Fathur Rizki,
SEKTORĀ usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) punya kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia. Investment Report 2022 yangĀ diterbitkan United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) menyebutkan sebanyak 65,46 jutaĀ pelaku UMKM di Indonesia memberikan sumbangsih terhadap PDB sebesar 60,3%.Ā
Untuk mendukung sektor UMKM dari sisi perpajakan,Ā pemerintah mereformasi kebijakan PPh final yang telah berlaku. Ketentuan tentang PPh final UMKM dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022 tentangĀ Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Ketentuan PPh final dalam PP 55/2022 diharapkan bisa mendorong wajib pajak untuk menjalankan kewajibannya secara patuh dan sukarela. Namun, implementasi kebijakan PPh final UMKM ternyata menghadapi sejumlah tantangan di lapangan.Ā
Dasar pengenaan PPh final yang berlaku saat ini mengacu pada omzet atau perderaranĀ bruto yang diperoleh pelaku UMKM. Dalam penerapannya, nominal omzet kerap kali belum mencerminkan situasi yang sebenarnya dialami pelaku UMKM. Pelaku UMKM masih kerap menghadapi tantangan terkait dengan operasional dan permodalan. Tidak sedikit pelaku UMKM yang terpaksa harus mengesampingkan keuntungannya demi menjaga operasional usaha tetap berjalan.Ā
Berdasarkan pengamatan penulis, lazimnya pelaku UMKM menyisihkan omzetnya untuk membiayai belanja operasional usahanya. Pengeluaran itu dipakai untuk belanja bahan baku, beban sewa tempat usaha, beban upah tenaga kerja, biaya transportasi, biaya promosi, dan pengeluaran lainnya. Karena mementingkan belanja operasional inilah, pelaku UMKM terkadang lalai menjalankan kewajiban perpajakannya.Ā
Di samping itu, pelaku UMKM juga memerlukan modal tambahan untuk memperluas pasar. Modal ini biasanya didapat dari skema kemitraan.Ā Namun, sebagai konsekuensi atas skema ini, pelaku usaha harus mengembalikan modal kemitraan berdasarkan perjanjian yang disepakati.Ā
Berdasarkan kondisi-kondisi yang dialami pelaku UMKM seperti yang diuraikan di atas, sudah adilkan penerapan PPh final UMKM saat ini?
Ada anggapan umum, berdasarkan kacamata penulis, bahwa pemerintah menganggap pelaku usaha pasti dapat untung, tidak peduli ukuran omzet yang dimiliki. Anggapan tersebut memantik kritik pelaku usaha terkait dengan keadilan pajak. Hal tersebut bisa berimbas pada kesukarelaan pelaku UMKM dalam menyetorkan PPh final (willingness to pay).Ā Ketentuan yang berlaku saat ini dikhawatirkan membuat pelaku UMKM justru enggan menghitung dan menyetorkan PPh finalnya.Ā
Mansury R (1996) menyebutkan keadilan dalam pemungutan pajak (equity principle) ditentukan dariĀ kemampuan membayar (ability to pay) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh. Definisi dari penghasilanĀ adalah penghasilan bersih yang ditentukan dengan caraĀ mengurangkanĀ penghasilan bruto denganĀ biaya-biaya pengurang penghasilan kotor berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku.Ā Ā
Dengan demikian, kebijakan PPh final yang berlaku saat ini masih memaknai tingkat abilityĀ to pay pelaku UMKMĀ berdasarkan omzet yang diterima atau diperoleh wajib pajak.Ā Padahal, berdasarkan makna ability to pay oleh Mansury R (1996)Ā di atas, semestinya pajak dikenakan atas penghasilan neto, bukan dikenakanĀ atas omzet.Ā Ā
Mengacu pada PP 55/2022, keadilan pajak sudah tercermin dariĀ fasilitas tax exemption. Dalam peraturan tersebut, pelaku UMKM orang pribadi dengan omzet Rp500 juta ke bawah per tahun dibebaskan dari pengenaan PPh final. Penerapan thresholdĀ atas pengenaan PPh final UMKM ini perlu diapresiasi. Dengan adanya batasan omzet yang kena pajak, diharapkan pelaku UMKM lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Alternatif Desain Kebijakan PPh Final UMKM
Kebijakan PPh final UMKM seharusnya berlandaskan kemampuan membayarĀ (ability to pay). Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali skema pengenaan PPh final UMKM agar dikenakan atas penghasilan bersih, bukan omzet. Dengan begitu, pajak yang disetorkan dinilai lebih mencerminkan kondisi usaha yang sebenarnya.
Alternatif lainnya, pemerintah bisa melakukan sinkronisasi pengenaan PPh final denganĀ kebijakan lain yang relevan. Pasalnya, kebijakan PPh final atas pelaku UMKM yang berlaku saat ini dinilaiĀ belum sinkronĀ dengan klasifikasi skala UMKM yang diatur lebih lanjut dalam UU 20/2008 tentangĀ Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.Ā
UU 20/2008 mengaturĀ klasifikasi skala usaha UKM terdiri dari usaha mikro, usaha kecil, danĀ usaha menengah. Usaha mikro adalah usaha dengan omzet sampai dengan Rp300 juta per tahun. Kemudian, usaha kecil adalah usaha dengan omzet di atasĀ Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun. Terakhir, usaha menengah adalah usaha dengan omzet di atas Rp2,5 miliar hingga Rp50 miliar per tahun.Ā
Klasifikasi usaha yang diatur dalam UU 20/2008 tersebut dapatĀ menjadi pertimbanganĀ pemerintah untuk menetapkan pengenaan PPh final secara lebih adil. Mengacu padaĀ klasifikasiĀ tersebut, pemerintah dapat menyesuaikan tarif PPh final berdasarkan golongan usaha yang dapatĀ diidentifikasi dari rentang omzet pelaku UMKM.Ā
Penyesuaian kebijakan PPh final ini diharapkan mampu mencerminkan kondisi usaha pelaku UMKM yang sebenarnya. Penyesuaian ini juga bisa memberikan kepastian bagi pelaku UMKM mengenai statusĀ usahanya. Ketika PPh final dibayar sesuai dengan golongan status usaha (UU 20/2008), pelaku UMKM diharapkan lebih terdorong dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.Ā
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.