Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Setelah sekian dekade reformasi pajak berjalan di Indonesia, pemerintah akhirnya berinisiatif menerbitkan 'Piagam Wajib Pajak' atau 'Taxpayers Charter'.
Taxpayers charter berisi kodifikasi dan penyederhanaan atas hak dan kewajiban wajib pajak yang selama ini ketentuannya tersebar di ratusan regulasi, mulai dari peraturan menteri keuangan (PMK) hingga Undang-Undang (UU). Piagam tersebut akan berisi 8 hak dan 8 kewajiban wajib pajak.
Sederhananya, wajib pajak bisa mengacu kepada taxpayers charter untuk mengetahui apa saja hak yang diperolehnya dan kewajiban yang harus dijalankan.
Di lingkup global, taxpayers charter sudah diadopsi oleh banyak yurisdiksi. Keberadaan piagam atau charter di berbagai negara memiliki sejarah panjang sebagai bagian dari upaya menyeimbangkan kekuasaan pemerintah dengan hak-hak warga negara. Dalam konteks pajak, kekuasaan yang perlu diseimbangkan adalah antara otoritas dengan wajib pajak.
Cadesky, Hayes, dan Russel (2015) menyebutkan bahwa pengakuan dan pencantuman hak-hak wajib pajak secara komprehensif dalam regulasi sebuah negara akan berkontribusi positif terhadap persepsi keadilan dalam sistem pajak.
Lahirnya taxpayers charter telah didahului rentetan sejarah yang berkaitan perjuangan dengan hak-hak dasar manusia. Jika dirunut jauh ke belakang, asal muasalnya adalah diterbitkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB pada 1948 (Young, 2017). Momentumnya tidak jauh setelah Perang Dunia II.
Lantas pada 1950, melanjutkan spirit Deklarasi Universal HAM oleh PBB, European Council mengadopsi Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR). Ada sejumlah aspek hak asasi manusia yang disebut di dalamnya, termasuk hak bagi suatu negara untuk memungut pajak demi kesejahteraan rakyat.
Kedua dokumen tersebut menjadi landasan utama dalam pengembangan taxpayers charter di masa modern. Baik Deklarasi Universal HAM dan ECHR sama-sama menetapkan prinsip bahwa setiap orang berhak atas kepemilikan harta benda mereka sendiri yang tidak bisa dirampas kecuali oleh hukum.
Meski tidak ada penyebutan secara eksplisit mengenai hak-hak wajib pajak di dalam dokumen PBB, ECHR secara terbuka menyatakan bahwa setiap negara memiliki hak yang sama untuk memungut pajak. Namun, piagam tersebut masih terbatas mengatur hak-hak negara sebagai pemungut pajak, belum menyentuh hak-hak rakyat yang harus membayar pajak.
Berselang 3 dekade, pengakuan terhadap hak-hak wajib pajak baru muncul melalui taxpayers charter yang pertama kali dikenalkan oleh Inggris pada 1986.
Taxpayers charter di Inggris lahir dilatarbelakangi buruknya pelayanan petugas pajak terhadap wajib pajak saat itu. Misalnya, surat dari wajib pajak yang tidak dibalas atau telepon yang jarang diangkat petugas.
Kemudian pada 1990, OECD menerbitkan sebuah laporan yang merekomendasikan negara-negara anggotanya mengadopsi dokumen taxpayers charter. Dalam laporannya, OECD menguraikan taxpayers charter sebagai upaya untuk meringkas secara lugas hak dan kewajiban wajib pajak sehingga lebih mudah dipahami.
Yang perlu dicatat, masih sesuai dengan rekomendasi OECD, setiap yurisdiksi perlu memastikan taxpayers charter yang disusun sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pemenuhan hak wajib pajak yang tertuang dalam undang-undang di masing-masing negara.
Perlu dipahami, taxpayers charter bisa jadi bukan merupakan bagian dari regulasi yang lebih dulu mengatur mengenai hak-hak wajib pajak. Di beberapa yurisdiksi, taxpayers charter diatur terpisah dari penegasan hak dan kewajiban wajib pajak di undang-undang.
Ada beberapa aspek yang perlu dimasukkan dalam daftar hak-hak wajib pajak. Kokott dan Pistone (2022) menyampaikan bahwa salah satu hak wajib pajak yang tidak boleh luput adalah hak untuk didengar. Dalam administrasi pajak, hak untuk didengar tidak hanya mencakup hak bagi wajib pajak untuk berpendapat, tetapi juga kewajiban otoritas pajak untuk mempertimbangkan pendapat tersebut.
Selain itu, taxpayers charter harus diterbitkan secara transparan. Young (2017) menekankan bahwa taxpayers charter mesti mengedepankan kemudahan akses bagi publik. Artinya, siapapun, baik petugas pajak atau wajib pajak bisa mengakses dan memahami isi dari taxpayers charter dengan mudah.
Pada akhirnya, hak-hak wajib pajak mestinya memang tidak sekadar tercantum dan tersebar dalam ratusan produk hukum, tetapi juga ditegaskan ke dalam sebuah rumusan yang sederhana. Kebijakan DJP yang segera menerbitkan taxpayers charter perlu diapresiasi sebagai bagian dari strategi positif dalam membangun kesadaran dan kepatuhan pajak.
Baca juga, Majalah Inside Tax 'Hak Wajib Pajak yang Terlupakan'.
(sap)