Qadri Fidienil Haq,
PENERIMAAN pajak – yang menyumbang mayoritas pendapatan negara – dalam APBN berperan vital pada kegiatan pembangunan, baik bagi pemerintah pusat selaku penghimpun maupun untuk pemerintah daerah. Terlebih, sebagian pajak yang dihimpun pemerintah pusat pada akhirnya menjadi dana transfer ke daerah.
Sebagai gambaran, berdasarkan pada Laporan Keuangan Pemerintah Konsolidasian 2022, realisasi dana transfer ke daerah senilai Rp777,98 triliun atau 69,62%% dari total seluruh pendapatan daerah di Indonesia senilai Rp1.117,36 triliun. Transfer ke daerah itu dilakukan dalam bentuk dana perimbangan serta dana otonomi khusus dan penyesuaian.
Data tersebut menunjukkan masih besarnya ketergantungan pendapatan daerah terhadap dana transfer. Pada saat yang sama, data tersebut juga menyoroti pemungutan pajak daerah – yang menjadi komponen pendapatan asli daerah (PAD) – juga belum optimal. Melihat kondisi ini, sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya diperkuat.
Pada kenyataannya, saat ini, sinergi untuk optimalisasi pajak belum menjadi perhatian serius. Perjanjian kerja sama optimalisasi pajak pusat dan pajak daerah antara pemerintah daerah, Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK), serta Ditjen Pajak (DJP) per 22 Agustus 2023 baru mencakup 67,22% dari total seluruh pemerintah daerah (Kemenkeu, 2023).
Kerja sama tersebut juga masih terbatas dalam pertukaran data. Padahal, sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dapat ditingkatkan menjadi berbagai macam bentuk kegiatan, seperti pengawasan dan pemeriksaan kewajiban perpajakan bersama. Sinergi semacam ini sering kali menghasilkan efisiensi dalam pengumpulan pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak.
Pemerintah daerah, yang mempunyai kewenangan dalam hal perizinan dan penguasaan wilayah sampai lingkup kelurahan, dapat mendukung pelaksanaan pengawasan pajak pusat dengan lebih komprehensif. Pemerintah pusat, yang mempunyai basis data lebih masif, dapat mendukung pemerintah daerah dalam pengawasan atas kepatuhan pajak daerah.
Kerja sama pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat meningkatkan efektivitas pemeriksaan. Otoritas pemerintah pusat dan daerah dapat membagi ruang lingkup pemeriksaan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.
Sebagai contoh, atas wajib pajak perhotelan, pemerintah daerah dapat fokus pada pemeriksaan omzet yang terutang pajak hotel serta kebenaran pelaporan pegawainya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat dapat fokus pada pemeriksaan lainnya. Skema ini pada gilirannya akan menurunkan cost of compliance karena wajib pajak tidak perlu menghadapi pemeriksaan berulang.
SALAH satu transfer ke daerah yang terkait langsung dengan kinerja penerimaan pajak pusat adalah dana bagi hasil (DBH) pajak penghasilan (PPh). Sebagai informasi, DBH merupakan salah satu bagian dari dana perimbangan. Selain DBH, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) juga masuk dalam cakupan dana perimbangan.
Adapun DBH PPh dihitung berdasarkan pada kinerja penerimaan PPh yang bersumber dari penghasilan orang pribadi pada suatu daerah, yakni mencakup PPh Pasal 21 yang disetor pemberi kerja dan PPh UMKM/25/29 orang pribadi. Alokasi DBH PPh ke daerah sebesar 20% dari penerimaan PPh tersebut.
Dalam konteks tersebut, potensi peningkatan penerimaan PPh dari orang pribadi di Indonesia masih sangat besar. Hal ini dikarenakan kontribusi penerimaan pajak orang pribadi nonkaryawan masih tergolong rendah. OECD (2024) dalam Revenue Statistic menyatakan penerimaan pajak orang pribadi di Indonesia hanya berkontribusi 13% dari total seluruh penerimaan pajak.
