Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Sebanyak 73,08% peserta debat setuju dengan adanya perubahan metode dalam menentukan batasan biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak.
Debat DDTCNews hingga Selasa, 19 Juli 2022 pukul 15.00 WIB diikuti 52 peserta pemberi komentar dan pengisi survei. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38 peserta atau 73,08% setuju adanya perubahan metode dalam menentukan batasan biaya pinjaman untuk keperluan penghitungan pajak.
DDTCNews menetapkan Fajarizki Galuh Syahbana Yunus dan Choirunisa Nadilla sebagai pemenang debat periode 24 Juni—19 Juli 2022 yang mendapatkan hadiah uang tunai masing-masing Rp500.000. Pemenang dipilih dari seluruh peserta yang memberikan komentar dan mengisi survei.
Fajarizki Galuh Syahbana Yunus mengatakan setuju dengan perubahan metode. Menurutnya, otoritas perlu memperhatikan tren yang terjadi dalam lingkup perpajakan internasional. Jika mayoritas negara di dunia sudah mulai menggunakan EBITDA, pemerintah memang perlu mempertimbangkannya.
“Bagaimanapun, kebijakan yang dinamis tentu akan mendorong optimalisasi pemungutan pajak. Jika kita tetap berfokus pada metode DER, dikhawatirkan dapat terjadi pelebaran potential tax loss di masa yang akan datang. Hal ini mengingat pola penghindaran pajak akan terus berkembang,” katanya.
Kendati demikian, menurut dia, perlu adanya penegasan lebih lanjut melalui penerbitan aturan turunan mengenai regulasi pembatasan biaya pinjaman. Hal ini untuk memberi kepastian hukum dalam pelaksanaannya.
“Bagaimanapun, asas certainty memiliki kedudukan yang lebih utama dibanding asas equality dan efficiency,” imbuh Fajarizki.
Seperti diketahui, Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memperluas kewenangan menteri keuangan dalam menentukan instrumen atau metode pembatasan biaya pinjaman.
Sebelum diubah dengan UU HPP, ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Pajak Penghasilan (PPh) s.t.d.t.d UU Cipta Kerja memuat kewenangan menteri keuangan untuk mengeluarkan keputusan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak.
Sekarang, sesuai dengan perubahan Pasal 18 ayat (1) UU PPh dalam UU HPP, menteri keuangan berwenang mengatur batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak.
Berdasarkan pada penjelasan ayat tersebut, dalam menentukan batasan jumlah biaya pinjaman yang dapat dibebankan untuk tujuan perpajakan, digunakan metode yang lazim diterapkan di dunia internasional.
Salah satu metodenya adalah penentuan tingkat perbandingan tertentu yang wajar mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal (debt to equity ratio/DER). Metode ini sudah digunakan sebelum UU HPP terbit. Dalam PMK 169/2015, DER ditetapkan paling tinggi 4:1.
Kemudian, terdapat juga metode lainnya yang menggunakan persentase tertentu dari biaya pinjaman dibandingkan dengan pendapatan usaha sebelum dikurangi biaya pinjaman, pajak, depresiasi dan amortisasi. Metode ini dikenal sebagai earning stripping rules (ESR).
OECD menyatakan penerapan ESR dapat menggunakan pendekatan fixed ratio rule dan group ratio rule. Fixed ratio rule adalah pendekatan dengan aturan rasio yang berlaku untuk seluruh entitas. Sementara itu, group ratio rule adalah ambang batas rasio bunga terhadap EBITDA di tingkat grup.
Group ratio rule memungkinkan perusahaan untuk mengurangkan biaya bunga hingga tingkat rasio biaya bunga bersih terhadap ESR dari grup usaha secara keseluruhan. Dengan demikian, selama rasio biaya bunga terhadap ESR suatu perusahaan tidak melebihi rasio di tingkat grup perusahaan maka biaya tersebut dapat menjadi pengurang.
Di samping kedua metode tersebut, menteri keuangan juga dapat menggunakan metode lainnya. Namun demikian, UU HPP tidak mengatur secara spesifik tentang metode lainnya yang dapat digunakan. Artinya, menteri keuangan lebih leluasa dalam menentukan metode.
Choirunisa Nadilla menyatakan tidak setuju dengan adanya perubahan metode. Menurutnya, kehadiran ESR menunjukkan kebijakan pembatasan biaya pinjaman untuk keperluan pajak telah relevan dengan perkembangan regulasi internasional dan bisnis.
“Tetapi adanya opsi metode lainnya yang tidak diatur secara spesifik di UU HPP menurut saya justru berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Model bisnis yang terus berkembang bukan berarti membenarkan tindakan leluasa Kementerian Keuangan yang tidak berdasar hukum dan penelitian,” ujarnya.
Panduan kebijakan yang jelas sejak awal, menurutnya, merupakan aspek penting karena isu tersebut berkaitan erat dengan penentuan harga transfer transaksi intra-group. Dia khawatir otoritas memanfaatkan celah dengan mengurangi proses pembentukan kebijakan dan asas kepastian hukum, terutama terhadap model bisnis yang baru berkembang.
“Oleh sebab itu, harapannya kemenkeu tidak hanya bertindak tegas kepada wajib pajak, tetapi juga bersikap tegas pada diri sendiri dengan memberikan kepastian hukum dan menjalankan proses kebijakan,” katanya. (kaw)