LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2025

Pajak Mikro Digital: Receh yang Tak Lagi Bisa Diabaikan

Redaksi DDTCNews
Senin, 01 September 2025 | 10.00 WIB
Pajak Mikro Digital: Receh yang Tak Lagi Bisa Diabaikan
Putra Dewangga Candra Seta,
Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur

BEBERAPA waktu lalu, saya mengirim stiker donasi Rp10.000 ke seorang kreator konten di TikTok. Receh, memang. Namun, hal seperti ini saya lakukan hampir setiap minggu, dan saya tahu saya tidak sendiri. Kini, hampir semua orang terbiasa membeli hal-hal kecil secara digital: langganan e-book Rp15.000, top-up game Rp20.000, hingga patungan donasi daring.

Awalnya saya tak terpikir ini bisa terkait pajak. Namun, bila jutaan pengguna melakukan hal sama setiap hari, nilainya bisa mencapai triliunan rupiah. Sayang, transaksi mikro digital seperti ini belum menjadi perhatian utama dalam sistem perpajakan nasional.

Di tengah upaya reformasi fiskal, pemerintah relatif masih menaruh fokus pada sektor besar dan konvensional. Transaksi mikro digital padahal telah menjadi bagian gaya hidup masyarakat, khususnya generasi muda.

Fenomena digitalisasi ekonomi menghadirkan lanskap transaksi yang berubah drastis. Data Bank Indonesia menunjukkan nilai transaksi QRIS sepanjang 2023 mencapai Rp495,75 triliun, tumbuh 145,72% dari tahun sebelumnya. Jumlah pengguna QRIS menembus 45 juta, mayoritas dari UMKM dan konsumen dengan transaksi kecil.

Selain itu, platform digital melahirkan sumber penghasilan mikro baru: TikTok Live, SnackVideo, Shopee Affiliate, langganan Spotify atau Google Drive, hingga penjualan e-book pribadi. Nilai per transaksi relatif kecil, rata-rata di bawah Rp50.000, tetapi volumenya luar biasa besar dan terus meningkat.

Namun, transaksi ini sering kali luput dari perhatian otoritas pajak. Alasannya beragam: tidak signifikan, sulit dilacak atau belum diatur secara khusus. Padahal, jika dikelola dengan tepat, transaksi mikro dapat menjadi “sumur pajak baru” yang stabil, luas, dan tidak membebani secara fiskal.

Jepang dan Korea Selatan, misalnya, mulai melirik pajak atas transaksi mikro digital sebagai bagian dari strategi pajak digital mereka.

Kita kini memasuki era long tail economy, di mana kontribusi ekonomi tidak lagi hanya datang dari segelintir pemain besar, melainkan jutaan pemain kecil yang aktif.

Jika dahulu penerimaan negara bertumpu pada wajib pajak elit, kini pintu baru terbuka melalui ekonomi partisipatif sepanjang sistem pajaknya disesuaikan.

Tanpa kerangka pajak yang jelas, disertai dengan edukasi yang baik, ekonomi digital mikro dikhawatirkan berkembang secara informal. Akibatnya, negara kehilangan potensi penerimaan negara.

Oleh karena itu, solusinya bukan memperberat, melainkan membuatnya ringan, otomatis, dan tidak mengganggu. Konsep embedded taxation bisa diterapkan: pajak dipotong langsung dalam sistem tanpa pelaporan tambahan.

Misal, setiap donasi TikTok Rp10.000 otomatis mengandung PPh final 1%. Pemotongan dilakukan oleh platform melalui sistem yang terhubung dengan DJP. Skema ini mirip pemotongan PPh final UMKM 0,5% yang sudah berjalan melalui platform pembayaran.

Bedanya, pajak mikro berlaku untuk jenis transaksi lebih luas, dengan ambang batas rendah, serta insentif bagi platform yang memfasilitasi. Mekanisme ini dapat memperluas basis pajak tanpa menambah beban kepatuhan bagi pelaku ekonomi mikro.

Namun, regulasi adaptif tetap diperlukan. Pemerintah dapat memulai dengan menetapkan kategori transaksi mikro yang dikenai PPh final, mengintegrasikan sistem dengan platform digital, serta melakukan edukasi agar pelaku ekonomi mikro merasa nyaman dan tidak terintimidasi.

Untuk tahap awal, pilot project bisa diterapkan di sektor yang paling aktif, seperti donasi konten dan top-up aplikasi hiburan.

Pajak mikro bukan sekadar ide baru, tetapi evolusi logis perpajakan era digital. Dengan jumlah transaksi besar, sebaran luas, dan pelaku beragam, pendekatan pajak tak bisa lagi one-size-fits-all. Justru di situlah kekuatan pajak mikro: fleksibel, tersebar, dan berkelanjutan.

Ke depan, penerimaan negara tidak harus bertumpu pada pajak perusahaan besar atau cukai komoditas kontroversial. Negara dapat memperoleh penerimaan sehat dari miliaran transaksi kecil yang tak henti terjadi setiap hari. Pajak yang “tidak terasa”, tetapi nyata.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2025. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-18 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp75 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Ingin selalu terdepan dengan kabar perpajakan terkini?Ikuti DDTCNews WhatsApp Channel & dapatkan berita pilihan di genggaman Anda.
Ikuti sekarang
News Whatsapp Channel
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Roy Simanjuntak
baru saja
selamat kamu salah 1 karya terpilih... bagaimana dengan saya ini