LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Reformasi Pajak Versus Korupsi Pajak

Redaksi DDTCNews
Jumat, 28 Desember 2018 | 19.29 WIB
ddtc-loaderReformasi Pajak Versus Korupsi Pajak

Aswan,

S1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar

PAJAK merupakan urat nadi pembangunan negara. Tanpa pendapatan dari pajak, sebuah negara tidak dapat melaksanakan fungsinya untuk mensejahterakan rakyat. Dalam postur APBN 2018, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun.

Jumlah tersebut berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618, 1 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp275,4 triliun dan hibah Rp1,2 triliun. Data ini menunjukkan bahwa sektor perpajakan memiliki peran vital bagi kehidupan suatu negara.

Berbagai strategi peningkatan penerimaan pajak telah diterapkan pemerintah. Selain penambahan jumlah wajib pajak, juga dilakukan penyederhanaaan sistem pajak melalui revisi undang-undang perpajakan. Selain itu, juga pencairan tunggakan melalui perbaikan frekuensi dan mutu penagihan.

Upaya yang dilakukan aparatur perpajakan melalui berbagai kebijakan reformasi pajak diharapkan dapat mengoptimalkan pendapatan pajak. Namun, realisasinya banyak menghadapi kendala terutama berkaitan dengan tingkat kepatuhan dan kesadaran wajib pajak dan aparat pajak sendiri.

Masih terjadi kebocoran dalam realisasi penerimaan pajak dan penyetoran uang pajak ke kas negara, terutama yang dilakukan aparatur perpajakan melalui berbagai skandal mafia dan korupsi pajak yang semakin marak dewasa ini.

Korupsi di sektor perpajakan menjadi perhatian publik sejak mencuatnya kasus korupsi yang dilakukan oleh dua oknum petugas pajak, yakni Gayus Halomoan Tambunan dan Dhana Widyatmika. Dua kasus ini membuka ‘kotak Pandora’ praktik korupsi pajak yang selama ini hanya menjadi rahasia umum.

Institusi penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengidentifikasi sektor perpajakan sebagai sektor pemerintahan yang rawan untuk terjadinya tindak pidana korupsi.

Korupsi pajak merupakan tindak pidana yang menggurita karena dampaknya yang menggoyahkan sendi kehidupan ekonomi, mengganggu redistribusi pendapatan, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Skandal mafia dan korupsi pajak berpengaruh signifikan terhadap pembangunan ekonomi.

Simanjuntak (2012) menyatakan korupsi pajak mengakibatkan ketidakefisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan keuangan negara, tidak mendorong perusahaan berusaha dan ketidakstabilan politik.

Karena itu, ada beberapa hal yang ingin disampaikan di sini. Pertama, apakah mekanisme dan prosedur penegakan hukum di sektor perpajakan selama ini telah efektif dan efisien dalam mencegah dan memberantas korupsi di sektor perpajakan?

Kedua, apakah kendala yang dihadapi penegak hukum dan pemerintah dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor perpajakan? Dan ketiga,bagaimanakah konsepsi yang tepat dalam pemberantasan dan pencegahan korupsi di sektor perpajakan?

Mekanisme pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di sektor pajak dilakukan pemerintah melalui dua instrumen, yakni Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2011 dan InpresNomor 17 Tahun 2011.

Untuk melaksanakan Inpres Nomor 1 Tahun 2011, pemerintah melakukan antara lain menanganin kasus-kasus penyimpangan pajak hingga tuntas di pengadilan, peningkatan peran justice collaborator dan whistle blower untuk mengungkap perkara.

Kemudian menelusuri aset hasil kejahatan untuk dapat disita oleh negara, dan membenahi secara sistematis pengelolaandi berbagai instansi pemerintah agar pada masa mendatang tidak terjadi lagi penyimpangan pajak.

Upaya pemerintah guna mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi pajaktelah dilakukan, namun masih menghadapiberbagai kendala. Misalnya, pertama, kendala yuridis, yakni penerapan asas lex specialis systematic pada peraturan perundang-undangan perpajakan.

Hukum pajak yang rumit dan cepat berubah, serta penanganan perkara tindak pidana korupsi di sektor perpajakan yang seringkali berbenturan dengan putusan peradilan pajak, dengan sendirinya menimbulkan kompleksitas penyelesaian perkara.

Kedua, kendala dalam penerapan whistleblowing system di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan penegakan disiplin pegawai, penegakan disiplin pegawai.Ketiga, kendala penyidikan kasus korupsipajak, di mana penyidikannya tidak bisa berlangsung cepat.

Keempat, kendala dalam pengenaan sanksi pidana terhadap pelaku korupsi pajak. Baik dalam hal penerapan sanksi di UU Pajak, dan dalam penerapan sanksiterkait dengan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi.

Untuk menyelesaikan kendala-kendala tersebut, diperlukan konsepsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsiyang efektif. Hal ini bisa ditempuh melalui pengefektifan peran penyidik pajak dalam menemukan unsur tindak pidana korupsi.

Kemudian pengaturan mekanisme whistleblowing system dan justice collaboratordalam sistem peradilan pidana pajak,maksimalisasi penerapan whistle blowingsystem di Ditjen Pajak, perampasan aset koruptor dan pembuktian terbalik, serta penggunaan rezim hukum anti pencucian uang.

Kelanjutan reformasi perpajakan tentu harus menjadi agenda utamapemerintahan ke depan. Hanya dengan reformasi pajak, target penerimaan pajak 2018 sebesar Rp1.423,9 triliun dan targettax ratio sebesar 12% bisa tercapai.

Penerimaan tersebut perlu diberikan pengawasan dan transparansi, supaya tidak memberikan celah besar untuk korupsi dalam APBN. Langkah pertama dalam reformasi pajak pada tahun depan adalah melalui pemberantasan dan pencegahan korupsi di sektor perpajakan.

Pelaksanaan kelanjutan reformasi pajak pascapemilu harus didukung pemberantasan korupsi pajak guna mengoptimalkan penerimaan. Dan upaya pencegahan serta pemberantasan korupsi tersebut harus diprioritaskan.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.