LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Dua Sisi di Balik Kenaikan PTKP

Redaksi DDTCNews
Rabu, 02 Januari 2019 | 11.58 WIB
ddtc-loaderDua Sisi di Balik Kenaikan PTKP
Melya Agustin,
S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Semarang.

SEBAGAI negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia, Indonesia menyimpan potensi yang besar dalam penerimaan pajak. Namun, selama satu dekade terakhir, target penerimaan pajak tidak pernah terealisasi. Pada saat yang bersamaan, pemerintah juga telah beberapa kali menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Nyatanya, dalam bursa pemilihan calon presiden periode 2019-2024, tawaran kebijakan kenaikan batas PTKP kembali muncul.

Jika melihat sejarahnya, terhitung sejak 1983, saat pertama kali Undang-Undang Pajak Pajak Penghasilan (UU PPh) muncul, Indonesia telah melakukan penyesuaian PTKP sebanyak delapan kali. Tiga diantaranya terjadi dalam enam tahun terakhir, yakni pada 2013, 2015, dan 2016. Persentase kenaikannya pun terbilang sangat signifikan. Dampak utama dari langkah tersebut tentu berada pada peluang penggerusan penerimaan atau peningkatan penerimaan pajak.

Telah banyak riset yang menempatkan kenaikan PTKP sebagai variabel independen dan penerimaan pajak sebagai variabel dependen. Susanti dan Andi (2018) mengungkapkan ketika batas PTKP mengalami kenaikan maka penerimaan PPh 21 akan mengalami penurunan. Riset tersebut juga didukung oleh Lewa dkk. (2018) yang menyatakan bahwa perubahan PTKP menurunkan capaian realisasi PPh.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 162/PMK.011/2012, PTKP pada 2013 naik 53,41% menjadi Rp24,3 juta per tahun. Namun, target PPh 21 pada tahun itu senilai Rp101,9 triliun atau 22% dari PPh nonmigas berdasarkan APBNP tidak tercapai. Realisasi penerimaan hanya 88,47% atau senilai Rp90,2 triliun.

Tidak tercapainya target pajak tersebut disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat dan kenaikan PTKP itu sendiri. Pasalnya, penyesuaian batas PTKP yang semakin besar akan menurunkan penghasilan kena pajak (PKP), yang pada gilirannya telah memangkas potensi penerimaan pajak dibandingkan dengan kondisi sebelum ada penyesuaian.

Nyatanya, langkah serupa juga diambil pada tahun-tahun selanjutnya. Perlambatan ekonomi, pelemahan daya beli masyarakat, serta penyesuaian upah minimum provinsi mendorong pemerintah mengerek lagi batas PTKP yang efektif per 1 Januari 2015. Mulai saat itu, PTKP meningkat 48,15% menjadi Rp36 juta per tahun. Bersamaan dengan hal tersebut, target penerimaan pajak tahun anggaran 2015 juga tidak tercapai. Realisasi PPh 21 hanya mampu mencapai 90,27% dari target atau mencatatkan pertumbuhan 8,36% dari tahun sebelumnya.

Tidak berhenti di sana, pada pertangahan 2016, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016. Berdasarkan ketentuan tersebut, batas PTKP kembali naik 50% menjadi Rp 54 juta per tahun. Namun, capaian realisasi penerimaan PPh 21 pada 2016 hanya 84,39% atau turun 4,65%. Kebijakan menaikkan batas PTKP tersebut juga dinilai telah menggerus penerimaan negara sekitar Rp18 triliun.

Stimulus Daya Beli

Di sisi lain, penyesuaian batas PTKP juga berdampak pada ekonomi secara makro. Sebagai sumber pendapatan terbesar selama hampir satu dekade ini, kebijakan fiskal, terutama yang menyangkut dengan pajak memerankan peran penting dalam perekonomian negara. Bisa dipahami, salah satu latar belakang adanya kenaikan PTKP adalah rendahnya daya beli masyarakat. Apalagi, konsumsi masyarakat selama ini masih menjadi penopang utama produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Kenaikan PTKP di tengah kebijakan penyesuaian harga bahan bakar minyak pada 2013 dan 2014, misalnya, mampu menunjukkan dampak positif. Pertumbuhan ekonomi 2013 dan 2014 masing-masing mencapai 5,56% dan 5,02%. Pemerintah menyadari lesunya perekonomian global membuat setiap negara perlu menstimulus komponen PDB yang berasal dari internal negara. Komponen tersebut terutama menyangkut investasi dan konsumsi masyarakat.

Kenaikan PTKP pada 2015 berdampak pada konsumsi rumah tangga. Pada akhir kuartal IV/2015 salah satu komponen dalam PDB itu tumbuh 4,92%. Meskipun di bawah 5%, konsumsi rumah tangga menjadi kontributor terbesar dalam PDB dengan nominal sumbangan mencapai Rp6.453,2 triliun atau 55,92%.

Dengan demikian, kenaikan PTKP mengakibatkan dua dampak yang berbeda. Pada satu sisi, kenaikan PTKP menghambat realisasi pertumbuhan penerimaan pajak. Tingginya batas PTKP menyebabkan nilai PKP menurun sehingga mengurangi potensi penerimaan pajak. Namun, di sisi lain, kenaikan PTKP mampu mendorong perekonomian melalui peningkatan daya beli masyarakat.

Alokasi pendapatan yang semula berada di pos fiskal, dialihkan untuk memberikan stimulus konsumsi rumah tangga yang merupakan indikator kesejahteraan masyarakat dan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi. Kerugian penerimaan pajak akibat penyesuaian PTKP akan terkompensasi melalui pajak atas konsumsi yakni PPN dan PPnBM. Dengan demikian, tawaran kenaikan PTKP oleh calon pemimpin Indonesia pada 2019-2024 juga pantas untuk diperhatikan. *

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.