LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Optimalisasi Pajak: PTKP, Pengelompokan WP, hingga Kepercayaan Publik

Redaksi DDTCNews
Selasa, 03 September 2024 | 14.30 WIB
ddtc-loaderOptimalisasi Pajak: PTKP, Pengelompokan WP, hingga Kepercayaan Publik

David Ahmad,

Kota Malang - Jawa Timur

ARAH kebijakan pajak pada hakikatnya sangat bergantung dari figur pemimpin pada tingkat nasional. Namun, dari sekian banyaknya faktor, akhirnya pertimbangan politik yang akan menentukan pilihan kebijakan pajak suatu negara (Darussalam, 2019).

Kebijakan pajak makin krusial ketika Prabowo-Gibran, sebagai presiden dan wakil presiden terpilih dalam pemilu 2024, mulai memimpin Indonesia. Mengapa? Karena lebih dari 70% pendapatan negara bersumber dari penerimaan pajak (APBN 2023).

Keduanya juga telah menjanjikan rasio penerimaan negara 23% terhadap produk domestik bruto (PDB) di tengah tawaran berbagai program belanja. Namun, janji itu hanya akan tinggal janji jika tidak ada upaya sekaligus terobosan kebijakan, terutama dalam bidang pajak.

Sayangnya, kebijakan pengumpulan pajak yang terlalu agresif justru akan kontraproduktif dengan kemampuan belanja masyarakat (Nugroho, 2023). Terlebih, kemampuan belanja masyarakat akan berpengaruh pada perekonomian. Untuk itu, kebijakan perlu diracik untuk mencapai keseimbangan antara penerimaan pajak dan stabilitas kemampuan belanja (daya beli) masyarakat.

Setidaknya ada empat aspek yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Pertama, penentuan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Kedua, pengelompokan wajib pajak dalam kantor pelayanan pajak (KPP). Ketiga, pemberian insentif. Keempat, kepercayaan publik.

Terkait dengan aspek pertama, pemerintah dapat mengkaji ulang penentuan batas PTKP. Awalnya, batas PTKP berupa nilai nominal mengacu pada upah minimum sebagai standar hidup layak. Faktanya, tingginya batas PTKP terhadap upah minimum sangat bervariasi. Selain menimbulkan hilangnya potensi penerimaan, kondisi tersebut turut menimbulkan distorsi pada aspek keadilan.

Sebagai ilustrasi, wajib pajak dengan status TK/0 yang memiliki penghasilan Rp5 juta per bulan di Jakarta tentu akan memiliki kemampuan konsumsi atau investasi yang berbeda dengan wajib pajak dengan status dan penghasilan yang sama di Yogyakarta. Mengapa? Karena standar hidup layak minimum yang tercermin dari nilai upah minimum di dua daerah tersebut juga tidak sama.

Solusinya, penentuan batas PTKP semestinya didasarkan pada presentase nilai tertentu yang lebih tinggi dari standar hidup layak tiap daerah. Pertanyaannya, mengapa harus lebih tinggi? Agar kemampuan belanja masyarakat tetap dapat terjaga, standar hidup minimum masyarakat dapat terpenuhi, dan nilai keadilan sosial juga dapat dipertanggungjawabkan.

Oleh karena itu, PTKP ke depan seharusnya menggunakan formula persentase tertentu dari upah minimum. Misal, nilai PTKP ditentukan sebesar 115% dari nilai upah minimum regional (UMR) bagi wajib pajak dengan status TK/0, 125% bagi wajib pajak dengan status TK/1, dan seterusnya.

Skema tersebut memberikan keadilan. Hal tersebut sesuai dengan teori gaya pikul dan gotong-royong yang diukur dari besarnya penghasilan dan pengeluaran wajib pajak tetap dapat terpenuhi, kemampuan belanja masyarakat tetap dapat terjaga, dan pendapatan negara dapat dioptimalkan.

Pengelompokan Wajib Pajak

KEADILAN juga dapat dilakukan melalui redesain pengelompokan wajib pajak. Saat ini, pengelompokan wajib pajak didasarkan pada pertimbangan domisili, peringkat peredaran usaha, serta peringkat rata-rata pembayaran pajak bruto dalam 3 tahun terakhir. Menariknya, otoritas juga berencana memasukkan wajib pajak grup dalam KPP yang sama untuk tujuan pengawasan dan untuk menekan biaya kepatuhan (DDTCNews, 2024).

Selagi menunggu, kita perlu mengajukan pertanyaan reflektif. Adakah strategi lain yang mungkin dapat kita usulkan agar pengelompokan wajib pajak dapat lebih berdampak pada penerimaan negara? Penulis berpendapat pengelompokan wajib pajak semestinya dapat dilakukan berdasarkan pada jenis usaha. Hal ini akan mempermudah pengawasan, penggalian potensi, dan benchmarking.

