Ilustrasi. Pekerja menuangkan bahan baku abon ikan cakalang di UMKM Nachafood, Kota Ambon, Provinsi Maluku, Sabtu (27/11/2021). Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) mendorong perkembangan usaha-usaha lokal di Maluku sehingga berperan dalam membangkitkan dan memulihkan ekonomi nasional, terutama saat pandemi COVID-19. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/rwa.
JAKARTA, DDTCNews – Pengurangan insentif pajak menjadi bentuk kehati-hatian yang dilakukan pemerintah.
Assistant Manager DDTC Fiscal Research Awwaliatul Mukarromah mengatakan pengurangan insentif pajak serta pembentukan tim khusus pengawasan sebagian bagian dari wujud kehati-hatian dan peningkatan keselektifan pemerintah.
“Hal ini dapat dipahami karena pemerintah ingin menjaga agar pemberian insentif pajak tetap tepat sasaran,” ujarnya, Rabu (1/12/2021).
Kendati demikian, menurut Awwaliatul, insentif pajak masih memiliki peran penting dan dibutuhkan masyarakat. Pemulihan kondisi ekonomi tidak serta merta membuat pemberian insentif pajak harus dihentikan.
Seperti diketahui, pemberian insentif pajak telah menjadi salah satu instrumen yang paling diandalkan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 sejak 2020. Insentif pajak terbukti cukup membantu pelaku usaha bertahan dari lesunya ekonomi.
Meskipun dinilai dapat menggerus penerimaan pajak, sambungnya, insentif pajak memiliki peran penting. Insentif pajak dapat menyelamatkan basis pajak yang berisiko hilang secara permanen karena dampak pandemi. Hingga saat ini, insentif pajak telah dimanfaatkan oleh banyak wajib pajak dari berbagai sektor.
Hingga 12 November 2021, realisasi insentif pajak yang terserap sudah mencapai 99% dari pagu. Secara nominal, realisasi insentif pajak yang terserap mencapai Rp62,47 triliun. Adapun pagu yang ditetapkan tahun ini sejumlah Rp62,83 triliun.
Insentif pajak yang paling banyak dimanfaatkan adalah PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP). Insentif yang masuk dalam tax expenditure ini telah dimanfaatkan 84.622 pemberi kerja. Insentif yang hanya bersifat menunda kewajiban juga banyak dimanfaatkan. Pengurangan angsuran PPh Pasal 25 menempati urutan teratas insentif yang paling banyak dimanfaatkan, yakni oleh 57.621 wajib pajak.
Pemerintah juga sudah mulai memangkas jumlah sektor penerima insentif. Adapun jumlah sektor yang dikurangi terjadi pada insentif pengurangan angsuran PPh Pasal 25, insentif pembebasan PPh Pasal 22 impor, dan insentif restitusi PPN dipercepat.
Tak hanya itu, wajib pajak kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) dan kawasan berikat juga tidak lagi mendapatkan insentif untuk masa pajak Juli-Desember 2021. Simak ‘WP KITE & Kawasan Berikat Tak Dapat Lagi Diskon Angsuran PPh Pasal 25’.
Pengurangan jumlah wajib pajak yang berhak menerima insentif dilakukan sejalan dengan pembentukan tim khusus. Tim ini bertujuan untuk mengevaluasi pemanfaatan fasilitas ataupun insentif pajak yang diberikan selama pandemi Covid-19.
Pembentukan tim khusus ini dilatarbelakangi 4 faktor utama. Pertama, terdapat risiko wajib pajak yang berhak memanfaatkan insentif, tetapi tidak memanfaatkan. Kedua, terdapat risiko wajib pajak yang tidak berhak, tetapi memanfaatkan insentif.
Ketiga, terdapat risiko wajib pajak memanfaatkan insentif, tetapi tidak menyampaikan laporan. Keempat, terdapat risiko wajib pajak penerima insentif menyampaikan realisasi insentif tidak berdasarkan pada transaksi sebenarnya.
“Insentif pajak tetap perlu untuk diberikan, tetapi dengan tujuan yang berbeda. Jika sebelumnya fokus insentif pajak adalah untuk menyelamatkan basis pajak, kini fokus insentif pajak juga harus mendorong gairah ekonomi ke depannya,” jelas Awwaliatul.
Selain itu, aspek lain yang perlu diperhatikan adalah proses pelaporan pemanfaatan insentif oleh wajib pajak. Pasalnya, banyak wajib pajak yang menghadapi kendala pada saat pelaporan realisasi insentif.
“Penting untuk memastikan bahwa proses administratif pelaporan realisasi insentif tidak menyulitkan dan dapat diakses dengan mudah oleh wajib pajak,” imbuhnya.
Dari sisi optimalisasi penerimaan, menurut dia, ada UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang bisa menjadi instrumen baru. UU HPP hadir di tengah momentum yang tepat, yakni pada masa pemulihan ekonomi. Dengan demikian, pemulihan ekonomi dapat beriringan dengan pemulihan penerimaan pajak. (kaw)