DDTCNEWS TAX COMPETITION 2018:

Indonesia di Tengah Reformasi Pajak AS

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 22 September 2018 | 22:03 WIB
Indonesia di Tengah Reformasi Pajak AS
Ramadhania D. Sismi & Kadek Sanjaya Universitas Indonesia,

REFORMASI pajak selalu menjadi topik populer karena berpotensi memberikan dampak yang signifikan pada perekonomian. Dampak langsung yang langsung terlihat jelas adalah berkaitan dengan masyarakat dan pebisnis sebagai wajib pajak. Tidak mengherankan jika setiap negara – terutama yang memiliki pengaruh besar pada perekonomian global – yang melakukan reformasi pajak selalu mendapatkan sorotan.

Amerika Serikat (AS) mengesahkan regulasi reformasi pajak pada Desember 2017 untuk memotong pajak dan meningkatkan jumlah pekerjaan. Dalam kerangka regulasi baru yang sering disebut Tax Cuts and Jobs Act (TCJA), reformasi perpajakan di bawah kepresidenan Trump menjadi salah satu yang paling besar dalam sejarah AS. Reformasi ini jelas disorot dunia karena AS menjadi negara dengan perekonomian terbesar.

Mengutip 115th Congress Public Law 97, reformasi pajak AS meliputi reformasi tarif pajak; pengurangan pendapatan kena pajak untuk bisnis, keuntungan pajak, pendidikan, pengurangan dan pengecualian; peningkatan pengecualian dalam pajak properti dan hadiah; perpanjangan waktu pengungkapan, kewajiban individu, dan provisi lain.

Adapun regulasi yang berpotensi mempengaruhi negara lain adalah pemotongan tingkat pajak korporasi dari 35% menjadi 21% untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Selain itu, ada pula pembebanan sebesar 100% untukshort-live capital expenditure hingga 2022. Selanjutnya, ada pembatasan pembebanan bunga sebesar 30% EBITDA.

Tarif pajak korporasi AS yang saat ini berada di bawah Indonesia, diprediksi dapat menstimulasi adanya pembalikan dana asing dari emerging market, termasuk Indonesia. Di sisi lain, Indonesia juga bersaing dengan negara Asean yang memiliki tarif pajak korporasi di bawah 25%. Singapura, Thailand, dan Malaysia memiliki tarif pajak korporasi secara berurutan 17%, 20%, dan 24%. Vietnam pun tengah mengkaji penurunan tarif dari 20% menjadi 15%-17%.

Melihat fakta tersebut, wajar bila pemerintah mempertimbangkan untuk melakukan relaksasi peraturan pajak korporasi, terutama yang berkaitan dengan tarif pajak. Namun, kebijakan relaksasi peraturan pajak belum tentu membantu Indonesia menghadapi reformasi pajak AS. Selain itu, pemindahan investasi ke AS akibat reformasi pajak tidak dapat dikatakan sebagai pilihan mutlak terbaik bagi investor.

Masalah tersebut dapat dikaji dari beberapa aspek. Pertama, peraturan pajak korporasi AS belum tentu akan bertahan dalam jangka waktu panjang. Untuk membiayai reformasi perpajakan ini, AS diprediksi harus meningkatkan utangnya hingga US$33 triliun dalam 10 tahun ke depan. Menurut Congress’s Joint Committee onTaxation AS, AS akan meengalami defisit US$1 triliun pada anggaran 2019.

Kenaikan utang tersebut pada gilirannya akan mengerek risiko investasi bagi perusahaan karena kurangnya fleksibilitas untuk mengatasi penurunan iklim ekonomi. Dengan demikian, AS akan menjadi negara berisiko tinggi dalam jangka panjang. Reformasi pajak AS juga dianggap terlalu menguntungkan korporasi dan merugikan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah. Apalagi, penurunan tarif PPh orang pribadi diprediksi akan direvisi dalam 8 tahun ke depan. Fakta tersebut membuat peraturan yang telah disahkan rentan untuk direvisi kembali.

Kedua, investasi langsung asing di Tanah Air lebih didominasi oleh sektor-sektor yang akan sulit ditarik dalam waktu dekat. Salah satu contoh sektornya adalah real estate. Investor memerlukan waktu untuk menjual aset bila ingin memindahkan dananya. Dengan demikian, perpindahan investasi dapat ditekan dalam jangka waktu dekat. Hal ini menunjukan bahwa langkah reaktif seperti pemotongan tarif pajak korporasi, masih belum diperlukan.


