UNTUK menghitung besaran PPh Pasal 21, digunakan tarif berlapis yang diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh).
Tarif ini diterapkan atas penghasilan kena pajak dari pegawai tetap, penerima pensiun berkala yang dibayarkan secara bulanan dan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan.
Berikut ini rincian tarif PPh Pasal 21 yang berlaku bagi wajib pajak (WP):
- sampai dengan Rp50 juta = 5%
- di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta = 15%
- di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta = 25%
- di atas Rp500 juta = 30%
Adapun penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dapat dijabarkan dalam beberapa contoh di bawah. Namun sebelum memasuki contoh soal, perlu diinformasikan beberapa waktu lalu, tepatnya 22 Juni 2016 pemerintah telah menetapkan besaran PTKP yang baru melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.010/2016 (PMK 101/2016) tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Dalam PMK 101/2016 tersebut, besarnya PTKP per tahun adalah sebagai berikut:
- Rp54 juta  untuk diri wajib pajak orang pribadi;
- Rp4,5 juta  tambahan untuk wajib pajak yang kawin;
- Rp54 juta tambahan untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
- Rp4,5 juta  tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah clan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.
Adapun yang dimaksud keluarga sedarah adalah pertalian kekeluargaan karena keturunan seperti orang tua. Sementara itu, keluarga semenda adalah ikatan kekeluargaan karena adanya perkawinan seperti mertua. Simak 'Siapa Itu Keluarga Sedarah dan Semenda?'.Â
Hal ini berarti wajib pajak dapat memperoleh tambahan PTKP atas orang tua dan mertua. Namun, syaratnya, orang tua dan mertua tersebut tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh wajib pajak.
Ketentuan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya yaitu 27 Juni 2016. Dengan berlakunya ketentuan ini maka atas PPh Pasal 21 yang telah dibayarkan untuk periode Januari-Juni 2016, harus dilakukan penyesuaian melalui pembetulan surat pemberitahuan tahunan (SPT).
Mengingat belum keluarnya ketentuan mengenai pedoman teknis penghitungan PPh Pasal 21 yang dituangkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER),  maka contoh-contoh soal yang akan disampaikan masih menggunakan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang mengacu pada PMK 101/2016 dengan ketentuan mengenai pedoman teknis yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.
Penerapan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh dapat dijabarkan dalam beberapa contoh soal di bawah ini:
- Penghasilan kena pajak yang disetahunkan dari Tuan A yang bekerja pada PT DEF sebesar Rp 40 juta. Dengan demikian, untuk menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT DEF berlaku tarif lapisan pertama Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh yaitu: 5% x Rp40 juta. Sebagai catatan, dengan adanya penyesuaian PTKP yang diatur dalam PMK 101/2016 maka dalam hal ini penghasilan yang diterima oleh Tuan A bukan merupakan objek pajak atau dengan kata lain Tuan A tidak dikenakan pajak.
- Penghasilan kena pajak yang disetahunkan dari Tuan B yang bekerja pada PT ABC sebesar Rp60 juta. Dengan demikian, untuk menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT ABC berlaku tarif lapisan pertama dan lapisan kedua Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh yaitu : 5% x Rp50 juta dan 15% x Rp10 juta.
Bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang memperoleh penghasilan berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian dan tidak dibayarkan secara bulanan maka tarif lapisan pertama Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebesar 5% diterapkan untuk:
- jumlah penghasilan bruto sehari, untuk penghasilan yang melebihi Rp450 ribu; atau
- jumlah penghasilan bruto dikurangi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) per hari, dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan lebih dari Rp4,5 juta.
Namun, apabila jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan lebih dari Rp10,2 juta, tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh diterapkan atas penghasilan kena pajak yang disetahunkan. Berikut ini adalah beberapa contoh soal dari penjelasan di atas:
- Misalnya, Tuan A bekerja sebagai tukang service elektronik panggilan. Upah yang diterimanya atas jasa service-nya sebesar Rp600 ribu (untuk sekali service). Pada bulan Agustus 2016, Tuan A telah memberikan 5 jasa service kepada pelanggannya. Langkah-langkah penentuan tarif:
- Tentukan jumlah penghasilan bruto dalam sehari. Jumlah penghasilan bruto Tuan A dalam sehari adalah Rp600 ribu. Dengan demikian, jumlah tersebut telah melebihi Rp450ribu. Oleh karenanya tarif PPh Pasal 21 yang berlaku bagi Tuan A adalah sebesar 5%.
- Untuk menghitung PPh Pasal 21 terutang per hari, upah harian tersebut harus dikurangi Rp450 ribu terlebih dahulu karena batas upah harian yang tidak dipotong PPh Pasal 21 adalah Rp450 ribu. Dengan demikian, jumlah penghasilan yang dikalikan tarif 5% adalah Rp600 ribu – Rp450 ribu = Rp150 ribu.
- Dengan demikian, PPh Pasal 21 Tuan A dihitung dengan tarif sebagai berikut:Â 5% x Rp150 ribu.
- Tuan B bekerja sebagai pekerja bangunan borongan. Pada bulan Agustus 2016, Tuan B mendapatkan proyek perbaikan jalan raya yang dikerjakan selama 20 hari. Tuan B mendapatkan upah harian sebesar Rp400 ribu per hari. Langkah-langkah penentuan tarif:
- Tentukan jumlah penghasilan bruto kumulatif. Jumlah penghasilan bruto kumulatif Tuan BÂ selama sebulan adalah sebesar Rp400 ribu x 20= Rp8 juta. Oleh karena jumlah ini telah melebihi Rp4,5 juta, tarif PPh Pasal 21 yang berlaku bagi Tuan B adalah sebesar 5%.
