Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Bea dan Cukai Kemenkeu terus lakukan sosialisasi jelang batas akhir relaksasi kebijakan cukai rokok elektrik atau vape pada 1 Oktober 2018.
Kegiatan teranyar dilakukan di Provinsi Aceh. Kepala Kantor Bea Cukai Banda Aceh Bambang Lusanto mengatakan sosialisasi ini untuk memastikan kesiapan pelaku usaha untuk mengikuti aturan – pelekatan pita cukai – per 1 Oktober 2018.
“Tentunya kami rasa ini waktu yang cukup bagi produsen untuk memenuhi ketentuan perizinan dan pemenuhan ketentuan cukai atas produknya,” ujarnya, seperti dikutip pada Senin (3/9/2018).
Selain kepada produsen, relaksasi kebijakan cukai ini juga menyasar pemilik toko yang menjual vape. Hal ini memberi waktu bagi toko vape untuk menyesuaikan produk yang dijual, terutama yang lengkap dengan pita cukai.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 146/PMK.04/2017, cukai terhadap vape sebagai Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) mulai diberlakukan tanggal 1 Juli 2018. Namun, Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) memberikan kelonggaran bagi pengusaha hingga 1 Oktober 2018.
“Setelah berlakunya ketentuan cukai HPTL ini diharapkan ada kepastian hukum bagi pelaku usaha vape yang memproduksi atau menjual vape,” imbuh Bambang.
Pada Juli 2018, DJBC membuka legalisasi usaha rokok elektrik dengan penyerahan Nomor Pokok Pengusaha Kena Barang Cukai (NPPBKC) kepada pengusaha produsen HPTL. Dengan demikian, aspek legalitas terpenuhi untuk melakukan usaha domestik maupun luar negeri.
Pada tahap awal tersebut, DJBC itu memberikan NPPBKC kepada tiga pelaku usaha. Hingga akhir tahun ini, otoritas menargetkan seluruh produsen likuid vape yang jumlahnya berkisar 150 - 200 pengusaha itu sudah mendapatkan NPPBKC.
Dengan pangsa pasar rokok elektrik Indonesia sekitar Rp5 triliun - Rp7 triliun, ada potensi penerimaan negara Rp2,5 triliun – Rp3 triliun tiap tahunnya dengan tarif cukai maksimal 57%. Pada tahun pertama penerapan, penerimaan ditaksir sekitar Rp50 miliar – Rp70 miliar dengan potensi 150 produsen cairan vape. (kaw)