Rizqa Lahuddin,
PADA 21 Juni 2023, Presiden Joko Widodo resmi menyatakan status pandemi Covid-19 telah berakhir di Indonesia. Selama 3 tahun terakhir, pandemi tersebut menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa.
Pemerintah telah berupaya membuat berbagai kebijakan dan insentif untuk memulihkan ekonomi dengan biaya yang tidak sedikit. Dengan kebijakan defisit anggaran yang selama ini dianut, biaya penanggulangan pandemi pada akhirnya harus dipenuhi sebagian dengan penambahan utang.
Walaupun telah pulih, kondisi ekonomi sebelum dan setelah pandemi tidak akan pernah sama, baik dari sisi mikro maupun makro. Bagaikan domino effect, virus berdiameter 50 nanometer itu mampu memengaruhi dan mengubah nasib miliaran orang di planet berdiameter 12.000 kilometer.
Salah satu dampak makro yang dialami pelaku industri adalah terjadinya supply chain shortage, yaitu terhambatnya arus barang karena lockdown yang terjadi pada suatu daerah, penutupan suatu fasilitas produksi untuk mencegah penularan, atau pembatasan transportasi dan mobilitas.
Konflik antarnegara, seperti antara Amerika Serikat - China dan Rusia – Ukraina, menjadi alasan lainnya terjadi supply chain shortage. Banyak yang tidak tahu bahwa sebagian besar produk olahan jagung dan gandum di Indonesia berasal dari Ukraina. Jika supply gandum terhambat, industri terkait seperti mie instan, yang konsumsinya sangat besar di Indonesia, juga terdampak.
Supply chain shortage terutama dialami oleh perusahaan multinasional yang melakukan kebijakan offshoring, baik dalam bentuk investasi langsung dan pembangunan fasilitas produksi di berbagai negara dengan upah buruh rendah maupun dalam skema outsourcing produksi barang ke perusahaan independen lokal.
Skema pembangunan fasilitas produksi di berbagai negara dengan upah buruh rendah itu banyak dilakukan pabrik otomotif Jepang di Indonesia dan India. Sementara skema outsourcing produksi seperti dilakukan perusahaan pakaian dari Eropa dan Amerika di Kamboja dan Bangladesh.
Beberapa negara bahkan memiliki spesialisasi tujuan offshoring, seperti Taiwan untuk industri sepeda dan India untuk industri software. Namun, tidak ada yang mengalahkan China sebagai negara tujuan offshoring untuk hampir semua produk. Mulai dari mainan pesawat terbang sampai pesawat terbang yang sebenarnya diproduksi di suatu tempat di China.
Suatu tempat yang menjadi tujuan offshoring bisa sangat jauh. Misalnya, sepatu olahraga yang dijual di Argentina bisa jadi diproduksi di Indonesia jika memang negara tersebut punya keunggulan seperti biaya produksi dan bahan baku yang murah.
DEMI mencegah supply chain shortage terjadi kembali, banyak perusahaan mulai memindahkan fasilitas produksinya, mencari supplier baru, atau menunjuk perusahaan manufaktur independen baru di suatu negara yang lebih dekat ke konsumen atau pasar utama produk mereka.
Hal inilah yang populer disebut sebagai nearshoring. China, yang selama ini menjadi pusat produksi berbagai barang juga sudah masuk ke fase ketika upah buruh tidak lagi murah dan tidak lagi kompetitif.
Indonesia, sejak tahun 60-an telah menjadi tujuan offshoring berbagai perusahaan yang memberikan dampak bagi kemajuan ekonomi secara langsung. Dampak itu seperti adanya pembukaan lapangan kerja serta penerimaan pajak.
Kini, dengan adanya nearshoring, banyak perusahaan multinasional mulai memikirkan untuk mencari negara alternatif yang lebih dekat dengan negara pasar utama mereka.