Angka tersebut masih berada di bawah kontribusi rata-rata penerimaan pajak orang pribadi di negara-negara Asia Pasifik (16%) dan rata-rata negara OECD (24%). Negara tetangga seperti Malaysia, yang juga termasuk negara berkembang, sudah mencapai level 16%.
Alokasi DBH PPh seharusnya dapat menjadi pemantik bagi daerah untuk meningkatkan penerimaan PPh orang pribadi. Perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah diperlukan agar terjalin sinergi dalam mengoptimalkan penerimaan pajak tersebut.
Di satu sisi, pemerintah pusat perlu bersinergi dengan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan PPh orang pribadi sebagai sumber pendapatan negara. Di sisi lain, bagi pemerintah daerah, adanya sinergi diharapkan turut meningkatkan pendapatan asli daerah. Dengan demikian, keuntungan bersinergi akan dirasakan bersama.
SECARA administrasi, ketepatan domisili wajib pajak juga perlu mendapat perhatian. Alokasi DBH PPh Pasal 21 bergantung pada alamat wajib pajak pemotong. Sementara itu, alokasi DBH PPh UMKM/25/29 orang pribadi bergantung pada alamat wajib pajak terdaftar.
Pemerintah pusat dan daerah perlu memastikan bahwa wajib pajak telah melaporkan pegawai atau alamatnya sesuai dengan tempat kedudukannya bekerja atau berusaha. Kedudukan alamat wajib pajak terdaftar ini sangat penting untuk menghindari kesalahan alokasi DBH.
Sebagai ilustrasi, wajib pajak A terdaftar di Jakarta mempunyai sejumlah pegawai yang secara kedudukan bekerja di Jayapura. Wajib pajak A seharusnya mempunyai NPWP cabang – atau nantinya Nomor Induk Tempat Kegiatan Usaha (NITKU) – di Jayapura untuk menyetor PPh Pasal 21 pegawai di sana. Apabila wajib pajak A menyetor seluruh PPh Pasal 21 di Jakarta maka Jayapura tidak akan mendapatkan DBH PPh Pasal 21 dari wajib pajak A tersebut.
Dari aspek regulasi, alokasi PPh Pasal 21 dan PPh UMKM/25/29 orang pribadi mempunyai kelemahan dalam perimbangan beban pemungutan. Struktur ekonomi Indonesia mayoritas terbentuk dari sektor UMKM dengan kontribusi 61% terhadap produk domestik bruto (PDB) (Kemenko Perekonomian, 2023).
Banyak UMKM yang sifatnya nonformal. Hal ini menyebabkan pengawasan pemotongan PPh Pasal 21 atau pembayaran PPh UMKM/25/29 orang pribadi menjadi lebih sulit atau hard to tax (Musgrave, 1990).
Oleh karena itu, daerah dengan struktur ekonomi formal yang tinggi berpotensi akan mendapat rasio DBH terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) yang lebih besar. Selain itu, banyaknya orang pribadi berpenghasilan di bawah batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) juga menjadi tantangan untuk menghitung alokasi DBH yang imbang.
Besaran persentase alokasi DBH PPh seharusnya tidak disamaratakan sebagai kompensasi struktur ekonomi Indonesia yang masih bergantung pada sektor UMKM. Daerah dengan struktur ekonomi formal yang rendah perlu mendapat persentase alokasi DBH yang lebih tinggi. Tingkat kesulitan yang lebih tinggi untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak pada ekonomi nonformal menjadi justifikasi perbedaan persentase alokasi DBH PPh.
Peningkatan alokasi DBH PPh akan menjadi pemanis bagi daerah untuk meningkatkan sinergi perpajakan dengan pemerintah pusat. Dengan insentif DBH yang lebih berimbang, pemerintah daerah diharapkan terpacu untuk bersinergi dengan pemerintah pusat untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak pemberi kerja dan orang pribadi dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.