KEBERATAN PAJAK (6)

Bolehkah Mencabut Permohonan Keberatan?

Awwaliatul Mukarromah
Senin, 27 Juli 2020 | 13.25 WIB
Bolehkah Mencabut Permohonan Keberatan?

DALAM praktiknya, karena satu hal dan lainnya, wajib pajak dapat saja mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Hal semacam itu diperkenankan dalam ketentuan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 9/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan sebagaimana telah diubah dengan PMK No. 202/PMK.03/2015 (PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015).

Sesuai Pasal 11 ayat (1) PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015, pencabutan pengajuan keberatan dapat dilakukan sebelum diterimanya Surat Pemberitahuan Untuk Hadir (SPUH) oleh wajib pajak. Apabila SPUH sudah diterima, wajib pajak tidak dapat melakukan pencabutan pengajuan keberatan. Simak ‘Penyelesaian Keberatan: Penerbitan Surat Pemberitahuan Untuk Hadir’.

Pencabutan pengajuan keberatan yang dilakukan wajib pajak harus memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 11 ayat (2) PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015. Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi wajib pajak tersebut.

Pertama, wajib pajak harus mengajukan permohonan pencabutan pengajuan keberatan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. Permohonan dimaksud disertai dengan alasan pencabutan, dengan menggunakan format sesuai contoh dalam Lampiran III PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015.

Kedua, surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak dan dalam hal surat permohonan tersebut ditandatangani bukan oleh wajib pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) UU KUP.

Ketiga, surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kanwil DJP yang merupakan atasan Kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar.

Selanjutnya, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan pengajuan keberatan yang diajukan wajib pajak. Jawaban tersebut dapat berupa surat persetujuan atau surat penolakan, yang dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh dalam Lampiran IV PMK 9/2013 s.t.d.d. PMK 202/2015.

Terdapat konsekuensi hukum yang timbul akibat pencabutan pengajuan keberatan yang diajukan wajib pajak. Pertama, wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP.

Kedua, khusus untuk pencabutan pengajuan atas keberatan yang terkait dengan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak 2008 dan sesudahnya, pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak.

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 25 ayat (7) UU KUP yang menyatakan jangka waktu pelunasan pajak masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) tertangguh sampai dengan satu bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Simak ‘Penerbitan Surat Keputusan Keberatan

Karena wajib pajak melakukan pencabutan pengajuan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak masih harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT menjadi merujuk pada Pasal 9 ayat (3) UU KUP, yaitu satu bulan sejak tanggal penerbitan SKPKB atau SKPKBT.

Dalam hal ini, apabila dalam jangka waktu tersebut wajib pajak belum melunasi utang pajak, atas keterlambatan tersebut dapat dikenai sanksi administrasi pajak berupa bunga sebesar 2% per bulan. Sanksi dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya surat tagihan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UU KUP.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.