Haris Fifta Putra,
YOU will get all you want in life, if you help enough other people get what they want. Kalimat yang dipopulerkan oleh Zig Ziglar, motivator kondang asal Amerika Serikat, tersebut bisa jadi kunci kemenangan bagi calon presiden (capres) yang akan bertarung di kontestasi politik 2024 mendatang.
Capres mendatang harus mampu menjembatani hajat orang banyak, tidak hanya di Pulau Jawa saja, tetapi mencakup seluruh penjuru Tanah Air. Salah satu pokok pembahasan sensitif yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, yakni terkait dengan kebijakan perpajakan yang dihubungkan dengan isu kesenjangan ekonomi antardaerah di Indonesia.
Kesenjangan ekonomi selalu jadi persoalan yang tak kunjung usai walau negeri ini telah mengalami pergantian presiden beberapa kali. Menurut Credit Suisse (2017), Indonesia masuk ke dalam kelompok 4 besar negara di dunia dengan tingkat ketimpangan ekonomi tertinggi. Posisi Indonesia hanya lebih baik dari Rusia, India, dan Thailand.
Sangat miris, 1% orang terkaya di Indonesia tercatat menguasai 49,3% perekonomian nasional. Parahnya ketimpangan ekonomi juga tergambar dari perputaran uang nasional yang terpusat di DKI Jakarta, yani hingga 70% dari total uang beredar (Bhima, 2021).
Sebagai negara kepulauan, tak dapat dipungkiri jika terjadi ketimpangan pertumbuhan ekonomi antardaerah yang satu dengan daerah lainnya di Indonesia. Bahkan, lebih dari setengah volume perekonomian nasional bersumber dari Pulau Jawa. Hal ini ditunjukkan dari data Badan Pusat Statistik (2018) yang mencatat 5 provinsi dengan skala ekonomi terbesar secara berurutan adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Riau. Selisih Jawa Tengah dengan Riau yang posisinya beriringan di 5 besar bahkan hampir separuhnya, yakni Rp 1.269 triliun berbanding Rp 755 triliun.
Zonasi Pajak sebagai Solusi Pemerataan Ekonomi
Pemilu 2024 dapat menjadi momentum yang tepat bagi capres untuk menunjukkan gagasannya akan solusi pemerataan ekonomi di Indonesia. Kebijakan ke depan harus dapat menggeser porsi ekonomi yang saat ini terpusat di Jawa agar menyebar ke daerah lainnya.
Langkah ini juga sebagai tanggapan atas laporan Henley Global Citizens (2022) yang mengungkapkan bahwa perbedaan tarif pajak antarnegara dapat menimbulkan eksodus besar-besaran orang kaya ke negara lain yang pajaknya lebih rendah. Sebagaimana negara Inggris yang diperkirakan akan terjadi arus keluar miliuner sebanyak 1.500 orang, Indonesia juga diperkirakan akan ditinggalkan 600 orang kayanya ke negara lain.
Peristiwa eksodus orang kaya ke luar negeri dapat ditangani dengan adanya penerapan zonasi pajak. Asumsinya, daripada orang kaya Indonesia migrasi ke negara lain yang lebih rendah tarif pajaknya, alangkah baiknya jika mereka digiring untuk migrasi ke daerah lain di wilayah Indonesia yang lebih rendah tarif pajaknya.
Program zonasi pajak memungkinkan wilayah Indonesia yang tertinggal, semisal wilayah bagian timur, menjadi sasaran lokasi pusat ekonomi baru melalui keringanan tarif pajak. Penerapan zonasi pajak tersebut dapat dilakukan pada jenis pajak pusat yang pemberlakuannya secara nasional seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).
Pertama, zonasi yang menyasar jenis PPh. Zonasi pajak jenis ini memungkinkan melalui pemberian insentif pemotongan pajak penghasilan, semisal terkait dengan PPh Pasal 21 bagi wajib pajak orang pribadi yang tinggal di wilayah Papua, Maluku, dan Sulawesi.
Implementasi dapat berupa pemberian insentif pajak terhadap tarif normal PPh 21 sehingga menghasilkan ketetapan pajak yang lebih rendah dari tarif nasional. Alternatif kedua, mengubah layer tarif PPh 21 yang berjenjang. Misalnya, tarif paling bawah yang saat ini sebesar 5% dapat diubah menjadi 3%, hingga tarif tertinggi yang sebesar 35% dapat diturunkan menjadi 25%. Alternatif ketiga, berupa kenaikan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP).
Begitupun juga dengan badan usaha yang diatur melalui PPh Pasal 25, perlu adanya diskon pajak bagi perusahaan yang terletak di wilayah Indonesia bagian timur. Diskon pajak tersebut dapat dikurangkan dari tarif normal PPh 25.
Sebagaimana tarif PPh 25 yang sejak 2022 ditetapkan sebesar 22% berdasarkan UU HPP, alternatif berikutnya dapat pula berupa penambahan layer berjenjang yang lebih rendah dari tarif normal PPh 25, semisal menjadi 15%, 17%, 19% dan 21%. Kebijakan tersebut diterapkan sesuai dengan kelompok wilayah berdasarkan skala ekonominya, seperti Papua dan Sulawesi akan berbeda tarifnya.
Kedua, zonasi yang menyasar jenis PPN. Setiap aktivitas ekonomi yang menjadi objek PPN di wilayah Indonesia bagian timur dapat diberi keringanan PPN. Sebagaimana UU HPP yang menetapkan tarif PPN menjadi 11% sejak 2022, dapat dilakukan zonasi berupa pembagian layer tarif baru berdasarkan daerahnya. Misalnya, Indonesia wilayah barat dikenai tarif 9%, atau wilayah timur sebesar 7%.
Alternatif kedua, berupa pemberian diskon pengurangan PPN yang besarannya berbeda antardaerah. Alternatif ketiga, berupa pembebasan PPN bagi transaksi tertentu yang bersifat sangat penting dalam menunjang pembangunan daerah seperti pembelian traktor, alat pertanian, kendaraan logistik, dan lain sebagainya.
Program zonasi pajak yang merupakan bagian dari asas equality (keadilan) ini dapat menjadi senjata andalan bagi capres mendatang. Kontestasi politik tahun 2024 ibarat perlombaan merebut hati seluruh masyarakat Indonesia. Fokus tidak seharusnya pada Pulau Jawa saja, tetapi mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Karenanya, pembahasan solusi atas isu pemerataan ekonomi melalui penerapan zonasi pajak merupakan masterpiece langkah bidak catur politik yang sangat brilian dalam memenangkan pemilu 2024. (sap)
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
Baca artikel-artikel menarik terkait dengan pajak dan politik di laman khusus Pakpol DDTCNews: Suaramu, Pajakmu.