BERITA PAJAK HARI INI

Ikut PPS? WP Tak Perlu Antre di Kantor Pajak, Tinggal Masuk DJP Online

Redaksi DDTCNews | Jumat, 10 Desember 2021 | 08:21 WIB
Ikut PPS? WP Tak Perlu Antre di Kantor Pajak, Tinggal Masuk DJP Online

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Implementasi program pengungkapan sukarela (PPS) menggunakan sistem DJP Online. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (10/12/2021).

Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak (DJP) Rian Ramdani mengatakan mekanisme pelayanan dan tata cara PPS dilakukan secara daring. Wajib pajak tidak perlu datang dan antre di kantor pajak seperti tax amnesty pada 2016-2017.

“Untuk PPS ini nanti semuanya serba online lewat DJP Online," katanya.

Baca Juga:
Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Rian menjelaskan sistem elektronik untuk menunjang pelaksanaan PPS tengah disiapkan DJP. Secara garis besar, implementasi PPS berbasis elektronik terbagi dalam 3 tahap, yakni pendaftaran, pengunggahan dokumen, dan penerbitan surat keterangan.

PPS memiliki 2 skema. Pertama, skema untuk wajib pajak orang pribadi dan badan peserta tax amnesty. Kedua, skema untuk wajib pajak orang pribadi dengan deklarasi harta perolehan 2016—2020. Simak ‘Perincian Ketentuan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak UU HPP’.

Selain mengenai pelaksanaan PPS, ada pula bahasan terkait dengan kinerja penerimaan pajak. Ada pula bahasan tentang perubahan ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi yang ada dalam UU Pajak Penghasilan (PPh).

Baca Juga:
PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Berikut ulasan berita selengkapnya.

Dokumen yang Disiapkan

Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rian Ramdani mengatakan wajib pajak perlu mempersiapkan dokumen pendukung saat mengikuti PPS. Pada skema kebijakan I, surat pemberitahuan pengungkapan harta (SPPH) perlu disertai beberapa dokumen.

Beberapa dokumen itu seperti bukti pembayaran PPh final, daftar perincian harta, daftar utang, dan pernyataan mengalihkan harta bersih ke dalam negeri. Wajib pajak juga perlu melampirkan pernyataan komitmen investasi pada SBN, hilirisasi SDA, dan energi terbarukan.

Sementara pada skema kebijakan II PPS, terdapat lampiran dokumen yang wajib diunggah. Lampiran dokumen tersebut adalah pernyataan mencabut permohonan restitusi dan upaya hukum yang tengah dilakukan.

Baca Juga:
Pilar 1 Tak Kunjung Dilaksanakan, Kanada Bersiap Kenakan Pajak Digital

"Jadi, dalam SPPH ada induk dan lampiran. Khusus pada kebijakan II ada tambahan pernyataan mencabut permohonan restitusi dan upaya hukum. Itu harus dicabut agar bisa ikut PPS," terangnya. Simak ‘Keberatan dan Banding Tahun Pajak Ini Harus Dicabut Saat Ikut PPS’. (DDTCNews)

Formulir Elektronik di DJP Online

Penyuluh Pajak Ahli Muda Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Rian Ramdani mengatakan implementasi PPS dilakukan dengan skema yang sama ketika wajib pajak menyampaikan SPT Tahunan secara online. DJP akan menyediakan formulir elektronik yang bisa diisi oleh wajib pajak peserta PPS.

"Sarana SPPH ini akan bentuknya e-form dan bisa didapatkan secara elektronik lewat DJP Online. Kemudian, hasilnya berupa surat keterangan juga lewat DJP Online," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Penerimaan Pajak

DJP mencatat realisasi penerimaan pajak hingga November 2021 telah mencapai Rp1.082,56 triliun atau setara dengan 88,04% dari target yang ditetapkan tahun ini Rp1.229,59 triliun.

DJP menyebutkan setoran Rp1.082,56 triliun tersebut mengalami pertumbuhan 17% dari periode yang sama tahun lalu senilai Rp925,34 triliun. Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibandingkan dengan posisi penerimaan hingga Oktober 2021 yang tumbuh 15,3%.

Sementara itu, realisasi penerimaan pajak hingga akhir tahun juga diperkirakan akan mencapai target yang ditetapkan dalam UU APBN 2021 senilai Rp1.229,6 triliun. Jika tercapai, penerimaan pajak sepanjang 2021 akan mencatatkan pertumbuhan 14,7%. (DDTCNews/Kontan)

Baca Juga:
Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Penyusutan dan Amortisasi

UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memuat perubahan ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi yang ada dalam UU PPh.

DJP menyatakan dalam Pasal 11 dan Pasal 11A UU PPh s.t.d.t.d UU HPP ditambahkan ketentuan mengenai penyusutan atau amortisasi bangunan dan aset tidak berwujud dengan masa manfaat lebih dari 20 tahun.

“Ini dilakukan untuk memberikan keleluasaan kepada wajib pajak melakukan penyusutan atau amortisasi bangunan dan aset tidak berwujud di atas 20 tahun,” tulis DJP. Simak ‘Ketentuan Penyusutan dan Amortisasi Diubah, DJP: Keleluasaan untuk WP’. (DDTCNews)

Baca Juga:
Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Presidensi G-20

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebutkan beberapa agenda prioritas Indonesia sebagai Presidensi G-20 mulai dibahas dalam pertemuan pertama tingkat deputi keuangan dan bank sentral (finance track) pada kemarin, 9 Desember 2021.

Sri Mulyani mengatakan pertemuan G-20 akan membahas berbagai agenda penting untuk mendorong pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19. Menurutnya, isu pajak internasional menjadi salah satu agenda dalam forum tersebut.

"Hari ini pertemuan deputi akan mencakup isu-isu tersebut. Karena ini ini pertemuan pertama, akan sangat menentukan tidak hanya tone saja, tetapi juga scope apa yang ingin kita hasilkan pada saat presidensi," katanya. (DDTCNews)

Baca Juga:
Gaji Anggota Firma atau CV Tak Bisa Dibiayakan, Harus Dikoreksi Fiskal

Penghitungan PBB

Dalam UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), nilai jual objek pajak (NJOP) yang dipakai untuk menghitung pajak bumi dan bangunan (PBB) bisa ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) senilai Rp10 juta.

Ketentuan semacam ini tidak tertuang pada UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Menurut pemerintah, ketentuan penghitungan tersebut akan membuat pemda lebih leluasa dalam asesmen tarif PBB dan NJOP. Simak pula ‘UU HKPD Beri Fleksibilitas bagi Pemda Tetapkan PBB, Simak Analisisnya’. (DDTCNews/Kontan) (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M