PAJAK, mengutip Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung, dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sejatinya, pajak adalah kontrak sosial antara masyarakat dan pemerintah. Interaksi keduanya muncul karena peran yang saling berhubungan. Masyarakat berperan sebagai pembayar pajak. Sementara, pemerintah sudah dapat dipastikan sebagai pemungut pajak itu sendiri. Dengan demikian, tidak berlebihan jika penghormatan terhadap hak dua pihak ini dianggap menjadi aspek yang krusial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, hak adalah milik, kepunyaan, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah memperoleh penetapan undang-undang atau kekuasaan yang benar untuk menuntut sesuatu. Jika dimasukkan dalam konteks perpajakan, hak pemerintah jelas mendapatkan penerimaan pajak. Sementara, hak masyarakat terkait dengan pelaksanaan pembayaran pajak itu sendiri karena tidak ada imbalan langsung.
Hak wajib pajak (WP) dalam sistem perpajakan sering menjadi berita hangat. Ini terjadi karena WP merasa hak mereka belum benar-benar terpenuhi. Salah satu hak tersebut adalah pengetahuan. Maklum, dalam sistem pemungutan pajak self assessment, pengetahuan mutlak diberikan. Sistem itu pada gilirannya membuat WP melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mandiri.
Dengan sistem self assessment, WP diberikan kewenangan, tanggung jawab, dan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besaran pajak yang harus dibayarkan. Sistem ini memiliki sisi positif karena fiskus memberikan kepercayaannya kepada WP. Namun, ada sisi negatifnya karena WP perlu mengeluarkan uang, waktu, atau usaha lebih dengan membayar jasa konsultan pajak.
Dalam hal sederhana saja, hingga saat ini, masih ada kelompok masyarakat yang masih kebingungan dalam mengisi SPT secara online. Ditambah lagi, banyak ketentuan terkait pajak yang rumit dan sering berubah. Kondisi-kondisi ini pada gilirannya membuat cost of compliance lebih tinggi.
Tidak sedikit pula WP yang salah dalam mengisi SPT dan berujung pada sanksi karena dianggap melanggar pasal 13AÂ Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam pasal tersebut, WP berisiko dikenai sanksi administrasi sebesar 200% karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tapi isinya tidak benar/ tidak lengkap.
Hak lain yang belum sepenuhnya diperoleh WP adalah hak mendapatkan kompensasi atas pembayaran pajak. WP memahami memang tidak ada balasan langsung dari pembayaran pajak. Namun, ada amanat penggunaan pajak yang bermuara pada kemakmuran rakyat. Dalam konteks ini, ada hak untuk memastikan pelaksaaan ini tepat sasaran. Ketepatan ini bisa dirasakan dari sisi pembangunan fasilitas dan layanan umum.
Sejalan dengan aspek tersebut, transparansi pengelolaan fiskal menjadi bagian yang tidak terpisahkan. Kasus korupsi berjamaah yang dilakukan anggota DPRD Malang dan beberapa pejabat publik lainnya justru mencederai kepercayaan publik. Sayangnya, kejadian-kejadian itu membentuk persepsi negatif WP terhadap pajak itu sendiri. Akibatnya, kepatuhan WP masih belum maksimal.
Kepatuhan formal – melihat pelaporan surat pemberitahuan (SPT) tahunan – WP Indonesia masih bisa disebut masih rendah. Meskipun meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kepatuhan formal pada 2017 hanya mencapai 72,60%. Jumlah WP terdaftar pada periode itu sebanyak 38,65 juta. Dari jumlah tersebut, WP terdaftar wajib SPT sebanyak 17,22 juta.
Pada saat yang bersamaan, tax ratio pada 2017 sebesar 10,7%, terendah sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2014. Tax ratio pada 2014, 2015, dan 2016 masing-masing tercatat sebesar 13,7%, 11,6%, dan 10,8%. Tahun ini, berdasarkan outlook pemerintah, tax ratio diestimasi bisa mencapai 11,6%.
Keseimbangan
Melihat fakta-fakta yang saling terkait tersebut, pengamat pajak sekaligus Managing Partner DDTC Darussalam sering menegaskan perlunya suatu paradigma baru berbasis enhanced relationship. Paradigma yang sering disebut kepatuhan kooperatif (cooperative compliance) ini wajib diperhitungkan dalam reformasi pajak yang tengah dijalankan pemerintah.
Enhance relationship dalam konteks perpajakan digambarkan sebagai hubungan institusional yang bersifat mutual. Dengan demikian, akan terjadi sikap saling pengertian (mutual understanding). Pihak-pihak terkait dapat menghormati ketentuan yang disepakati bersama. Selain itu, akan terjadi efisiensi waktu, biaya, dan langkah lain karena ada penghormatan terhadap posisi, hak, kewenangan, dan tanggung jawab masing-masing pihak.
Pilar utama dari kepatuhan kooperatif terbagi menjadi dua. Pertama, kepercayaan dan transparansi (trust and transparency). Kedua, prediktabilitas dan kepastian (predictability and certainty). Dengan demikian, ada hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak, dan konsultan pajak.
Konsep pajak sebagai kontrak sosial menjadi sejalan dengan paradigma cooperative compliance. Keseimbangan hubungan menjadi mutlak karena masing-masing pihak berkepentingan terhadap kepemilikan hak. Ketika salah satu pihak tidak mendapatkan haknya, akan muncul penolakan. Tidak jarang pula ada upaya penghindaran untuk menjalankan kewajiban.
Selain transparansi dari sisi pembelanjaan anggaran dari penerimaan pajak, berbagai langkah untuk untuk mempermudah pembayaran pajak dibutuhkan. Salah satu hal sederhana yang bisa dilakukan yakni sosialisasi seputar perpajakan dan peraturan-peraturan terbarunya. Pada saat bersamaan, pemerintah perlu menyederhanakan berbagai prosedur.
WP pada era saat ini berani menuntut kontraprestasi signifikan dari kewajiban yang telah mereka tunaikan. Persepsi pajak sebagai beban memunculkan langkah-langkah efisiensi dalam pembayaran pajak. Tindakan tersebut dapat berdampak pada kepatuhan WP. Ya, itu terjadi ketika WP tidak mendapatkan penghormatan terhadap hak-hak mereka.*
*Artikel esai ini merupakan salah satu dari 15 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2018.