LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Meninjau Kembali Arah Kebijakan Pajak Internasional Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 September 2024 | 18.20 WIB
ddtc-loaderMeninjau Kembali Arah Kebijakan Pajak Internasional Indonesia

M. Adzka I. P. Dhana,

Jakarta Timur - DKI Jakarta

DON’T tax you, don’t tax me, tax that fellow beyond the sea,” ujar Senator Russell B. Long, Ketua Komite Keuangan Senat Amerika Serikat (AS) pada 1966-1981. Pernyataan tersebut ternyata sangat relevan untuk menggambarkan lanskap perpajakan internasional terkini yang mencoba mengatasi masalah dalam pemajakan atas digitalisasi ekonomi.

Masifnya aktivitas ekonomi digital membuat konsep bentuk usaha tetap (BUT) yang mensyaratkan kehadiran fisik menjadi usang (Skaar, 2020). Merespons kondisi ini, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memperkenalkan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pillar One Amount A.

Pertanyan besar yang kemudian muncul adalah apakah konsesus global tersebut benar-benar dapat dijalankan? Avi-Yonah (2024) menekankan bahwa dukungan dari AS sangat penting untuk memastikan konsensus global ini dapat diimplementasikan.

Nahas, kondisi politik internal AS mengindikasikan BEPS Pillar One Amount A tidak akan terwujud. Avi-Yonah (2023) menyebut kemungkinannya kecil bagi AS meratifikasi Multilateral Convention (MLC) sebelum Januari 2025. Hal ini  mengingat sikap Partai Republik yang dominan di Senat AS dan secara konsisten menentang BEPS Pillar One.

Berkaitan dengan problematika tersebut, rezim pemerintahan baru harus mencari alternatif kebijakan pajak internasional yang lebih realistis untuk diimplementasikan. Hal ini untuk memaksimalkan penerimaan negara yang oleh presiden-wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, ditargetkan mencapai rasio 23% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Desain Kebijakan yang Berkelanjutan

INDONESIA sangat jelas lebih memiliki kedekatan hubungan ekonomi dengan negara-negara di Asia dibandingkan dengan benua lainnya. Jika dilihat dari realisasi investasi asing langsung di Indonesia pada 2023, paling banyak dari Singapura, yakni senilai US$15 miliar. Kemudian, ada investasi dari China sebanyak US$7 miliar dan Hong Kong senilai US$6,5 miliar (BKPM, 2024).

Kedekatan ekonomi antara Indonesia dan negara-negara Asia tidak hanya terlihat dari tingginya investasi yang masuk, tetapi juga dari partisipasi aktif Indonesia dalam inisiatif regional yang strategis. Salah satu contohnya adalah partisipasi Indonesia dalam Silk Road Economic Belt and the 21st Century Maritime Silk Road atau Belt dan Road Initiative (BRI).

Pada tahun 2013, Presiden China Xi Jinping menginisiasi kerja sama internasional untuk membangun BRI. Per akhir 2023, terdapat 151 yurisdiksi – termasuk Indonesia – yang telah menandatangani kesepakatan BRI (Nedopil, 2023).

BRI merupakan kelanjutan dari kebijakan ’Go Out’ China pada 1999 yang mendorong perusahaan-perusahaan Negeri Tirai Bambu untuk berinvestasi dan berkontrak di negara lain agar memastikan pasokan bahan mentah ke negara tersebut (Oliveira et al., 2020). BRI menyempurnakan kebijakan tersebut dengan membuang kelebihan modal dan kapasitas industri ke luar negeri (Summers, 2016).

Untuk memastikan kelancaran kerjasama perpajakan antaryurisdiksi BRI, dibentuklah Belt and Road Initiative Tax Administration Cooperation Mechanism (BRITACOM). Tidak seperti BEPS Project yang menyediakan MLC, saat ini produk yang dirilis BRITACOM bersifat soft law (tidak mengikat) untuk negara-negara BRI.

Mengingat banyaknya negara berkembang, otoritas pajak dari yurisdiksi BRI tidak memiliki kapasitas yang baik untuk melakukan pemungutan pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Xiaojing dan Jingxian, 2021). Oleh karena itu, perangkat hukum yang mengikat dan mekanisme penyelesaian sengketa antaryurisdiksi BRI sangatlah diperlukan.

Permasalahan mengenai ketidakpastian penerapan BEPS Pillar One Amount A dan pentingnya mendorong kerja sama yang lebih baik antaryurisdiksi BRI dapat menjadi momentum bagi Indonesia dalam mendongkrak penerimaan negara 23% terhadap PDB.

Beer dan Michielse (2021) menjelaskan seiring dengan peningkatan investasi dalam negeri, pertumbuhan perekonomian juga dapat meningkat. Kondisi ini akan berdampak pula pada timbulnya sumber-sumber penghasilan baru yang ujungnya masuk ke penerimaan pajak.

Ketidakpastian kebijakan pajak internasional terkini serta kedekatan hubungan ekonomis yang lebih realistis bagi Indonesia harus direpons dengan cermat oleh rezim pemerintahan yang baru. Oleh karena itu, dalam merancang kebijakan pajak internasional yang berkelanjutan, pemerintah Indonesia dapat fokus pada tiga hal utama.

Pertama, Indonesia dapat menginisiasi pembentukan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) model BRI. Hal ini bertujuan untuk menciptakan perangkat hukum yang memberi kepastian dalam kelancaran kerjasama ekonomi melalui investasi antaryurisdiksi BRI.

Kedua, Indonesia dapat berfokus pada penyelesaian sengketa antaryurisdiksi BRI dengan memfasilitasi mekanisme mediasi ataupun konsultasi ahli. Hal ini sebagai pelengkap mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP) yang sudah ada saat ini.

Ketiga, Indonesia dapat segera mengadopsi kebijakan pajak yang dilarang dalam syarat penerapan BEPS Pillar One Amount A, yaitu digital service tax (DST). Kebijakan ini dapat menjadi komplementer kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) yang sudah ada dalam mendongrak penerimaan negara.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.