PELEBARAN DEFISIT APBN

Defisit APBN Melebar, Ekonom: Ada Empat Risiko yang Harus Diwaspadai

Dian Kurniati
Jumat, 10 April 2020 | 09.00 WIB
Defisit APBN Melebar, Ekonom: Ada Empat Risiko yang Harus Diwaspadai

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews—Di tengah pandemi virus Corona, Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengingatkan pemerintah soal dampak pelebaran defisit APBN menjadi 5,07% dan pembiayaannya hingga 2022.

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai kebijakan pelebaran defisit memang dibutuhkan untuk memberikan sejumlah stimulus percepatan penanggulangan wabah virus Corona (Covid-19).

Namun, ia mengingatkan pemerintah bahwa pelebaran defisit itu juga bisa mendatangkan sejumlah masalah di masa datang. Setidaknya, ada empat hal yang dikhawatirkan dari pelebaran defisit anggaran.

Pertama, risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Menurutnya, pelebaran defisit akan mendorong pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan.

Namun, ia menilai penerbitan SUN masih bergantung pada investor asing karena sekitar 35% hingga 40% kepemilikan SUN dipegang oleh investor asing. Angka itu, lanjutnya, dinilai lebih besar ketimbang negara seperti Thailand, Malaysia atau China.

“Porsi kepemilikan SUN oleh investor asing yang cukup besar akan menjadikan struktur pembiayaan anggaran rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba. Misal, dana asing pada Februari dan Maret 2020 yang keluar hingga Rp145 triliun,” tuturnya.

Kedua, risiko pelemahan nilai tukar yang juga diakibatkan capital outflow. Menurut catatan CORE, sepanjang Januari hingga Maret 2020, kurs rupiah melemah hingga 17,4% imbas dari keluarnya modal asing dari pasar keuangan.

“Pelemahan nilai tukar rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia,” ujarnya.

Ketiga, risiko crowding out karena pelebaran defisit anggaran juga berarti menyerap banyak likuiditas dari perbankan. Imbasnya, swasta makin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri.

Apalagi swasta juga dituntut untuk menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah. Lalu keempat, adanya risiko peningkatan utang luar negeri swasta.

Piter menilai 89% utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS (US$) saat ini rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Dia menyebut risiko bisa lebih besar pada swasta yang menjual barang dan jasa terkait komoditas.

Potensi pelemahan harga komoditas dinilai bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar.

Padahal, pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas selalu lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufaktur maupun keuangan.

Untuk itu, Piter mengusulkan pemerintah untuk memprioritaskan penerbitan surat utang domestik yang berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia.

Menurutnya, situasi pasar keuangan global saat ini telah memaksa pemerintah menawarkan imbal hasil tinggi atau tenor yang panjang, seperti bond RI0470 yang diterbitkan dengan imbal hasil 4,5% dan bertenor 50 tahun.

Meski nilai tukar rupiah sedang mengalami tekanan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, Piter menilai pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah suplai US$ dengan menerbitkan SUN global.

“Meskipun penerbitan SUN global dibutuhkan karena kita memang kekurangan dolar akibat menurunnya ekspor, penerbitan SUN global dapat dilakukan ketika wabah Covid-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih,” jelasnya. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.