DISKUSI mengenai tarif pajak pertambahan nilai (PPN) kembali mengemuka di tengah publik. Situasi ini muncul lantaran sesuai dengan amanat UU HPP yang mengubah UU PPN, tarif PPN akan kembali naik dari 11% (yang telah berlaku mulai 1 April 2022) menjadi 12% (paling lambat 1 Januari 2025).
Pertanyaannya, di mana posisi tarif PPN di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain kelompok Asia Tenggara (Asean) dan Asia lainnya? Sebelum melihat data tersebut, pemahaman mengenai konsep PPN diperlukan karena tidak semua negara menggunakan istilah yang sama.
Pada dasarnya, PPN merupakan pajak konsumsi. OECD (2020) mengklasifikasikan pajak konsumsi menjadi 2, yakni pajak atas konsumsi yang bersifat umum (taxes on general consumption) dan pajak atas konsumsi yang bersifat spesifik (taxes on specific consumption).
Kategori pajak atas konsumsi yang bersifat umum ini diklasifikasi lagi ke dalam 3 jenis pajak, yaitu PPN (value-added tax/VAT), pajak penjualan (sales tax), dan pajak atas barang dan jasa yang bersifat umum lainnya (other general taxes on goods and services).
Adapun jenis pajak atas konsumsi yang bersifat spesifik terdiri atas cukai (excise), bea masuk impor (import duties), dan pajak atas barang dan jasa yang bersifat spesifik lainnya (other specific taxes on goods and services).
Dari pengelompokkan tersebut, OECD juga tidak melihat PPN (VAT) berbeda dengan goods and services tax (GST). PPN (VAT) dan GST merujuk pada satu jenis pajak yang sama dan tidak ada perbedaan di antara keduanya (Darussalam, 2022).
PPN (VAT) dan GST memiliki konsep yang sama, yaitu pajak atas konsumsi yang bersifat umum, yang diterapkan atas barang dan jasa. Keduanya juga bersifat proporsional terhadap harga barang dan jasa. Keduanya memiliki dua sifat dasar yang sama. Simak ‘Apakah PPN dengan GST Berbeda?’.
Istilah-istilah itulah yang nanti akan muncul ketika kita membandingkan tarif PPN. Pembahasan mengenai konsep PPN ini juga diulas dalam buku DDTC berjudul Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Publik dapat mengunduh versi PDF buku ini secara gratis di sini.
Ulasan lebih mendalam mengenai PPN juga telah ditulis oleh profesional DDTC dalam buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Publik dapat membaca versi buku elektroniknya (e-book) melalui platform Perpajakan DDTC.
DDTC telah mengolah data terbaru dari berbagai sumber, termasuk IBFD Country Tax Guides (ketersediaan data atau informasi pada 21 November 2024). Jika dibandingkan dengan negara-negara Asean, tarif PPN Indonesia hanya lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPN Filipina.
Jika naik dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, tarif PPN Indonesia sama dengan Filipina. Tidak tanggung-tanggung, Indonesia dan Filipina menjadi negara yang menerapkan tarif PPN tertinggi di Kawasan Asean. Berikut datanya.
Sementara itu, jika membandingkan tarif PPN Indonesia dengan tarif VAT/GST atau istilah pajak konsumsi lain dengan negara-negara Asia di luar Asean, posisi tarif PPN Indonesia berada pada urutan tengah. Dari 61 negara, tarif PPN tertinggi sebesar 20%, yakni di Turki dan Armenia.
Dengan tarif PPN 11%, Indonesia sejajar dengan Kaledonia Baru dan Lebanon. Jika tarif PPN jadi naik menjadi 12%, Indonesia satu level dengan negara-negara Asia Tengah, yakni Kazakstan, Kirgistan, dan Uzbekistan. Berikut datanya.
Dengan melihat data perbandingan tarif PPN Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di Asean ataupun Asia, bagaimana menurut Anda? Apakah Anda setuju dengan kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12%?
Sampaikan pendapat Anda melalui kanal Debat Pajak DDTCNews pada artikel PPN 12%, Setuju atau Tidak? Tulis Komentar Anda, Hadiahnya Buku DDTC. Â Sebanyak 6 pembaca DDTCNews yang terpilih untuk mendapatkan buku Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional.
Buku ini merupakan cetakan kedua. Sebanyak 1.000 buku cetakan pertama April 2024 telah diterima banyak pihak, termasuk pemerintah, anggota DPR, pelaku usaha, karyawan swasta, konsultan pajak, akademisi, hingga mahasiswa.
Buku ini ditulis oleh Founder DDTC Darussalam dan Danny Septriadi bersama dengan Tax Expert, CEO Office DDTC Atika Ritmelina Marhani. Buku ini sangat penting sebagai bekal awal setiap orang yang ingin berkecimpung atau mendalami dunia pajak. (kaw)