Terlebih, ada beberapa jenis usaha yang berpengaruh besar terhadap perekonomian (PDB) tetapi berkontribusi minim pada penerimaan pajak. Misal, jenis usaha sektor pertambangan, kontruksi, pertanian, manufaktur, perdagangan besar, jasa keuangan, asuransi, dan lain sebagainya (Panjaitan dan DDTCNews, 2023).

Dengan pengelompokan wajib pajak berdasarkan pada jenis usaha, otoritas dapat lebih mudah melakukan kajian tentang ‘celah kebocoran’ per jenis usaha dan mencari solusinya. Dengan demikian, otoritas dapat mengetahui secara cepat dan tepat aspek yang harus diperbaiki. Misal, pada aspek kebijakan, administrasi, atau penegakan hukum.

Selain berdampak pada penerimaan, pengelompokan itu dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dengan spesialisasi, otoritas secara tidak langsung akan membentuk lingkungan belajar dan diskusi yang kondusif, meningkatkan kualitas layanan, serta meningkatkan kemampuan analisis sekaligus pengolahan data, pengetahuan, pemahaman, dan naluri yang lebih baik.

Selain itu, otoritas juga dapat mengembangkan inovasi dari hasil seluruh kasus. Sebagai contoh, pengumpulan kasus identik hanya terkait dengan kelompok jenis usaha tertentu serta penyusunan database yurisprudensi yang terspesialisasi. Alhasil, sengketa pajak dapat lebih berkualitas dan tidak semata berorientasi pada peningkatkan penerimaan tanpa melihat aspek kepastian hukum.

Puncaknya, otoritas pajak dapat secara mudah melakukan ekstensifikasi dan/atau intensifikasi. Dengan demikian, kontribusi pajak ke depan diharapkan dapat jauh terdistribusi pada seluruh sektor yang turut menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Penerimaan pajak diharapkan tidak didominasi atau terkonsentrasi pada sektor-sektor tertentu.

Hal tersebut selaras dengan teori kepentingan yang menyatakan bahwa pembagian beban pajak kepada negara harus didasarkan pada kepentingan atau perlindungannya pada bidang ekonomi (Mardiasmo, 2004). Dengan demikian, sekecil atau sebesar apapun kepentingan itu maka sebegitu pula kewajiban pajak itu harus dibayar.

Kepercayaan Publik

TERKAIT dengan perekonomian, salah satu strategi untuk mencapai penerimaan 23% terhadap PDB, menurut presiden dan wakil presiden terpilih adalah dengan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi yang berfokus pada hilirisasi (DDTCNews, 2023). Selama ini, pemerintah juga telah memberikan berbagai insentif, seperti tax holiday, tax allowance, dan penurunan tarif PPh badan perseroan terbuka.

Namun, harus dipahami bahwa pajak hanya komplemen dari gambaran besar kebijakan nonpajak suatu negara. Iklim investasi yang mendukung, keadaan politik yang stabil, kepastian hukum, kualitas SDM, kemudahan perizinan, keterjangkauan biaya transportasi, dan aspek lain menjadi penentu masuk atau tidaknya investor.

Dengan demikian, perbaikan kebijakan pada bidang-bidang lainnya juga perlu dilakukan. Perlu diingat, makin gencar pemberian insentif pajak jelas akan meningkatkan hilangnya potensi penerimaan. Oleh karena itu, pemerintah juga perlu secara rutin mengevaluasi efektivitas pemberian insentif yang sekaligus bisa mengurangi kesenjangan kebijakan (Darussalam, 2019).

Dalam konteks investasi, aspek kepercayaan terhadap pemerintah juga penting. Hal ini juga cukup krusial jika berbicara dalam konteks masyarakat umum. Mengapa? Karena kepercayaan publik juga jadi penentu terciptanya kepuasan masyarakat sehingga membentuk kepatuhan sukarela pajak serta dapat meningkatkan partisipasi (Ferdinand, 2024).

Akhir-akhir ini, baik lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif mendapat sorotan. Apalagi, pendanaan negeri ini, termasuk untuk para pemangku kepentingan tersebut, mayoritas bersumber dari pajak. Kinerja yang baik dan berkualitas dari setiap pihak yang didanai dari uang rakyat akan turut menumbuhkan kepercayaan publik.

Kualitas komunikasi, penyusunan regulasi, penegakan hukum, dan pengelolaan APBN ke depan diharapkan lebih baik. Setiap aspek seharusnya melibatkan masyarakat dan dilakukan dengan bijak. Tujuannya kembali lagi, yakni kepercayaan publik dapat meningkat, kepatuhan sukarela terbentuk, dan partisipasi masyarakat untuk membayar pajak meningkat.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.