- Untuk menghitung PPh Pasal 21 terutang bagi Tuan B harus dikurangi dengan PTKP. Adapun PTKP per hari adalah sebesar Rp54 juta : 360 = Rp150 ribu.
- PTKP selama 20 hari kerja adalah Rp150ribu x 20= Rp3 juta. Penghasilan kena pajak Tuan B adalah sebesar Rp8juta-Rp3 juta = Rp5 juta. Dengan demikian, PPh Pasal 21 Tuan B dihitung dengan tarif sebagai berikut:Â 5% x Rp5 juta.
- Tuan C adalah tenaga kerja lepas perakit televisi pada PT ABC. Pada bulan Mei 2016, Tuan C mendapatkan proyek perakitan televisi yang dikerjakan selama 25 hari. Tuan C mendapatkan upah harian sebesar Rp500 ribu per hari. Tuan C telah menikah dan mempunyai seorang anak. PPh Pasal 21 Tuan C dihitung dengan tarif seperti berikut ini:
- Jumlah penghasilan bruto kumulatif Tuan C selama sebulan sebesar Rp500 ribu x 25= Rp12,5 juta, kemudian Jumlah penghasilan bruto Tuan C disetahunkan sebesar Rp12,5 juta x 12= Rp150 juta. Oleh karena jumlah penghasilan kumulatif  Tuan C dalam sebulan  telah melebihi Rp10,2 juta, sehingga berlaku tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh.
- Untuk menghitung PPh Pasal 21 yang berlaku bagi Tuan C harus dikurangi dengan PTKP. Â Adapun Tuan C berstatus kawin dan memiliki seorang anak (K/1) maka PTKP Setahunnya sebesar Rp54 juta + Rp4,5 juta + Rp4,5 juta = Rp63 juta.
- Penghasilan kena pajak Tuan C diperoleh dari pengurangan penghasilan bruto terhadap PTKP, sehingga besarnya menjadi Rp150 juta – Rp63 juta = Rp87 juta. Dengan demikian, PPh Pasal 21 Tuan C dihitung dengan tarif sebagai berikut: 5% x Rp50 juta dan 15% x Rp37 juta.
Bagi WP yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) akan dikenakan tarif 20% lebih tinggi, sehingga jumlah PPh pasal 21 yang harus dipotong menjadi 120%. Ketentuan ini berlaku untuk pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat tidak final. Berikut ini contoh soal penjelasan tersebut:
- Penghasilan kena pajak yang disetahunkan dari Tuan A yang bekerja pada PT DEF sebesar Rp60 juta. Namun Tuan A tidak memiliki NPWP. Dengan demikian, untuk menghitung PPh Pasal 21 yang harus dipotong PT DEF berlaku tarif sebagai berikut:
- Atas penghasilan kena pajak Tuan A diberlakukan tarif lapisan pertama pertama Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh sebesar 5%. Akan tetapi, karena Tuan A tidak memiliki NPWP maka dia dikenakan tarif 20% lebih, sehingga tarif yang berlaku untuk Tuan A menjadi 120 %Â x 5% = 6%. Dengan demikian, PPh Pasal 21Â dihitung dengan tarif sebagai berikut:Â 6% x Rp60 juta.
Namun, dalam hal WP yang belum memiliki NPWP dan penghasilannya telah dipotong PPh Pasal 21 dengan tarif 20% lebih tinggi, kemudian mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dalam tahun kalender yang bersangkutan, paling lama sebelum pemotongan PPh Pasal 21 masa pajak Desember, maka akan berlaku ketentuan lain.
Adapun ketentuannya adalah selisih tarif sebesar 20% lebih tinggi atas PPh Pasal 21 yang telah dipotong akan menjadi pengurang bagi bulan selanjutnya setelah memiliki NPWP. Berikut ini adalah contoh soal dari uraian di atas:
- Tuan B mulai bekerja pada PT ABC pada tanggal 1 Februari 2016 dan belum memiliki NPWP. Pada tanggal 20 April 2016 Tuan B mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Tuan B mendapatkan gaji dari PT ABC di tanggal 1 setiap bulannya . Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong atas penghasilan Tuan B saat belum memiliki NPWP (Februari – Maret) sebesar Rp60 ribu, maka PPh Pasal 21 atas penghasilan Tuan B pada bulan April adalah sebagai berikut:
- Asumsi bulan Februari-Maret Tuan B telah memiliki NPWP, maka PPh Pasal 21 Tuan B setiap bulannya sebesar 100 /120 x Rp60 ribu = Rp50 ribu.
- Selisih PPh Pasal 21 yang dibayar saat belum memiliki NPWP dengan ketika sudah memiliki NPWP setiap bulannya adalah Rp60 ribu – Rp50 ribu = Rp10 ribu.
- Jumlah selisih lebih PPh Pasal 21 Tuan B selama bulan Februari-Maret yang dikompensasikan untuk bulan Mei adalah Rp10 ribu x 2 = Rp20 ribu.
- Dengan demikian, penghitungsn PPh terutang Tuan B di bulan April adalah sebagai berikut: Rp50 ribu – Rp20 ribu.
Adapun, untuk contoh soal perhitungan PPh Pasal 21 dapat dilihat di bagian 7 atau terakhir dari materi PPh Pasal 21 ini. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.