini masa depan penerimaan negara terletak pada adopsi teknologi baru dan terbarukan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Nikogi
baru saja
Saya yakin masyarakat pasti akan sadar dan taat pajak ( membayar pajak ) selama ada transparansi alokasi penggunaan pajak yang dibayarkan dan keadilan dalam sistem perpajakan . Semoga institusi pajak tidak hanya tajam kebawah dalam pengumpulan pajak ....maju dan sukses Indonesiaku tercinta