Ketiga, tarif pajak bukan satu-satunya indikator investor dalam menetapkan investasinya. Beberapa indikator seperti ketersediaan bahan baku, tenaga kerja, hingga konsumen potensial dapat menjadi keunggulan bagi Indonesia. Salah satu indikator yang dapat menjadi rujukan invetasi adalah Global Competitiveness Index yang dikeluarkan World Economic Forum (WEF).

Berdasarkan laporan Global Competitiveness Index 2017-2018, Indonesia berada di peringkat 36 dari 137 negara. Peringkat tersebut naik dari posisi tahun sebelumnya 41 dari 138 negara, Dalam laporan tersebut, tarif pajak hanya berada di posisi ke-7 dari seluruh faktor yang paling bermasalah dalam berbisnis di Indonesia. Aspek lain di atas tarif adalah korupsi, birokrasi pemerintah yang inefisien, akses keuangan, infrastruktur, ketidakstabilan kebijakan dan pemerintah.


Indonesia masih berada pada posisi yang kompetitif untuk kawasan Asean. Oleh sebab itu, membandingkan Indonesia dengan negara Asean hanya dari segi tarif pajak membuat analisis kurang komprehensif. Apalagi, negara Asean tersebut memiliki struktur perekonomian yang berbeda dari Indonesia. Salah satu contohnya adalah Singapura yang lebih menonjol dalam jasa. Sementara, Indonesia lebih banyak pada industri.


Dampak Terbatas

Berdasarkan tiga aspek tersebut, dapat dikatakan, dampak reformasi perpajakan AS akan relatif terbatas bagi Indonesia. Indonesia dapat melakukan beberapa-beberapa kebijakan berikut sebagai respons atas reformasi perpajakan AS.

Pertama, Indonesia mungkin dapat mencontoh Eropa. Komisi Eropa telah menginisiasi beberapa kebijakan pajak terbaru untuk menekan berpindahnya modal secara agresif. Kebijakan Anti Tax Avoidance Directive untuk memberikan standar minimum kredit pajak dan mengukur penggunaan afiliasi dengan yurisdiksi berpajak rendah. Kebijakan ini membuat penduduk Eropa tidak mampu mendapatkan keuntungan pajak rendah dengan dengan cara memindahkan seluruh modalnya ke negara tax haven.

Kedua, Country-by-Country-Reporting (CbCR) untuk mendapatkan laporan penghasilan yang transparan. Kebijakan kedua ini telah mulai dilakukan Indonesia melalui kebijakan pertukaran informasi keuangan secara otomatis untuk perpajakan (Automatic Exchange of Information/AEoI). Ketiga, common/consolidated tax base untuk memperkenalkan deduksi pajak baru dan memberikan sistem perpajakan yang lebih sederhana. Dengan ketiga langkah tersebut, perpindahan modal keluar yang disebabkan oleh faktor pajak dapat ditekan.

Sementara, dalam konteks nonperpajakan, Indonesia bisa meningkatkan keunggulan kompetitif melalui penguatan infrastruktur dan kemudahan birokrasi. Indonesia dapat meningkatkan kemudahan pengusaha dalam menjalankan bisnis. Menurut Bank Dunia, saat ini peringkat kemudahan menjalan bisnis di Indonesia adalah 72.

Peringkat itu lebih rendah dibandingkan dengan Singapura (2), Malaysia (24), Brunei (56), bahkan Vietnam (68). Oleh karena itu, program pemerintah yang berfokus pada infrastruktur untuk kemudahan perdagangan dan perbaikan sistem perizinan menjadi penting.

Tidak dapat dipungkiri, pada era globalisasi, kebijakan suatu negara dapat saling berhubungan dan memberikan pengaruh ke negara lain. Kondisi ini tidak terkecuali untuk segala hal yang berkaitan dengan perpajakan. Dengan demikian, peraturan perpajakan perlu terus disesuaikan dengan respons negara lain dan kebutuhan Indonesia.Namun, lagi-lagi, pemerintah perlu memperbaiki aspek lain, jangan hanya terjebak dengan mengotak-atik tarif pajak.*

*Artikel esai ini merupakan salah satu dari 15 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2018.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 23 Februari 2023 | 15:22 WIB RESENSI BUKU

Melihat Penyebab dan Dampak Kompetisi Pajak

Selasa, 30 Agustus 2022 | 14:39 WIB HUT KE-15 DDTC

Terakhir Sabtu Ini, Ayo Kirim Artikel Pajak Lomba Berhadiah Rp55 Juta

Rabu, 10 Agustus 2022 | 13:45 WIB HUT KE-15 DDTC

Punya Ide Soal Pajak Orang Kaya? Ikuti Lomba Berhadiah Rp55 Juta Ini

BERITA PILIHAN