Misal, perusahaan asal Amerika memodifikasi global supply chain mereka dan membuka fasilitas produksi di negara seperti Meksiko serta mengurangi ketergantungan terhadap China. Perusahaan asal Eropa pun mulai melirik fasilitas produksi di negara seperti Turki, Mesir, dan negara yang relatif stabil lainnya di sekitar kawasan untuk memenuhi pasar Eropa.
Dampak nearshoring, baik yang dipicu kondisi global seperti ancaman konflik maupun kondisi lokal seperti upah buruh di kawasan industri di Indonesia yang tidak lagi murah, tentu saja akan berdampak besar pada penerimaan pajak suatu negara.
Dampak fiskal secara langsung dari hengkangnya suatu perusahaan contohnya adalah hilangnya penerimaan PPh Pasal 21 untuk semua karyawannya dan setoran PPh badan. Kinerja penerimaan PPN juga akan terpengaruh.
Penerimaan pajak dari semua supplier dan vendor serta usaha sekitar kawasan yang menggantungkan dari perusahaan tersebut bisa mengalami penurunan drastis. Bisa dibilang keputusan perusahaan multinasional melakukan nearshoring dan pindah dari Indonesia, akan memberikan domino effect.
Posisi geografis Indonesia tidak menguntungkan karena negara dengan produk domestik bruto (PDB) tinggi terdekat di Indonesia adalah Australia dan Singapura. Jepang dan Korea Selatan lebih dekat ke Vietnam dan Thailand.
Untuk mencegah pindahnya perusahaan multinasional, insentif pajak sebenarnya bisa menjadi salah satu strategi. Saat ini, hampir semua negara berlomba-lomba menggaet investor. Salah satu aspek dijual adalah fasilitas pajak.
Hal ini bisa dipahami karena ‘beban pajak’ pada satu laporan keuangan perusahaan merupakan single account biaya terbesar suatu perusahaan. Selama tarif PPh badan di Indonesia masih 22% maka komponen ‘beban pajak’ perusahaan juga sebesar 22% taxable income.
Jika ada suatu negara memberi tarif 18%, tentu saja investor langsung dengan mudah menghitung selisih laba yang bisa pemilik nikmati dalam bentuk dividen jika berinvestasi di negara dengan tarif pajak lebih rendah. Hal ini karena hanya ada satu akun ‘biaya pajak’ dan hanya ada satu jenis pembayaran PPh badan.
Saat ini, Kemenkeu telah memberikan berbagai insentif untuk menarik minat berbagai perusahaan untuk berinvestasi dan mempertahankan penanaman modal yang sudah ada di Indonesia. Insentif itu seperti tax holiday dan tax allowance.
Namun, sepertinya fasilitas ini kurang menarik di mata investor. Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat 2022 (audited), pada 2020, hanya 2 wajib pajak yang memanfaatkan tax holiday dan ada 46 wajib pajak yang memanfaatkan tax allowance. Pada 2021 justru, jumlahnya turun karena hanya ada 1 wajib pajak yang memanfaatkan tax holiday dan 34 wajib pajak yang memanfaatkan tax allowance.
Diperlukan strategi untuk ‘memasarkan’ program insentif tersebut. Mengamanatkan strategi kepada kantor pelayanan pajak (KPP) sangat sulit karena dengan adanya wajib pajak yang mendapat fasilitas, penerimaan pajak di KPP tersebut akan berkurang.
Konsultan pajak sebagai pihak eksternal juga tidak akan mendapat pendapatan dari client yang tidak perlu membayar pajak karena fasilitas. BKPM pun tidak memiliki unit teknis yang berada di berbagai kota dan sumber daya manusia yang memahami bisnis wajib pajak seperti di KPP.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antarlembaga untuk dapat mengajak pengusaha memanfaatkan insentif. Jika fenomena nearshoring ini terus berlanjut, penerimaan pajak juga akan tergerus.
Insentif pajak bisa menjadi salah satu cara untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang kompetitif untuk penanaman modal dan menjaga penerimaan negara agar tidak mengalami penurunan lebih dalam.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.