REKONSILIASI FISKAL (5)

Biaya-biaya yang Menimbulkan Koreksi Fiskal Positif

Redaksi DDTCNews | Senin, 24 Februari 2020 | 16:31 WIB
Biaya-biaya yang Menimbulkan Koreksi Fiskal Positif

Tidak semua biaya komersial boleh dibebankan secara fiskal, sehingga sangat dimungkinkan terjadi koreksi fiskal. Biaya yang boleh dibebankan atau menjadi pengurang penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang (UU) PPh.

Sebaliknya, dalam Pasal 9 UU PPh diatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto menurut Pasal 9 UU PPh inilah yang menimbulkan terjadinya koreksi fiskal positif.

Koreksi positif atas biaya merupakan koreksi yang menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Biaya pengurang penghasilan bruto yang berkurang (dihapus) tentu akan menyebabkan penghasilan neto lebih besar sehingga PPh terutang akan menjadi lebih besar. Pada intinya, istilah koreksi positif sebenarnya koreksi apapun yang menyebabkan PPh terutang menjadi bertambah.

Baca Juga:
Hindari Penagihan Aktif, Fiskus Imbau WP Segera Lunasi Tunggakan Pajak

Berikut daftar biaya-biaya usaha wajib pajak yang umumnya menyebabkan koreksi fiskal positif.

1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.

Biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Contoh biaya tersebut di antaranya perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan pribadi dan keluarga, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

Baca Juga:
Perlu Tahu, Ini Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

2) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

Pada dasarnya, dana cadangan bukanlah biaya karena belum terealisasi. Namun, menyesuaikan dengan kelaziman usaha di bidang keuangan yang memperbolehkan adanya pembentukan dana cadangan, UU PPh mengatur pengecualian tersebut. Dana cadangan piutang tak tertagih yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto menurut Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh adalah:

  • cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
  • cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  • cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
  • cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan
  • cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
  • cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri.

Ketentuan lebih teknis terkait hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, yang telah direvisi dengan PMK No. 219/PMK.011/2012.

Baca Juga:
Banyak Pegawai Senior Tak Paham e-Filing, KP2KP Tawarkan Kelas Pajak

3) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi

Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf d dinyatakan bahwa pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto jika dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak. Namun, jika pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak.

4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan

Baca Juga:
Hindari Sanksi Administrasi, WP Diundang KPP Pratama Ikut Kelas Pajak

Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan ketentuan tersebut, penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Imbalan pekerjaan dalam bentuk natura di antaranya seperti upah bagi karyawan yang dibayar dengan barang-barang sembako. Pemberian sembako ini bukan objek pajak penghasilan bagi pegawai, dan bukan biaya bagi pemberi kerja.

Kendati demikian, terdapat tiga jenis pemberian natura yang boleh dibiayakan oleh perusahaan namun tetap bukan objek pajak bagi pegawai yang menerimanya. Hal ini diatur dalam PMK No. 167/PMK.03/2018. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja tersebut adalah:

  • pemberian atau penyediaan makanan dan/atau minuman bagi seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan;
  • penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan di daerah tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di daerah tersebut;
  • Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.

5) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa

Baca Juga:
Pemotong PPh Pasal 21 dan Kewajiban Perpajakannya

Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50 juta. Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20 juta, maka jumlah sebesar Rp30 juta tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30 juta dimaksud dianggap sebagai dividen.

6) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan

Baca Juga:
Bahas SP2DK, DJP Kembali Gelar Kelas Pajak Khusus Wartawan

Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

7) Biaya PPh

Yang dimaksud dengan biaya PPh dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h ini adalah PPh yang terutang oleh wajib pajak yang bersangkutan. PPh merupakan hasil perkalian penghasilan neto dengan tarif pajak, sehingga PPh merupakan proses terakhir dalam menghitung besarnya PPh terutang. Untuk itu, biaya ini tidak dapat dikurangkan sebagai biaya fiskal.

Baca Juga:
Akuntansi Pajak, 10 Langkah Sebelum Ungkap PPh di Laporan Keuangan

8) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya

Biaya untuk keperluan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.

9) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

Baca Juga:
Bahas Royalti bagi WP OP Pengguna NPPN, DJP Kembali Gelar Kelas Pajak

Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.

10) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa sanksi yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak boleh dibebankan. Dalam hal ini, berlaku semua UU di bidang perpajakan, di antaranya meliputi PPh, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), bea materai, pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak daerah, dan lainnya.

Baca Juga:
DJP Adakan Kelas Pajak Khusus untuk Wartawan, Ini Tujuannya

Semua sanksi yang terkait dengan perpajakan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Menurut UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), bentuk sanksi administrasi perpajakan diterbitkan melalui surat tagihan pajak (STP). Dengan demikian, pembayaran STP tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto atau tidak boleh dibiayakan secara fiskal.

11) Biaya Lainnya

Terdapat biaya-biaya lain yang menimbulkan koreksi fiskal positif selain yang diatur dalam PPh. Biasanya biaya-biaya ini diatur lebih terperinci dalam peraturan yang spesifik. Beberapa jenis biaya yang seringkali muncul dalam proses rekonsiliasi fiskal adalah sebagai berikut:

  • Biaya terkait penggunaan sedan dan telepon seluler termasuk pulsa dikoreksi sebesar 50%. Dasar hukumnya adalah KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakukan Pajak Penghasilan atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan.
  • Biaya entertainment yang tidak mencantumkan daftar nominatif akan dikoreksi positif seluruhnya. Dasar hukumnya adalah SE-27/PJ.22/1986 tentang Biaya Entertainment dan Sejenisnya.
  • Kerugian piutang tidak tertagih yang tidak sesuai dengan PMK No. 207/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 105/PMK.03/2009 tentang Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 08 Maret 2024 | 12:30 WIB KPP PRATAMA JAKARTA PENJARINGAN

Hindari Penagihan Aktif, Fiskus Imbau WP Segera Lunasi Tunggakan Pajak

Rabu, 06 Maret 2024 | 10:27 WIB KELAS PPH PASAL 21 (2)

Perlu Tahu, Ini Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 21

Senin, 26 Februari 2024 | 13:00 WIB KP2KP SANGATTA

Banyak Pegawai Senior Tak Paham e-Filing, KP2KP Tawarkan Kelas Pajak

Rabu, 21 Februari 2024 | 10:30 WIB KPP PRATAMA TANJUNG REDEB

Hindari Sanksi Administrasi, WP Diundang KPP Pratama Ikut Kelas Pajak

BERITA PILIHAN