Muhammad Harmaen Pasha,
KEINDAHAN langit ibu kota kian jarang bisa dinikmati akibat gumpalan gas yang menyelimutinya. Selain menutupi keindahan langit, kabut akibat polusi itu membawa racun yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Situasi itu muncul sebagai dampak dari aktivitas ekonomi penduduk. Ada pendapat yang menyatakan situasi itu merupakan akibat dari masifnya penggunaan kendaraan bermotor di jalanan ibu kota. Muncul juga pendapat adanya pembakaran batu bara di PLTU sekitar wilayah Jakarta.
Dari kedua pendapat tersebut, dapat ditarik benang merahnya. Penyebab utama dari kondisi yang terjadi di ibu kota adalah emisi karbon. Emisi karbon itu, baik dari penggunaan kendaraan bermotor maupun aktivitas PLTU.
Pada tingkat dunia, Indonesia merupakan salah satu kontributor terbesar emisi gas rumah kaca, yakni 965,3 MtCO2e (World Resource Institute, 2020). Emisi ini akan naik secara drastis seiring dengan dihapuskannya pembatasan aktivitas pascapandemi Covid-19.
Atas situasi tersebut, pemerintah berupaya menciptakan ekosistem ramah lingkungan. Salah satu instrumen yang dipakai sebagai respons kebijakan adalah pajak. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 38 Tahun 2023, pemerintah memberikan insentif pajak.
Insentif pajak itu berupa PPN ditanggung pemerintah (DTP) untuk penyerahan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB). Adapun besaran PPN DTP tersebut diatur secara proporsional sesuai dengan nilai komponen dalam negeri (TKDN) dari kendaraan tersebut.
Tujuannya baik, yakni mengatalisasi transisi energi untuk memitigasi dampak emisi karbon di Indonesia. Namun, penulis menilai kebijakan ini tidak berjalan efektif. Tidak hanya itu, kebijakan ini turut memunculkan risiko permasalahan baru.
Tingginya harga KBLBB dinilai tidak sesuai dengan kantong orang Indonesia pada umumnya. Terlebih, kondisi ekonomi tengah tidak stabil dengan bayang-bayang inflasi. Hal ini membuat insentif pajak menjadi kurang relevan pada keadaan sekarang ini.
Alhasil, para pembeli KBLBB justru merupakan orang-orang yang cenderung memiliki kekuatan ekonomi tinggi sehingga kendaraan tersebut hanya dijadikan cadangan atau sampingan. Implikasinya, terjadi peningkatan jumlah kendaraan di jalanan.
Peningkatan volume kendaraan di jalanan justru akan memperburuk masalah. Polusi pun tetap terjadi. Oleh karena itu, jika ingin memberikan insentif PPN, pemerintah sebaiknya fokus pada KBLBB yang digunakan sebagai kendaraan umum.
PENGGUNAAN KBLBB juga belum dapat efektif sebagai solusi atas permasalahan lingkungan di Indonesia pada saat ini. Hal ini dikarenakan sumber energi listrik Indonesia masih didominasi hasil PLTU (sebanyak 45,44% dari total kapasitas terpasang pembangkit listrik (Databoks, 2022)).
Seperti kita ketahui sendiri, penggunaan energi hasil PLTU itu tetap saja menimbulkan emisi karbon akibat pembakaran batu bara di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan yang lebih on-point dalam melakukan mitigasi atas masalah emisi karbon.
Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan mengenakan pajak atas emisi karbon yang dihasilkan. Dengan demikian, perusahaan polluter dapat menanggung biaya eksternalitas negatif dari kegiatan ekonominya (polluter-pays-principle).
Pasal 13 UU Nomor 7 Tahun 2021 telah mengamanatkan adanya penerapan pajak karbon. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon.
Pemerintah menerapkan mekanisme cap-and-tax, yakni perpaduan antara pasar karbon dengan pajak karbon. Pemerintah akan menetapkan cap emisi suatu sektor sehingga pajak yang dibayarkan hanya selisih antara karbon yang dihasilkan dengan cap. Selain itu, ada pula skema jual-beli kredit karbon.
Namun, menurut penulis, mekanisme tersebut kurang efektif untuk diterapkan di Indonesia dikarenakan beberapa faktor. Pertama, mekanisme tersebut cenderung memiliki tingkat kesulitan administratif yang tinggi. Sistem administrasi perpajakan di Indonesia dirasa belum siap untuk mengakomodasinya.
Selain itu, mekanisme cap-and-tax juga tidak memungkinkan Indonesia untuk mengestimasi potensi penerimaan dari pemajakan tersebut. Dengan adanya pajak karbon, pemerintah seharusnya bisa mendapat tambahan penerimaan negara.
Negara belum memiliki ruang gerak leluasa untuk membiayai proyek-proyek mitigasi permasalahan lingkungan, seperti pengembangan energi terbarukan dalam rangka transisi energi. Dengan demikian, pajak karbon dirasa lebih efektif dalam konteks menambah penerimaan sehingga ada alternatif dana untuk membiayai proyek-proyek tersebut secara optimal.
Pembahasan mengenai mekanisme pajak karbon merupakan topik menarik yang perlu menjadi perhatian utama dalam diskursus politik kenegaraan, termasuk para peserta pemilihan umum (pemilu) 2024.
Mengingat adanya urgensi dari masalah lingkungan pada saat ini, tidak salah jika dikatakan bahwa topik ini dapat menjadi difference maker dalam rangka mendulang suara pada kontestasi pemilu 2024.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.