LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menimbang Redefinisi Iuran Jaminan Sosial sebagai Pajak

Redaksi DDTCNews
Kamis, 03 Oktober 2024 | 15.28 WIB
ddtc-loaderMenimbang Redefinisi Iuran Jaminan Sosial sebagai Pajak

Rizqa Lahuddin,

Kota Semarang - Jawa Tengah

KETIKA membicarakan tax-to-GDP ratio yang tinggi, ahli ekonomi sering menggunakan negara-negara maju di Eropa atau Jepang sebagai contoh masyarakat dengan kesadaran dan kepatuhan pajak luar biasa. Negara-negara berkembang dirasa perlu untuk meniru Jerman, Swedia, atau Finlandia jika ingin mendekati atau mencapai tax-to-GDP ratio yang sama.

Terlebih lagi, presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, menargetkan rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan pajak perlu ditingkatkan, mengingat kontribusinya masih sangat dominan dalam struktur pendapatan negara di Indonesia.

Namun demikian, pertanyaannya adalah apakah benar bahwa masyarakat di negara-negara maju memiliki kepatuhan pajak yang luar biasa? Apakah masyarakat di Italia, Norwegia, dan Prancis begitu patuhnya terhadap pajak dan seolah di sana tidak ada yang berpikir untuk tidak membayar pajak sama sekali?

Tax-to-GDP ratio adalah alat (tools) yang digunakan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk mengetahui seberapa besar pendapatan yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah dari total PDB suatu negara. Caranya dengan menghitung jumlah penerimaan pajak dibagi dengan PDB.  

Namun demikian, apa yang dimaksud dengan ‘pajak’ di sini? Cakupannya berbeda di setiap negara. Misalnya saja di Indonesia, ada pungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang tidak masuk penghitungan. Jika pungutan serupa masuk dalam penghitungan, perbandingan tax-to-GDP ratio (atau sering disebut sebagai tax ratio) antarnegara bisa menjadi tidak sebanding (apple-to-apple).

Selain OECD, World Bank juga memiliki alat pengukuran serupa yang disebut revenue-to-GDP ratio. Adapun tools ini digunakan untuk membandingkan semua pendapatan negara (kecuali hibah) dengan PDB. Penggunaan pendapatan negara dalam APBN (government budget) dianggap lebih akurat karena definisi pajak bervariasi di setiap negara.

Berdasarkan pada laporan Revenue Statistic 2023, Tax Revenue Buoyancy in OECD Countries terlihat bahwa negara-negara yang selama ini dianggap memiliki kesadaran pajak tinggi ternyata tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan rasio yang tinggi tersebut bukan didominasi oleh pembayaran PPh (income tax), PPN (taxes on goods and services), ataupun PBB (property tax).

Sebagian besar dari rasio pajak yang tinggi, masih berdasarkan pada laporan tersebut, justru berasal dari pembayaran social security contributions atau iuran jaminan sosial. Di banyak negara OECD, pembayaran untuk kesehatan dan pensiun ternyata dikategorikan sebagai social security tax dan dimasukkan dalam penghitungan tax-to-GDP ratio.

Social security tax dipotong dari gaji karyawan atau withholding. Skemanya bisa ditanggung sebagian atau seluruhnya oleh pemberi kerja. Sebagai pembanding, jika karyawan di Indonesia hanya dikenai potongan PPh Pasal 21, pegawai di Yunani mendapat dua pemotongan dari penghasilan yang diterimanya.

Pertama, pemotongan untuk income tax atau sejenis PPh Pasal 21. Kedua, pemotongan untuk social security tax yang sepertinya belum memiliki pembanding di Indonesia. Jika ada yang mendekati, mungkin sejenis iuran BPJS Kesehatan, iuran BPJS Ketenagakerjaan, iuran Dana Pensiun, serta iuran Tapera.

Berbagai iuran itu tidak dapat dikategorikan sebagai pajak karena menjadi pendapatan yang dikelola oleh lembaga tersendiri di luar lembaga pemungut pajak. Mengetahui hal tersebut, penulis penasaran seandainya iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan digabungkan dengan penerimaan pajak, berapakah tax-to-GDP ratio Indonesia?

Seperti diketahui, kedua lembaga tersebut merilis laporan tahunan sehingga data iuran tersedia. Untuk dana pensiun tidak dimasukkan dalam skenario social security tax karena masing-masing perusahaan boleh mengelola, bahkan mendirikan dana pensiun karyawannya sendiri. Hal ini membuat datanya cukup tersebar.

Laporan Revenue Statistic in Asia and the Pacific 2024 yang diterbitkan oleh OECD masih menggunakan data kinerja pada 2022, yakni tax-to-GDP ratio Indonesia sebesar 12,1%. Oleh karena itu, untuk mencari data 2023, kita bisa menghitung sendiri berdasarkan pada data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) serta data kinerja perekonomian.

Berdasarkan pada laporan realisasi APBN dalam LKPP 2023 (audited), realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp2.154,2 triliun. Kemudian, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), PDB pada 2023 senilai Rp20.892,4 triliun. Dengan demikian, tax-to-GDP ratio Indonesia dapat diketahui sebesar 10,3%.

Kemudian, berdasarkan pada Laporan Kinerja Keuangan Konsolidasian (audited) BPJS Ketenagakerjaan, pendapatan dari iuran untuk 2023 mencapai Rp4,8 triliun. Sementara berdasarkan pada laporan yang dirilis BPJS Kesehatan diketahui bahwa pendapatan iuran pada 2023 adalah senilai Rp151,7 triliun.

Jika keduanya dianggap sebagai social security tax, pendapatan perpajakan menjadi Rp 2.310,7 triliun. Dengan skenario tambahan social security tax tersebut, tax-to-GDP ratio Indonesia secara otomatis juga meningkat menjadi 11,1%. Memang penambahannya tidak terlalu besar, tapi perubahan penghitungan ini setidaknya memberikan sinyal positif.

Perlu digarisbawahi bahwa ruang untuk mengubah tarif atau mengenakan pajak baru sangat terbatas. Contohnya, pemerintah telah merencanakan kenaikan tarif PPN menjadi 12% mulai 2025. Di sisi lain, kenaikan tarif PPh juga jarang menjadi kebijakan yang populer di negara manapun.

Pengenaan pajak atas dasar aset bersih, seperti melalui sunset policy, tax amnesty, atau bahkan kebijakan seperti Pas Final, jika dilakukan secara berulang akan kehilangan esensinya. Kebijakan semacam itu hanya akan menjadi acara periodik bagi wajib pajak untuk menghindari pajak selama beberapa tahun dan menebusnya melalui program serupa pada masa mendatang.

Selama ini, wajib pajak sering enggan membayar pajak, salah satunya karena mereka merasa uang yang dibayarkan tidak memberikan manfaat langsung. Jika iuran jaminan sosial diubah menjadi social security tax yang dikelola oleh DJP, wajib pajak akan menerima manfaat langsung. Misalnya, layanan kesehatan gratis dan santunan jika terkena PHK, mirip dengan yang berlaku di Eropa.

Karena pajak ini dipungut secara otomatis, masyarakat mungkin tidak akan merasa sedang membayar social security tax. Namun demikian, kekurangannya adalah beban tambahan yang harus ditanggung oleh pemberi kerja. Selain itu, diperlukan perubahan undang-undang. Dampaknya terhadap perekonomian secara makro juga perlu dikaji lebih mendalam.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.