Yusuf Alaidrus Hidayatullah,
KONTESTASI politik Indonesia akan memasuki babak baru. Pemilihan anggota legislatif, presiden, dan kepala daerah bakal dilakukan serentak pada 2024.
Meskipun baru dilaksanakan pada tahun depan, gaung euforia pemilihan langsung sudah mulai menggema di seluruh nusantara. Berbagai gagasan ekonomi bermunculan sebagai program andalan para kandidat.
Bagaimana menjadikan Indonesia mandiri dalam pengisian pundi-pundi APBN? Bagaimana menyiapkan langkah strategis untuk menghimpun penerimaan pajak? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa saja diangkat sebagai program andalan para calon kontestan pemilu. Jika dibedah secara lebih spesifik, program kerja yang disiapkan bisa mencakup strategi menghimpun penerimaan pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), dan beberapa jenis pajak domestik lainnya.
Meskipun demikian, isu perpajakan sebenarnya tidak terbatas pada strategi mengumpulkan pajak pada lingkup domestik saja. Lebih luas lagi, isu perpajakan juga mencakup strategi Indonesia untuk memastikan penerimaan pajak yang seharusnya terutang di Indonesia tidak diakuisisi yurisdiksi lain.
Pajak minimum global sebesar 15% yang akan dikenakan kepada grup perusahaan multinasional telah disepakati oleh yuriadiksi-yurisdiksi anggota Inclusive Framework dari The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), termasuk Indonesia.
Kebijakan tersebut memang bersifat common approach, yang artinya suatu yurisdiksi tidak wajib untuk menerapkan pajak minimum global. Namun, jika suatu yurisdiksi memilih untuk menerapkannya maka harus dilakukan secara konsisten sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati bersama.
Dalam hal yurisdiksi memilih untuk tidak menerapkannya maka yurisdiksi tersebut harus menerima ketentuan bahwa yurisdiksi lain akan menerapkan pajak minimum global sehingga akan memengaruhi penerimaan pajak dari grup perusahaan multinasional di yurisdiksi tersebut.
Lantas, mengapa isu ini penting bagi Indonesia?
Pertama, Indonesia saat ini tengah membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota baru. Karenanya, negara membutuhkan keterlibatan investasi asing. Terkait dengan hal tersebut, penerapaan pajak minimum global di Indonesia sebesar 15% akan membatasi berbagai skema insentif perpajakan yang ada sebagai magnet investasi di Indonesia.
Kedua, terdapat pro dan kontra di pemerintahan saat ini terkait dengan aspek kebijakan perpajakan. Indonesia merupakan satu dari 20 yurisdiksi yang menjadi Global Forum’s Steering Group OECD periode 2023-2025. Hal ini akan membatasi ruang gerak Indonesia sebagai suatu yurisdiksi untuk menunda atau tidak menerapkan pajak minimum gloal yang telah disepakati. Sementara dari sisi investasi, Indonesia masih membutuhkan dana pembangunan IKN dengan skema insentif sebagai magnetnya.
Ketiga, kebijakan Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) sebagai upaya pencegahan pengenaan pajak grup perusahaan multinasional di luar yurisdiksi tetap akan membatasi pemberian insentif perpajakan sebagai daya tarik investasi.
Keempat, isu penundaan penerapan pajak minimum global juga telah diangkat di KTT Asean tahun ini di Jakarta.
Kemudian, apa strategi yang bisa ditawarkan kepada para kontestan pemilu 2024 agar penerimaan pajak di Indonesia tidak tergerus akibat penerapan pajak minimum global?
Pertama, Indonesia tetap menerapkan pajak minimum global pada 2024 dengan kosekuensi pemberian skema insentif perpajakan menjadi terbatas. Strategi ini akan lebih mudah bagi Indonesia sebagai salah satu yurisdiksi yang secara formal telah menyepakati ketentuan pajak minimum global di tingkat Inclusive Framework OECD.
Tantangan selanjutnya, berkaitan dengan iklim investasi yang perlu dijaga agar modal pembangunan IKN bisa terpenuhi. Di sinilah strategi para kontestan akan diadu dalam menciptakan iklim investasi yang baik tanpa ketergantungan insentif perpajakan sebagai magnet.
Koordinasi antarkementerian atau lembaga sangat dibutuhkan, tidak hanya dari Kementerian Keuangan yang menaungi Ditjen Pajak dan Badan Kebijakan Fiskal sebagai insitusi yang menerima delegasi untuk membuat peraturan perpajakan di Indonesia.
Kementerian Investasi/ Badan Koordinasi Pasar Modal (BKPM) pun mendapat tugas besar dalam menciptakan iklim investasi Indonesia yang lebih kondusif. Saat ini ease of doing business Indonesia berada di peringkat ke-73, masih kalah dari Vietnam, Brunei Darussalam, Thailand, Malaysia, dan Singapura. Peningkatan iklim investasi yang kondusif sangat diperlukan agar Indonesia memiliki taring kuat dalam menarik investasi asing tanpa perlu insentif pajak berlebih.
Kedua, dalam hal Indonesia memang masih membutuhkan skema insentif perpajakan sebagai magnet untuk menarik investasi untuk pembangunan IKN, strategi penundaan implementasi pajak minimum global merupakan langkah tepat. Namun, apakah bisa jika hanya dilakukan Indonesia secara individu?
Penundaan implementasi pajak minimum global hanya akan efektif dilakukan jika ada kesepakatan dari banyak negara, terutama negara berkembang seperti negara-negara di Asia dan Afrika yang masih membutuhkan insentif perpajakan dalam menarik investasi. Lobi-lobi internasional dan peningkatan kerja sama regional sangat dibutuhkan sebagai langkah bersama menunda penerapan kebijakan pajak minimum global.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.