Tidak semua biaya komersial boleh dibebankan secara fiskal, sehingga sangat dimungkinkan terjadi koreksi fiskal. Biaya yang boleh dibebankan atau menjadi pengurang penghasilan bruto diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang (UU) PPh.
Sebaliknya, dalam Pasal 9 UU PPh diatur biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan bruto menurut Pasal 9 UU PPh inilah yang menimbulkan terjadinya koreksi fiskal positif.
Koreksi positif atas biaya merupakan koreksi yang menyebabkan penghasilan neto lebih besar. Biaya pengurang penghasilan bruto yang berkurang (dihapus) tentu akan menyebabkan penghasilan neto lebih besar sehingga PPh terutang akan menjadi lebih besar. Pada intinya, istilah koreksi positif sebenarnya koreksi apapun yang menyebabkan PPh terutang menjadi bertambah.
Berikut daftar biaya-biaya usaha wajib pajak yang umumnya menyebabkan koreksi fiskal positif.
1) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
Biaya-biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Contoh biaya tersebut di antaranya perbaikan rumah pribadi, biaya perjalanan pribadi dan keluarga, biaya premi asuransi yang dibayar oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.Â
2) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan
Pada dasarnya, dana cadangan bukanlah biaya karena belum terealisasi. Namun, menyesuaikan dengan kelaziman usaha di bidang keuangan yang memperbolehkan adanya pembentukan dana cadangan, UU PPh mengatur pengecualian tersebut. Dana cadangan piutang tak tertagih yang diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan bruto menurut Pasal 9 ayat (1) huruf c UU PPh adalah:
Ketentuan lebih teknis terkait hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya, yang telah direvisi dengan PMK No. 219/PMK.011/2012.
3) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi
Dalam penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf d dinyatakan bahwa pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto jika dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi dan pada saat orang pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan tersebut bukan merupakan objek pajak. Namun, jika pembayaran premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek pajak.
4) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan
Dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh, penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek pajak. Selaras dengan ketentuan tersebut, penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja. Imbalan pekerjaan dalam bentuk natura di antaranya seperti upah bagi karyawan yang dibayar dengan barang-barang sembako. Pemberian sembako ini bukan objek pajak penghasilan bagi pegawai, dan bukan biaya bagi pemberi kerja.
Kendati demikian, terdapat tiga jenis pemberian natura yang boleh dibiayakan oleh perusahaan namun tetap bukan objek pajak bagi pegawai yang menerimanya. Hal ini diatur dalam PMK No. 167/PMK.03/2018. Pemberian natura dan kenikmatan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja tersebut adalah:
5) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa
Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha, maka berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar Rp50 juta. Apabila untuk jasa yang sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar Rp20 juta, maka jumlah sebesar Rp30 juta tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30 juta dimaksud dianggap sebagai dividen.
6) Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b tidak boleh dibebankan sebagai biaya, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh wajib pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan/atau wajib pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2010 tentang Zakat atau Sumbangan Keagamaan yang Sifatnya Wajib yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
7) Biaya PPh
Yang dimaksud dengan biaya PPh dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h ini adalah PPh yang terutang oleh wajib pajak yang bersangkutan. PPh merupakan hasil perkalian penghasilan neto dengan tarif pajak, sehingga PPh merupakan proses terakhir dalam menghitung besarnya PPh terutang. Untuk itu, biaya ini tidak dapat dikurangkan sebagai biaya fiskal.
8) Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya
Biaya untuk keperluan pribadi wajib pajak atau orang yang menjadi tanggungannya, pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh wajib pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
9) Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
Anggota firma, persekutuan dan perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto badan tersebut.
10) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa sanksi yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak boleh dibebankan. Dalam hal ini, berlaku semua UU di bidang perpajakan, di antaranya meliputi PPh, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), bea materai, pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak daerah, dan lainnya.
Semua sanksi yang terkait dengan perpajakan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana. Menurut UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), bentuk sanksi administrasi perpajakan diterbitkan melalui surat tagihan pajak (STP). Dengan demikian, pembayaran STP tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto  atau tidak boleh dibiayakan secara fiskal.
11)Â Biaya Lainnya
Terdapat biaya-biaya lain yang menimbulkan koreksi fiskal positif selain yang diatur dalam PPh. Biasanya biaya-biaya ini diatur lebih terperinci dalam peraturan yang spesifik. Beberapa jenis biaya yang seringkali muncul dalam proses rekonsiliasi fiskal adalah sebagai berikut: